Beberapa waktu lalu bertebaran meme yang bergambar deretan hantu dengan disertai tulisan satir, kira kira bunyinya begini “kalian itu sialan, rakyat mengencingi pohon kesambet. Giliran pengusaha menggunduli hutan, kalian diam.” Satir meme tersebut meunculkan pertanyaan apakah bencana dan krisis lingkungan yang saat ini kita hadapi murni ujian dari Tuhan atau perilaku pengusaha yang begitu eksploitatif terhadap lingkungan. Sebegitu kuasakah kapitalis hingga mahluk tak kasat mata sampai tunduk kepadanya, seperti yang disatirkan meme tersebut?
Kebencanaan sering kali dikaitkan dengan perilaku tidak menjaga lingkungan oleh masyarakat atau hanya sekedar cobaan dari Tuhan. Menurut data Badan Penanggulangan Alam dan Bencana Alam (BNPB) tercatat 2.131 bencana alam dari Januari-September. BNPB mencatat 99% bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometrologi seperti banjir, angin puting beliung dan tanah longsor.
Mereka mencatat jumlah kejadian tertinggi yakni banjir sebanyak 791 kali, puting beliung 573 kejadian, tanah longsor 387 kejadian, kebakakaran dan hutan 314 kejadian, gelombang pasang atau abrasi 26 kejadian, kekeringan 22, gempa bumi 13 dan erupsi gunung api 5 ada kejadian. BNPB menilai bahwa hujan dengan intensitas tinggi menjadi pemicu banjir dan tanah longsor.
Tidak jauh berbeda dengan BNPB, kala banjir menyerang Jakarta, warganet berpendapat bahwa ini murni kesalahan masyarakat yang buang sampah sembarangan, tidak menjaga lingkungan dan hidup di pinggir sungai. BNPB dan warganet sama-sama sepakat bahwa bencana alam adalah urusan sekedar menjaga lingkungan dan karena faktor alam itu sendiri. Faktor individual terus disoal, namun faktor struktural terus diabaikan; Ia adalah murni kesalahan individu bukan karena kebijakan negara.
Padahal kalau dipikir-pikir negara punya kuasa dan andil banyak dalam menentukan bagaimana kita hidup. Negara memiliki salah satu fungsi untuk mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya dalam bidang apapun.
Menjaga kebersihan lingkungan baik tapi tidak cukup
Di sekolah selalu diajarkan untuk menjaga lingkungan misalnya dengan tidak buang sampah sembarangan, atau yang sedang tren sekarang; penggunaan sedotan stainless dan pengurangan kantong plastik. Tapi ia kadang lupa membahas bahwa penggundulan hutan, penambangan, pengeboran minyak, serta pembangunan hotel atau gedung dengan IMB yang ngawur juga menjadi penyebab bencana muncul.
Misalnya kasus mengeringnya mata air di Batu dan Jogja karena pembangunan hotel dan villa yang sembrono. Menurut riset Storme Cole, peneliti dari Uniersity of The West of England, bahwa kekeringan terjadi karena adanya perebutan air antara pariwisata dan warga. Risetnya selama 5 tahun menyatakan bahwa turis-turis biasanya menghabiskan air 10 kali lipat atau sekitar 2.000- 20.000 liter.
Saya jadi ingat buku Fredd Magdoff dan John Belamy Foster berjudul Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Mereka menyebut bukunya sebagai pengantar untuk menjelaskan kaitan perilaku manusia dengan krisis ekologi saat ini dalam kerangka kerja sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memaksakan pada kita logika persaingan, kemajuan, dan pertumbuhan tanpa batas. Ia adalah rezim produksi, konsumsi mencari laba tak terhingga, memisahkan manusia dari alam dan mengubah segalanya menjadi komoditas; air, bumi, budaya, keragaman dan kehidupan itus sendiri.
Menurut Magdoff dan Foster, jika sistem tersebut tidak diubah akan menyebabkan kepunahan lebih cepat bagi umat manusia. Berbeda dengan kepunuhan massal yang terjadi sekitar 71 juta tahun lalu disebabkan oleh penurunan ozon sehingga menyebabkan dinosaurus punah. Kepunahan saat ini atau disebut para ahli “kepunahan keenam” diakibatkan oleh makhluk hidup itu sendiri: manusia.
Mereka mengkritik cara kerja kapitalisme yang begitu eksploitatif salah satunya pada lingkungan. Aspek kunci sistem kapitalisme dalam kaitannya dengan keberlanjutan lingkungan ada dua yaitu motivasi kapital melaui pengejaran laba/akumulasi tanpa akhir dan persaiangan antar perusahaan yang mendorong untuk perluasan pangsa pasar serta meningkatkan penjualan. Artinya agar tetap tumbuh dan hidup, ia harus mencari wilayah-wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk akumulasi laba.
Sehingga tidak heran jika banyak sekali konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Kapitalis bertindak seolah kemampuan alam untuk berproduksi adalah tak terbatas. Jika pun mereka sadar akan realitas tentang keterbatasan lingkungan dalam berproduksi, hal itu hanya akan membuat mereka mempercepat laju eksplotasi sumber daya tertentu yang akan diolah secapat mungkin.
Lalu kapital akan berpindah ke area sumber daya lain. Dengan tiap-tiap kapitalis secara indvidual mengejar kepentingan diri sendiri untuk membukukan laba dan mengakumulasi modal, maka keputusan-keputusan yang diambil itu akan secara kolektif mencederai masyarakat (Magdoff dan Foster, hal:75).
Sayangnya, negara dengan kekuasaanya turut menyokong pencapolokan hak hidup masyarakat. Negara memuja secara berlebihan pada angka-angka pertumbuhan, maka tak heran Gus Speth (dalam jurnal “toward a new economy and a new politic solution) menyebutnya sebagai agama sekunder yang dianut sebagian dunia. Apalagi Presiden Jokowi hendak membuat kebijakan untuk menghapus AMDAL dan IMB untuk memudahkan jalannya investasi.
Artinya pendirian perusahan di suatu wilayah akan mudah tanpa memikirkan bagaimana dampaknya pada lingkungan. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana “ilusi” angka kemakmuran nan kesejahteraan meningkat dalam laporan tahunan ekonomi. Membahayakan lingkungan dan sekitarnya ditempatkan sebagai urusan paling belakang. Lingkungan terus dipaksa untuk memenuhi produksi manusia.
Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap negara dengan macam-macam kebijakannya tidak ada kaitannya dengan musibah alam. Bahwa bencana alam yang kita hadapai tak sesederhana akibat buang sampah sembarangan. Juga bukan akibat kewajaran musim hujan telah tiba sehingga menimbulkan banjir, longsor dan sebagainya. Atau cuma soal Tuhan sedang menguji umatnya. Yang paling kita butuhkan justru perubahan relasi sosial; dalam komunitas, budaya, alam dan terutamannya dalam perekonomian. Yang kita butuhkan adalah suatu revolusi ekologis. Mari kita pikirkan bersama! []