Mubadalah.id – Setiap kali nama Kartini kita sebut, yang terlintas adalah perjuangan perempuan. Namun, sesungguhnya semangat Kartini bukan hanya milik perempuan. Ia adalah ajakan bagi semua umat manusia, laki-laki maupun perempuan untuk mewujudkan keadilan dan martabat dalam relasi antar jenis kelamin.
Menjadi Kartini modern tidak hanya tugas perempuan yang belajar dan bertumbuh, tetapi juga laki-laki yang ikut menciptakan dunia. Di mana perempuan bisa hidup, berpikir, dan berkembang tanpa takut, tanpa terkekang, dan tanpa terbungkam.
Dalam perspektif feminisme Islam, perempuan dan laki-laki adalah mitra setara (zawaj), bukan lawan atau atasan-bawahan. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia tercipta dari jiwa yang satu (nafs wahidah), dan dari sanalah kesalingan dan tanggung jawab moral terbangun.
Maka, menjadi laki-laki yang mengkartinikan perempuan berarti menjadi laki-laki yang beriman pada kesetaraan. Bukan karena tren, tetapi karena akhlak. Berikut ini adalah cara laki-laki bisa membuktikan cinta pada Kartini berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Memandang Perempuan Sebagai Makhluk Intelektual, Bukan Sekadar Objek Seksual
Dalam masyarakat patriarki, perempuan seringkali kita nilai dari tubuhnya: cantik atau tidak, auratnya terbuka atau tidak, menarik atau tidak di mata laki-laki. Perempuan menjadi objek. Padahal dalam Islam, perempuan adalah subjek yang utuh ia berakal, berilmu, dan bertanggung jawab atas dirinya.
Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan.” (HR. Ibnu Majah). Ini adalah penegasan bahwa perempuan bukan pelengkap, apalagi pemuas. Ia adalah makhluk berakal yang berhak untuk berpikir, berpendapat, dan berkontribusi dalam ruang sosial.
Laki-laki yang membuktikan cinta pada Kartini adalah laki-laki yang memuliakan isi kepala perempuan, bukan bentuk tubuhnya. Ia mendengarkan, bukan membungkam. Membuka ruang diskusi, bukan menggurui. Ia tahu bahwa aurat terbesar manusia adalah ketika akalnya tidak ia gunakan.
Memandang perempuan sebagai makhluk intelektual berarti percaya bahwa perempuan bisa menjadi guru, pemimpin, pembuat kebijakan, bahkan pengubah zaman. Seperti Aisyah r.a. yang menjadi rujukan ilmu setelah wafatnya Nabi, atau seperti Syifa binti Abdullah yang diberi kepercayaan oleh Umar bin Khattab untuk mengawasi pasar di Madinah. Perempuan telah membuktikan kapabilitasnya sejak awal sejarah Islam.
Menciptakan Ruang Aman untuk Perempuan
Salah satu bentuk kezaliman struktural terhadap perempuan adalah hilangnya rasa aman. Di rumah, di kantor, bahkan di jalan. Banyak perempuan hidup dalam cemas, karena tubuh dan keberadaannya selalu terancam komentar, sentuhan, atau kontrol yang tidak ia inginkan. Maka laki-laki yang cinta pada Kartini adalah laki-laki yang menciptakan ruang aman.
Ruang aman bukan hanya tentang tidak mengganggu. Ia juga tentang keberpihakan aktif terhadap perempuan. Berani menegur teman sendiri yang melecehkan perempuan, menolak candaan seksis, serta memastikan bahwa tempat kerja, komunitas, atau rumah adalah ruang yang ramah dan adil untuk perempuan.
Nabi Muhammad saw. adalah teladan pencipta ruang aman. Dalam rumah tangga, beliau tidak pernah berkata kasar kepada istri-istrinya. Di masyarakat, beliau membela perempuan yang terlecehkan. Bahkan dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau meminta persetujuan Ummu Salamah sebagai penasihat strategis.
Rasul menjadikan perempuan bukan hanya aman secara fisik, tetapi juga aman untuk bersuara dan mengambil peran. Ruang aman adalah bentuk nyata dari keimanan. Karena Islam bukan hanya tentang ibadah personal, tapi juga tentang menciptakan keadilan sosial. Dan keadilan tidak akan pernah hadir jika satu pihak terus merasa takut atau terbungkam.
Memberikan Kesempatan yang Sama: Perempuan Berhak Menjadi Apa yang Ia Mau
Feminisme Islam tidak menolak kodrat biologis, tetapi menolak narasi bahwa perempuan hanya boleh berada dalam ruang domestik. Islam memberi ruang luas untuk perempuan mengambil peran di masyarakat, selama dengan niat yang baik dan cara yang baik. Maka laki-laki yang mengkartinikan perempuan adalah laki-laki yang tidak membatasi mimpi perempuan hanya karena jenis kelaminnya.
Kesempatan yang sama bukan berarti menyeragamkan peran, tetapi memberi akses yang adil. Jika perempuan ingin jadi ilmuwan, dukung. Ingin jadi pengusaha, fasilitasi. Jika ingin jadi ibu rumah tangga sepenuh waktu, hormati. Perempuan bukan cermin dari ambisi laki-laki, melainkan pemilik mimpinya sendiri.
Allah menciptakan manusia dengan potensi yang unik. Surah Al-Hujurat ayat 13 menyatakan, “Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” Bukan yang paling banyak bicara, paling tinggi jabatan, atau paling maskulin. Maka, menghalangi perempuan mengejar cita-cita hanya karena ia perempuan, adalah bentuk kezaliman terhadap fitrah ilahi.
Memberikan Support untuk Kebahagiaan yang Ia Pilih dan Atas Dirinya Sendiri
Kebahagiaan perempuan tidak selalu berbentuk pernikahan, anak, atau tas branded. Perempuan punya spektrum luas dalam memaknai hidupnya. Laki-laki yang mengkartinikan perempuan bukan hanya mendukung pilihan perempuan, tapi juga tidak merasa berhak mengontrol jalan hidup perempuan.
Sering kali, perempuan dianggap “tak lengkap” jika belum menikah, atau “tak berhasil” jika belum punya anak. Padahal dalam Islam, ukuran keberhasilan adalah ridha Allah dan kelapangan hati. Maka, ketika perempuan memilih untuk menunda menikah demi studi, atau fokus membangun bisnis kecilnya, ia tidak sedang melawan kodrat. Ia sedang taat pada panggilan jiwanya dan itu suci.
Support sejati bukan berarti selalu setuju. Tapi hadir, mendengarkan, dan tidak menghakimi. Bahkan ketika pilihan perempuan berbeda dengan preferensi kita, selama ia tidak melanggar syariat dan merugikan orang lain, maka biarkan ia berjalan dengan langkahnya. Itulah bentuk kasih sayang yang sejati rahmah, bukan kuasa.
Kartini Tidak Lahir Sendiri
Kartini bisa menulis karena ia diberi ruang oleh ayahnya. Ia bisa bersuara karena didukung oleh sahabat-sahabat korespondennya, termasuk laki-laki. Maka sejarah pun mencatat bahwa pembebasan perempuan tak pernah bisa dilakukan sendiri. Dibutuhkan keberpihakan laki-laki bukan untuk menjadi penyelamat, tapi untuk menjadi sekutu sejati dalam perjuangan.
Menjadi laki-laki feminis dalam Islam bukan berarti menjadi lembek, kehilangan peran, atau dipinggirkan. Justru sebaliknya—ia adalah manifestasi dari iman yang dewasa, cinta yang adil, dan tanggung jawab yang luhur. Ia memahami bahwa membesarkan perempuan bukan berarti mengecilkan diri, tetapi meninggikan martabat kemanusiaan bersama.
Karena sejatinya, mengkartinikan perempuan bukan tentang menyerahkan panggung. Tapi menciptakan dunia di mana perempuan tidak lagi perlu meminta izin untuk berdiri tegak. []