• Login
  • Register
Senin, 7 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Girl in the Basement: Regulator Moral yang Tidak Bermoral

Ini adalah film yang menunjukkan relasi keluarga yang tidak sehat dan sering kali berujung pada tindak kekerasan.

Miftahul Huda Miftahul Huda
13/04/2021
in Film
0
Moral

Moral

424
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Persoalan klasik maskulinitas adalah rasa ingin menguasai dan mengatur. Tidak jarang sifat itu tumbuh subur di kepala laki-laki, terlebih seorang ayah. Jelas itu berbahaya, dan potensi kekacauan yang ditimbulkan dari sifat maskulin bisa datang kapan saja: ketika merasa tidak bisa mengendalikan “miliknya”, ada perlawanan dari sesuatu yang “dimiliki”, dan menyadari kekuasaannya mulai rapuh. Kemudian langkah yang diambil untuk menstabilkan dominasinya adalah dengan melakukan kekerasan.

Kita bisa melihat itu dari kejadian nyata di Austria pada kurun waktu 1984-2008. Ya, lebih dari satu dekade. Korbannya adalah Elisabeth Fritzl, yang waktu itu berusia 18 tahun; dan pelakunya adalah Josef Fritzl, ayah korban, yang saat itu berusia 49 tahun.

Kasus kekerasan itu terungkap setelah Elisabeth keluar dari ruang bawah tanah, tempat ia disekap dan dihujani kekerasan, untuk pertama kalinya setelah 24 tahun karena anak tertuanya hilang kesadaran pada 19 April 2008. Dan Josef Fritzl ditangkap pada 26 April 2008, di usia 73 tahun. Setelah itu, Elisabeth dan anak-anaknya dibawa jauh dari rumah dan dirawat oleh negara (oxigen.com).

Melihat Lebih Jelas Melalui Film

Girl in the Basement (2021) menggambarkan kisah mengerikan yang dialami Elisabeth melalui karakter Sara (Stefanie Scott), sedangkan Josef melalui karakter Don (Judd Nelson). Sara memiliki saudara bernama Amy dan ibu bernama Irene—istri Don.

Baca Juga:

Surat yang Kukirim pada Malam

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Don merupakan sosok ayah yang berkarakter keras dan mencengkeram seluruh keluarga dengan aturannya. Ia tak segan memukul anggota keluarganya agar mereka kembali ke orbit aturan yang telah ia buat. Tentu saja semua anggota keluarga hanya diam dan patuh, kecuali Sara. Sara merasa harus melawan sikap kesewenang-wenangan ayahnya. Sampai pada akhirnya ia melanggar larangan ayahnya untuk keluar malam, dan melenggang keluar rumah menuju pesta.

Di titik itu, Don merasa anaknya telah berbuat tidak sopan dan suaranya sudah tidak digubris lagi. Hingga suatu malam Don mencuri dengar obrolan dua anak dan istrinya, bahwa Sara akan pergi dari rumah menuju Florida setelah usianya 18 tahun.

 

Moral

 

2 bulan sebelum ulang tahun ke-18, Don menyekap Sara di basement yang sudah ia rencanakan sebelumnya tanpa diketahui siapa pun. Sejak hari itu, Sara mulai benar-benar merasakan puncak keberingasan ayahnya. Di hari kedua Sara mendapatkan pukulan Don karena menurut Don perilaku Sara belum berubah: tidak sopan. Kemudian di hari ketiga, Don memperkosa anaknya itu untuk menundukkan perilakunya yang terus melawan.

Sara benar-benar terpukul pasca kejadian yang menimpanya dan mulai menuruti tuntutan Don untuk menjadi perempuan “yang baik”. Menurut kualifikasi Don, perempuan yang baik adalah yang mampu mengerjakan tugas domestik: merawat anak, memasak, dan menuruti laki-laki sebagai kepala keluarga.

Setelah kejadian itu, Sara hamil dan melahirkan di basement tanpa bantuan bidan. Tidak hanya satu anak, tapi empat anak: dua anak di basement, satu anak meninggal, satu lainnya dirawat di rumah atas bersama Irene (tanpa diketahui kebenarannya oleh Irene). Gambaran di film agak berbeda, karena pada kenyataannya Sara (Elisabeth) melahirkan 7 anak.

Sementara itu, Don naik-turun tangga (basement) setiap hari: menjadi suami Irene di rumah atas dan menjadi suami (sekaligus ayah dan kakek) bagi Sara dan anak-anak yang dilahirkan. Pukulan, tendangan, dan cemoohan tidak pernah berhenti selama 24 tahun di basement, karena sedikit “perilaku melawan” dianggap Don sebagai perempuan tidak baik.

Bukan Inses, itu Kekerasan Seksual!

Perlu dipertegas di sini, bahwa kejadian itu sungguh bukan inses—yang menandakan ada kesepakatan dalam berhubungan intim sedarah—melainkan kekerasan seksual dan perkosaan (sexual assault).

Ada ancaman yang membuat Sara (Elisabeth) tidak kuasa menolak perilaku bejat Don (Josef). Pertama, Don fokus pada seksualitas. Secara biologis, setiap yang disebut perempuan, maka ia harus tunduk pada laki-laki (subordinasi). Hal itu juga melekatkan aspek moral yang menempatkan laki-laki sebagai regulator moral perempuan. Perempuan akhirnya tidak bisa berbicara moral atas-nama diri mereka sendiri, sebab laki-laki selalu mengatasnamakannya.

Pada tahap ini kita sampai pada gagasan Michel Foucault tentang kekuasaan, yang pada akhirnya menghasilkan pendisiplinan seksualitas. Kedua, niat awal Don adalah mendisiplinkan moral anaknya; ketika usaha itu tidak berjalan sesuai rencana, yang terjadi adalah paradoks moral. Itu digambarkan melalui aksi Don yang memperkosa anaknya, yang jelas tidak bermoral, untuk menunjukkan bagaimana “moral” perempuan sesungguhnya: menurut Don, menjadi ibu yang baik.

Sara memang melakukan apa yang diminta Don, namun bukan berarti Sara secara sukarela melakukannya. Melainkan ada pengawasan (panopticon) dan “sanksi” ketika ia tidak disiplin, yaitu pukulan dan tendangan, yang hingga menewaskan anak ketiganya saat masih dalam kandungan. Paradoks itu selalu berulang, dan Don selalu menjadi pengontrol moral yang tak bermoral.

Sara adalah penyintas dari relasi keluarga yang tidak sehat. Ruang yang kerap dijuluki tempat paling aman tersebut nyatanya menjadi sarang kekerasan. Dan orang terdekat serta dikenal sebagai pelindung, malah menjadi ancaman utama. Kita perlu keluar dari normalisasi itu, bahwa tempat paling aman adalah tempat yang dihuni oleh orang yang mau berelasi dengan setara, bukan pengkultusan “kepala keluarga” sebagai pelindung mutlak. Alih-alih melindungi, yang sering terjadi justru digunakan untuk melegitimasi kekerasan. []

Tags: FilmGenderkeadilanKekerasan seksualKesetaraanRelasistop kekerasan terhadap perempuan
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Squid Game

Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

3 Juli 2025
Nurhayati Subakat

Nurhayati Subakat, Perempuan Hebat di Balik Kesuksesan Wardah

26 Juni 2025
Film Animasi

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

22 Juni 2025
Film Azzamine

Film Azzamine: Ketika Bentuk Proteksi Orang Tua Kepada Anak Perempuan Disalahartikan

20 Juni 2025
Tastefully Yours

Tastefully Yours : Membongkar Konstruksi Sosial dari Dapur

19 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Ulama Perempuan

    Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID