Mubadalah.id – Dr (HC) Husein Muhammad adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon. Laki-laki yang biasa dipanggil Buya Husein itu lahir di Cirebon, 9 Mei 1953.
Beliau telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pesantren Lirboyo, Kediri, pada tahun 1973. Kemudian melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran (PTIQ) Jakarta dan selesai tahun 1980.
Tidak berhenti disitu, Buya Husein kembali melanjutkan studinya ke al-Azhar, Kairo, Mesir. Di tempat tersebut, Buya Husein mengaji secara individual pada sejumlah ulama al-Azhar. Setelah menimba ilmu ke sejumlah ulama al-Azhar, pada tahun 1983 Buya Husein kembali ke Indonesia.
Selain itu, Buya Husein mendirikan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat. Buya Husein juga menjabat sebagai Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2007-2014. Setahun kemudian, di tahun 2008, Beliau mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon.
Usai meraih penganugerahan Doktor Honoris Causa (DR HC) bidang Tafsir Gender dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Senin, 25 Maret 2019. Buya Husein bersedia diwawancarai Reporter Mubadalahnews.com. Inilah hasil wawancara ekslusif dengan Beliau di Fahmina Institute.
***
Bagaimana Buya memaknai penganugerahan DR HC ?
Buya merasa bangga karena sebelumnya seakan-akan pikiran Buya dimarjinalkan. Karena tidak sejalan dengan pandangan mainstream. Buya disebut sebagai liberal, menyimpang, juga sebagai merusak Islam dari dalam.
Buya sampai pernah diadili bahkan juga seakan-akan tidak boleh masuk dalam sebuah struktur organisasi besar, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi cara pandang. Namun dengan penghargaan ini, akhirnya orang sangat membutuhkan. Karena model seperti ini yang diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru.
Menurut Buya perubahan itu niscaya, perubahan itu tidak dapat dilawan. Mereka yang berhenti akan tergilas oleh roda zaman. Jadi menurut Buya, kemarahan-kemarahan yang disampaikan oleh kelompok tertentu itu, karena menganggap apa yang mereka amalkan selama ini adalah kebenaran Tuhan. Dan adanya perubahan dianggap sesuatu yang salah.
Tetapi kalau Buya kan, sebetulnya kita yang keliru dalam memahami sesuatu teks keagamaan. Bahasa Buya, kita sering mencaci-maki zaman. Padahal itu yang keliru, karena yang cacat adalah kita. Zaman tidak ada yang keliru kecuali kita sendiri.
Jadi kita tidak pernah mau melakukan koreksi diri terhadap apa yang terjadi di dalam diri kita. Mengapa kita mundur? Mengapa kita termarjinalisasikan dari proses peradaban? Mengapa kita menjadi konsumen? Mengapa kita tidak produktif? Mengapa orang lain seakan-akan ingin menguasai kita semuanya?
Ya bukan salah mereka, tapi kita sendiri yang tidak mau mengoreksi diri kita sendiri bahwa zaman telah berubah. Seharusnya cara pandang juga berubah. Buya merasa punya harapan terhadap pikiran-pikiran seperti Buya dan pada akhirnya akan diterima.
Tetapi Buya tekankan kita harus tulus, setiap pikiran harus tulus, betul-betul bukan hanya karena popularitas, bukan karena ingin berbeda. Tapi itu tuntutan yang harus disampaikan, suatu gagasan, pandangan yang harus disampaikan kepada masyarakat, dan selalu dalam rangka kemanusiaan.
Pikirkan generasi kita ke depan akan semakin buruk, kalau kita tetap tidak mau melakukan perubahan diri.
Bagaimana Buya mempertahankan pemikirannya agar tetap konsisten ?
Itu sebetulnya problem besar dalam dunia pemikiran. Orang mengambil sumber yang sama tetapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Sama-sama al-Quran, tetapi yang satu boleh memerangi dan membunuh orang dan yang satu tidak boleh membunuh orang.
Kemarin Buya menyampaikan, tidak mungkin Tuhan itu berkata berbeda, tidak mungkin sama sekali. Kitanya saja yang salah memahami teks itu. Buya bukan menyalahkan al-Quran, tetapi kalau Buya punya pendapat yang berbeda, kenapa tidak boleh.
Kemarin itu ada seseorang pemikir dunia yang memuji Buya namanya Prof Faridz Eshack dari Afrika Selatan. Beliau mengatakan ini pikirannya luar biasa. Yang bisa membagi teks partikular dan teks universal.
Teks partikular itu teks yang menunjukkan suatu kasus tertentu dan masalah tertentu yang menjawab untuk suatu kasus tertentu dalam ruang dan waktunya. Dan tidak boleh untuk di generalisasi, dan tidak boleh di universalkan.
Kenapa Buya mau konsisten mempertahankan pemikiran itu Buya ?
Di seluruh dunia orang mencari keadilan. Itulah fitrah orang menghendaki keadilan. Jadi nanti semuanya akan menuju kesitu. Buya sendiri merasa cukup lama untuk diterima ini. Buya itu tidak mengerti kenapa Buya dari 2010-2017 masuk dari 500 tokoh Islam yang berpengaruh di dunia.
Dan itu bukan karena Buya menjabat sebuah oraganisasi besar tetapi semata-mata karena Buya sendiri. Buya bukan Ketua Pengurus Besar (PBNU), dan bukan presiden. Rupanya orang melihat terjadi perubahan berpikir di banyak tempat. Jadi intinya kegembiraan Buya, menerima itu adalah pengakuan atas pikiran-pikiran Buya.
Dua hal yang Buya tekankan dalam hal ini. Pertama, harus terus memberi manfaat kepada semua manusia, harus berpikir kontekstual, dan harus rendah hati. Kedua, adalah ketulusan. Ketulusan itu harus benar-benar ditanamkan. Ketulusan dalam memberikan apa saja, dan tidak mengharapkan balasan apapun. Itulah yang akan menghasilkan.
Buya pernah menulis banyak hal supaya orang memberi manfaat dan mendapatkan manfaat, dan Buya senang ketika menjalankan apa yang Buya berikan.
Fitrah manusia adalah menginginkan keadilan, yang diturunkan dari kesetaran. Jadi muara dari keadilan adalah kesetaraan begitu tah Buya ?
Basis dari pada keadilan adalah kesetaraan, kesetaraan itu adalah konsekuensi. Kita yakin Tuhan itu ketauhidan. Tauhid itu meniscayakan manusia setara konsekuensinya kita harus memandang orang sebagai makhluk Tuhan yang sama.
Andai kata orang paham tentang tauhid saja. Menurut Buya sudah cukup, tetapi karena pemahaman tauhid kita ini selalu kesana, bukan ke bawah, atau teosentris terus-menerus. Tapi tidak memberikan refleksi-refleksi antroposentris bahwa itu untuk manusia bukan untuk Tuhan.
Agama itu untuk manusia bukan untuk Tuhan, pengabdian kita kepada Tuhan tidak membuat Tuhan lebih besar, mencaci maki Tuhan juga tidak membuat Tuhan penuh luka. Tuhan sudah besar sendirinya. Kapapun. Dimanapun. Semuanya kembali kepada manusia.
Justru pemahaman tauhid yang setengah-setengah membuat orang memandang orang lain berbeda, padahal kalau sudah memahami tauhid saja sudah cukup. Tidak perlu dijelas-jelaskan lagi tentang kesetaraan, keadilan, kemaslahatan. []