Mubadalah.id – Film dokumenter Muda Buka Suara: Kisah Jatuh dan Bangun Melawan Raksasa Listrik (2022) bukan sekadar menampilkan keterpurukan masyarakat di balik PLTU Cilacap. Lebih dari itu, ia juga mengungkap kekalahan, kesadaran, solidaritas dan perjuangan yang muncul di tengah lingkungan yang rusak. Dengan mengamalkan centering the margin, dokumenter tersebut bersikeras membuka mata dunia atas dampak buruk industri listrik dari sudut pandang entitas yang termarjinalkan sekaligus paling menderita.
Lebih lanjut, film dokumenter tersebut berpihak pada rahim alam yang rusak akibat akumulasi kapital industri listrik. Dalam kajian ekofeminisme, kondisi rahim alam seperti itu dapat terdokumentasi lebih valid melalui proses akomodasi suara kelompok marginal, lebih spesifiknya perempuan.
Berpijak pada itu, secara gamblang film tersebut menunjukkan bahwa rusaknya rahim alam, seperti menurunnya kesuburan tanah dan berkurangnya ikan di laut, mempengaruhi lanskap peran gender, sosial, ekonomi, budaya, dan spiritualitas masyarakat yang bergantung terhadapnya.
Saya tidak akan berbicara lebih panjang mengenai pesan dalam film tersebut. Sebagai orang yang terlibat dalam pembuatan film ini, saya memilih menunjukkan diskusi di dapur rekaman selama proses pembuatannya. Kemudian, “mengapa” menjadi pondasi pembahasan saya selanjutnya. Seperti mengapa memilih pemuda sebagai narasumber, mengapa memilih isu kerusakan alam yang diakibatkan industri listrik, dan “mengapa” lainnya.
Bukan Mengekstraksi Penderitaan Marginal
Film dokumenter tersebut merupakan keluaran “antara” dari proses panjang LBH Yogyakarta mendampingi masyarakat terdampak PLTU Cilacap sejak medio 2018an. Basis data film tersebut diperkuat melalui penelitian mendalam yang dilaksanakan dalam rentang waktu kurang lebih satu tahun.
Kami berpijak pada Linda Tuhiwai melalui bukunya Decolonizing Methodologies (2021), bahwa masyarakat lokal bukanlah “sumber data” yang kita tambang lalu kita tinggalkan lokasinya tanpa membawa kepentingan mereka. Melangkah menjauhi sifat itu, kami berusaha menyingkap kerusakan alam yang tertutup oleh kabut pertumbuhan ekonomi industri listrik. Berikut juga dengan mengetengahkan (centering) suara marginal yang selama ini sulit mendapat akses.
Bersandar pada penelitian kami, alam yang rusak akibat PLTU itu berdampak pada matra sosial, kesehatan, budaya, ekonomi, dan spiritual masyarakat. Matra itu terbingkai dalam film dan menjadikannya diskursus tandingan (counter discourse). Melalui itu, kami memvisualkan pengalaman penderitaan masyarakat. Yang perlu kita catat, visual penderitaan masyarakat adalah realitas itu sendiri. Bukan eksploitasi untuk menarik simpati penonton (poverty porn).
Kemudian, pemilihan narasumber sengaja mengakomodasi pemuda karena melihat potensi besarnya sebagai motor gerakan lingkungan di masa depan. Selain itu kami mencoba mengajukan suara alternatif. Di mana, dalam observasi kami, suara pemuda selalu tertutup oleh generasi tua karena faktor budaya. Akibatnya, pemuda seolah-olah tidak memiliki pengalaman di lingkungan yang rusak dan otoritas suara untuk menyampaikannya. Padahal potensi gerakannya cukup besar.
Komposisi dokumenter, pada akhirnya, mengandung 2 diskursus. Pengalaman pemuda atas dan optimisme gerakan pemuda untuk lingkungan hidup. Apakah dengan dokumenter tersebut dapat memobilisasi gerakan pemuda untuk lingkungan di masa depan? Tentu bukan porsi dokumenter ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Recognize: Metode Pemberdayaan
Kerugian, penderitaan, dan keresahan selama hidup di alam yang rusak adalah hal yang lazim kami jumpai di masyarakat. Tapi eksposur berlebih pada ketidakberdayaan masyarakat akan membawa pada pesimisme dan mendepolitisasinya. Berbagai bentuk perjuangan, sekecil apa pun itu, harus mendapat eksposur untuk membuktikan bahwa masyarakat tidak hanya diam menunggu ratu adil.
Kami menyadari, ekonomi, sebagaimana tesis Marx, merupakan pondasi yang menentukan segala lini kehidupan, termasuk metode berjuang. Dengan hilangnya sumber ekonomi, kami tidak mengekspektasikan bentuk perjuangan yang sophisticated. Melalui film, kami coba menampilkan saluran perjuangan yang sederhana namun konstan.
Beberapa saluran perjuangan itu, merujuk gagasan de Certeau, menubuh dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Contohnya seperti mengajar di TPQ, merawat organisasi, dan membangun solidaritas. Perjuangan sederhana itu tidak bisa kita eksklusikan dari gerakan sosial. Sebab melalui setiap pertemuan (encounters) itu telah terjadi transformasi pengetahuan mengenai bahayanya PLTU.
Kembali pada de Certeau, penolakan (resistance) terhadap binaritas kapitalisme listrik harus kita lakukan: konsumen dan produsen listrik. Dalam kenyataannya, masyarakatlah yang menanggung lebih berat dari kekacauan alam akibat aktivitas PLTU.
Dan, ia bukan sekadar konsumen yang dikonstruk oleh struktur kuasa kapitalisme. Melainkan, masyarakat resisten terhadap dampak destruktifnya proses produksi listrik. Dari situlah everyday life di lingkungan yang rusak menjadi praktik perjuangan dan usaha keluar dari binaritas kapitalisme. []