Mubadalah.id – Di dalam masyarakat Indonesia kaya sekali dengan berbagai mitos. Di mana mitos ini dituturkan secara verbal dari mulut ke mulut. Sehingga menjadi salah satu pendekatan dalam perkembangan disiplin ilmu sejarah.
Mitos sering kali dipegang sangat erat oleh berbagai kelompok masyarakat tertentu, karena begitu kuatnya menjadi pegangan dan cara pandangan masyarakat tersebut. Sehingga menjadikan mitos sebagai fakta sosial sekaligus fakta psikologis pada cara pandang masyarakat dalam menentukan dan memutuskan berbagai hal, termasuk dalam hal pernikahan.
Pernikahan adalah ikatan resmi antara dua insan yang saling menyayangi dan mencintai. Namun sering kali dua insan yang saling mencintai dan menyayangi tersebut terhalang oleh mitos yang dianggap mustahil untuk menjalin pernikahan.
Hal ini terjadi antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Sunda. Terdapat mitos yang begitu kuat di kalangan masyarakat kedua suku tersebut, apalagi masyarakat yang cenderung konservatif.
Larangan Pernikahan
Larangan pernikahan antara orang Jawa dan orang Sunda dipercaya pernikahannya tidak akan langgeng. Mitos ini lahir karena peristiwa sejarah yaitu perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Perang bubat ini terjadi karena adanya konflik antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda.
Konflik berawal dari keinginan raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk untuk menikahi putri dari raja kerajaan Sunda yaitu Dyah Pitaloka. Namun dalam perjalanan rombongan kerajan Sunda ke kerajaan Majapahit dalam rangka untuk segera menikahkan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk malah terjadi penyerangan terhadap rombongan kerajaan Sunda oleh Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada.
Memang Patih Gajah Mada ini mempunyai inisiatif yang tanpa diketahui oleh Hayam Wuruk untuk menyerang rombongan kerajaan Sunda, karena kerajaan Sunda adalah kerajaan yang belum ditaktukan oleh kerajaan Majapahit yang hal ini sesuai dengan sumpah Palapa. Sumpah Palapa adalah sebuah sumpah untuk menyerang dan menaklukan seluruh kerajaan di Nusantara, dan saat itu hanya kerajaan Sunda yang belum ditaklukkan.
Penyerangan atas rombongan kerajaan Majapahit yang Patih Gajah Mada pimpin ke rombongan kerajaan Sunda terjadi di daerah Bubat, yang dipercaya bahwa daerah Bubat ini berada di Jawa Timur. Penyerangan tersebut membuat rombongan dari kerajaan Sunda terbunuh semua, karena jumlah pasukan yang tidak seimbang. Adapun Dyah Pitaloka memilih untuk bunuh diri demi menjaga kehormatan bangsanya.
Peristiwa ini membuat hubungan antara Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada menjadi merenggang. Padahal alasan politis Hayam Wuruk untuk menikahi Dyah Pitaloka adalah untuk mempererat hubungan diplomatis antara kedua kerajaan, namun hal ini Patih Gajah Mada salah menafsirkannya.
Meninggalnya Dyah Pitolaka
Atas meninggalnya Dyah Pitolaka ini, membuat raja Hayam Wuruk berkabung dan berkali-kali mengirim surat permohonan maaf kepada kerajaan dan masyarakat Sunda. Lalu setelah perang bubat ini membuat karir politik Gajah Mada turun sampai dia meninggal pada tahun 1364.
Kerajaan Majapahitpun mengalami kemunduran, apalagi setelah Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389. Lalu karena peristiwa perang bubat inilah terjadi konflik dan permusuhan yang berkepanjangan antara kerajaan Majapahit (Jawa) dengan kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda yang kemudian Pangeran Niskalawantu pimpin melarang dengan tegas rakyatnya untuk tidak menikah dengan orang di luar kerajaan Sunda. Termasuk dalam hal ini adalah Majapahit atau Jawa.
Walaupun narasi sejarah dari sejarah Perang Bubat ini banyak versi, namun ide utamanya dari peristiwa itulah lahirnya mitos larangan pernikahan antara orang Jawa dan orang Sunda.
Apalagi laki-laki sunda yang menikah dengan perempuan Jawa. Karena menurut perspektif masyarakat Sunda kalau menikahi perempuan Jawa sama seperti menikahi kakak perempuannya. Atau menikahi ibunya sendiri dan hal itulah yang mengakibatkan datangnya ketidakberkahan, kesialan dan banyak masalah.
Hal ini lahir karena kontruksi budaya yang telah begitu kokoh. Yaitu karena Jawa lebih mandiri dari pada Sunda. Sehingga jika laki-laki sunda menikahi perempuan Jawa khawatir istrinya bisa lebih mandiri dan mengalahkan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Terbentuknya kekhawatiran atas budaya partiarkis ini adalah karena fakta sejarah ketika daerah Sunda terkuasai oleh Kerajaan Mataram.
Lalu mitos yang begitu kuat dan kentalnya ini menjadi oleh kaum penjajah kolonial Belanda pada masa berikutnya untuk melakukan politik pecah belah, dalam hal ini Sunda dengan Jawa. Maka semakin kuatnya mitos ini yang mengakibatkan kericuhan di antara kedua suku tersebut.
Semangat Mubadalah
Padahal, ini hanya mitos belaka yang bisa terpecahkan. Adanya larangan pernikahan antar ras atau antar etnis tidak menggambarkan semangat mubadalah dan keberislaman. Di dalam ajaran Islam yang juga memuat mengenai aturan dan syariat pernikahan tidak mempermasalahkan perbedaan ras dan etnik. Bahkan semangat Islam melalui wahyu memerintahkan untuk saling mengenal. Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 menyebutkan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini bisa menjadi dasar bahwa pernikahan tidak tersekat oleh batas-batas rasial dan etnisitas. Sekaligus menjadi dasar semangat mubadalah dalam pernikahan antara ras dan etnis. Bahwa pernikahan harus kita dasarkan pada kesalingan dalam cinta-mencintai, bukan suatu paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
Jika seorang laki-laki Sunda dengan perempuan Jawa akan menikah dengan dasar kesalingan tersebut. Dan menjalankan prinsip-prinsip mubadalah (kesetaraan dan kesalingan) serta kerjasama dalam membangun rumah tangga yang bahagia dan membahagiakan. Maka mitos yang begitu kuat tertanam di alam bawah sadar masyarakat Sunda dan Jawa akan terkikis. Sekaligus budaya partiarkis akan hilang dengan semangat mubadalah tersebut.
Maka yang paling terpenting dalam pernikahan adalah komitmen dalam kesalingan. Yaitu berkomitmen untuk saling mecintai, menyayangi, bekerjasama antara suami kepada istri dan istri kepada suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga. []