• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Bermula Utang, Berujung Poligami

Pro-kontra poligami membawa pada pelbagai pendapat tersebar di dinding media sosial, ruang akademis, dan media cetak maupun daring

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
16/08/2024
in Keluarga, Rekomendasi
0
Poligami

Poligami

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebuah okupansi pernikahan dalam Islam tak jarang menuai konflik. Poligami misalnya, sistem perkawinan yang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Hingga kiwari, banyak yang menentang praktik ini, namun tak sedikit pula yang mendukungnya.

Pro-kontra poligami membawa pada pelbagai pendapat tersebar di dinding media sosial, ruang akademis, dan media cetak maupun daring. Praktik serta segala contohnya banyak mendapat komentar dan tanggapan realistis atau sentimen belaka. Saya pernah membaca tulisan apik di laman media daring membahas soal poligami.

Tulisan tersebut berjudul “Menolak Poligami Bukan Berarti Menolak Ajaran Islam” terbit di laman rahma.id karya Firda Imah Suryani. Opini Firda berhasil memberi saya sikap afirmatif untuk juga membahasnya. Atas dasar itu saya terbawa pada peristiwa wagu tentang perkawinan di lingkup pengadilan agama.

Tahun 2022 di Sragen, Jawa Tengah, seorang lelaki bernama Amir (bukan nama sebenarnya) telah mempunyai istri dan anak satu berusaha mengajukan permohonan izin poligami ke pengadilan agama. Permohonan terdaftar di Kepaniteraaan Pengadilan Agama Sragen dengan Nomor 783/Pdt.G/2020/PA.Sr pada 12 Mei 2022.

Satu bulan kemudian permohonan tersebut dikabulkan hakim lewat Putusan Nomor 783/Pdt.G/2022/PA.Sr. Atas putusan tersebut, Amir mendapat lampu hijau untuk menikahi seorang perempuan—calon istri keduanya—yang kala itu usianya terpaut 11 tahun darinya. Berbekal putusan, Amir bakal diperbolehkan menikah lagi (poligami) dan melangsungkan akadnya itu di KUA setempat.

Baca Juga:

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

Film Bida’ah: Ketika Perempuan Terjebak Dalam Dogmatisme Agama

Al-Qur’an Melarang Pernikahan Poligami

Film Bida’ah: Menelanjangi Realita Poligami di Balik Jubah Religiusitas

Tinjauan Perkara

Ringkasan duduk perkara pada putusan tersebut dimulai saat Amir (pemohon) dan calon istri kedua (Nisa, bukan nama sebenarnya) saling suka dan mengerti. Kemudian pemohon mempunyai motif untuk membantu masalah utang yang menjerat bapak/ibu Nisaa (mertuanya) dengan cara melunasinya. Demikian bapak/ibu Nisa menghendaki agar anaknya menikah dengan pemohon tanpa unsur paksaan satu sama lain.

Sementara dalil utama pemohon dalam permohonan tersebut merasa khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang norma agama apabila pemohon tak menikahi calon istri keduanya dengan alasan sudah saling suka. Terikuti dengan dalil lain yang tertuang dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pada Bab VIII Beristri Lebih dari Satu Orang Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Dalil Amir tersebut yang sesuai peraturan perundang-undangan yakni mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istrinya, bersikap adil, istri pertamanya (termohon) sudah rela—artinya tidak keberatan, dlsb. Sementara unsur taawun (tolong menolong) yang melatari poligami seolah menjadi batu loncatan semata agar praktiknya bisa mulus di muka pengadilan. Penggunaan topeng atau alasan semata seperti ini memang kerap terjadi dalam wajah hukum kita. Sayangnya mengapa hakim dengan gampangnya mengabulkan izin poligami Amir.

Tirani Pertimbangan

Jika membaca dengan teliti pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami ini tak lebih dari sekadar pengajuan berupa konsep taawun. Bukankah hakim, sebagai seseorang yang diberi kewenangan memutus, memiliki pertimbangan sendiri sebelum memadukannya dengan dalil pemohon. Hakim semestinya jeli menyoroti aspek lain dari hanya sebatas fokus pada hal madarat semata; terjadinya perzinahan.

Bagaimana pun kerap ada paradoks dalam pertimbangan hukum setiap putusan. Dalam kasus izin poligami ini sangat-sangat nyata bagaimana konteks paradoksial itu hadir. Saat ada dua hal bertentangan, mengapa hakim memutuskan memilih salah satunya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan fonem-fonem sekitarnya.

Jika dalil permohonan Amir kita bedah, bisa saja menjadi cangkokan berbagai pertanyaan. Mengapa jika ingin menolong sepasang suami-istri harus pula dibarengi dengan niat mengawini anaknya juga? Bahkan perkawinan yang Amir lakukan bukan perkawinan pertama, melain poligami.

Bukankah Amir sudah beristri tetapi mengapa masih menyukai perempuan lain? Jangan-jangan hanya karena motif saling suka lalu menegasikan pemaknaan konsep taawun. Hanya karena Amir dan calon istri keduanya sudah saling suka, sementara orang tua calon istri kedua memiliki utang, lalu Amir siap melunasinya, lantas menjadi lampu hijau konsep taawun yang melegalkan sistem poligami?

Niat Baik, Intrik Buruk

Bagaimana mungkin niat baik tolong menolong harus tersusupi intrik lain semacam poligami. Jika berniat ingin menolong, seharusnya menolong saja tanpa harus melibatkan unsur perkawinan di sana. Namun, tampaknya nafsu Amir menyukai perempuan lain di luar bahtera rumah tangganya tak bisa terbendung sehingga harus memakai alasan lain berupa konsep taawun agar keinginannya mulus terkabulkan.

Saat ketokan palu hakim berbunyi, pada detik itu pula pemberian izin poligami Amir bisa tertunaikan. Untuk memperjuangkan hak sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Perkawinan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria dan wanita hanya boleh mempunyai seorang pasangan saja. Asas suci kian hari mendapat gempuran hebat sehingga bukan tidak mungkin terjadi keretakan; berakibat perubahan asas.

Orang seperti Amir—dalam hati kecilnya—mungkin ingin membantu serta menjalankan salah satu syariat Islam yang ada. Namun, bukan berarti mesti mendobrak asas yang ada. Apa yang Amir lakukan serta mereka yang tetap keukeuh setuju atau mendukung praktik ini perlahan dengan amat halus berusaha mengeroposkan asas suci tadi.

Sementara hakim, sebagai bagian dari instrumen hukum memiliki andil besar ihwal bagaimana produk politik itu terlaksanakan masyarakat. Namun mengapa dalam konteks ini hakim malah menormalisasi alasan saling suka Amir dan Nisa dalam mengabulkan permohonannya untuk berpoligami? Sesempit itukah pandangan hakim yang tak bisa membedakan mana yang benar-benar dalil permohonan dan nafsu kemanusiaan semata? []

Tags: Hukum PoligamiMenolak PoligamipoligamiPutusan HakimPutusan Poligami
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di komunitas Serambi Kata. Editor di nisa.co.id.

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version