Munculnya pandemik bernama Corona yang beberapa waktu belakangan menghantui kita, dimaknai sebagian orang sebagai berkah yang tengah menyamar, blessing in disguise. Sebab lantaran wabah ini, kita menjadi tersadar dan tergerak untuk menjaga kebersihan dan kesehatan diri dengan sebaik-baiknya.
Kita juga lantas belajar dan mencoba mempraktikkan apa yang disebut social distancing dan self-quarantine, atau pembatasan secara sosial dan karantina secara sukarela demi menghalau penyebaran virus corona.
Meski begitu, bagi sebagian orang pembatasan sosial ini justru menjelma sebagai neraka baru, terutama bagi mereka yang menjadi korban kekerasan domestik. Baik bagi para istri yang mendapat kekerasan dari suami, sebaliknya, maupun orang-orang yang mendapat kekangan dan kekerasan dari anggota keluarga mereka lainnya.
Belum lagi bila kita menyadari bahwa tidak semua rumah adalah tempat dan ruang aman bagi perempuan dan anak-anak. Kekerasan akan meningkat lantaran mereka dipaksa untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan abuser atau pelaku kekerasan mereka di ranah domestik.
Seperti yang dilaporkan oleh Melissa Godin di laman time.com[1] (18/3), kekerasan domestik di Amerika meningkat sejak diberlakukannya karantina wilayah secara menyeluruh (lockdown).
Hal yang serupa juga terjadi di Cina seperti dilansir bbc.com[2] (9/3), seorang perempuan harus mendapatkan kekerasan dari mantan suaminya karena kebijakan karantina yang membuatnya harus menetap di rumah bersama pelaku dan tidak bisa keluar dari lingkar kelumit kekerasan yang dialaminya.
Tidak tanggung-tanggung, angka laporan kekerasan di Cina yang diterima oleh Weiping, sebuah lembaga yang mengadvokasi hak-hak perempuan, meningkat tiga kali lipat dibanding sebelum karantina. Kampanye melalui tagar #AntiDomesticViolenceDuringPandemic pun muncul di sosial media.
Di Indonesia sendiri, dengan tren jumlah terinfeksi corona yang terus meningkat, bukan tidak mungkin hal serupa juga akan terjadi. Kekerasan berbasis domestik harus semakin dikawal dan dipantau dengan lebih ketat.
Pendekatan relijius juga perlu untuk terus diupayakan mengingat Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Melalui kajian-kajian Islam perspektif kesetaraan gender, umat Islam Indonesia perlu diingatkan terus tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, terutama dengan pasangan maupun keluarga serumah, apalagi di masa-masa saat ini ketika stay at home menjadi hal yang terus menerus didengungkan.
Konsep kehidupan rumah tangga yang mawaddah wa rohmah perlu dikobarkan kembali dalam pemaknaannya sebagai pesan mulia agar setiap pasangan saling menjaga dan menghormati hak masing-masing dengan tanpa memberi tempat dan ruang kepada segala bentuk kekerasan dan pelecehan.
Konsep kesalingan juga mesti lebih ditekankan dalam konteks menjaga masing-masing pasangan dari wabah atau pandemik korona yang saat ini menghantui. Sehingga ayat Allah dalam Al baqarah 187: هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ (Mereka adalah pakaian kalian, dan kalian adalah pakaian mereka) terus menemukan momentumnya sebagai pengingat agar istri dan suami memainkan peran yang adil dan setara.
Maka di masa-masa krisis saat ini, ketika setiap tubuh mesti menjaga diri di balik pintu rumah yang tertutup, tidak hanya wabah corona yang mesti kita waspadai dan halau sedemikian rupa, tetapi juga penjagaan atas tubuh yang terlindungi dari segala bentuk kekerasan yang mengintai dan menyergap, sehingga keadilan dan kesalingan tak tertimbun di ruang-ruang yang gagap dan pengap. []
[1] https://time.com/5803887/coronavirus-domestic-violence-victims/
[2] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51717312