Haji dan Ekonomi: Perjuangan Orang Miskin Menaklukkan Kesenjangan

Orang miskin bercita-cita berangkat haji, dan bagaimana realitas kesenjangan antara si miskin dan si kaya di Indonesia.

Orang Miskin

Orang Miskin

Mubadalah.id – Alkisah, ada seorang pedagang sate dan seorang tukang sampah yang akhirnya bisa berangkat haji tahun ini. Mereka adalah orang-orang miskin pilihan Allah SWT untuk bertamu ke Baitullah.

Akan tetapi, perjuangan keduanya untuk menapaki tanah suci tidak diraih dengan cara yang mudah. Seorang pedagang sate harus mengumpulkan pundi-pundi uang yang ia tabung selama 55 tahun. Sedangkan, si tukang sampah menabung sejak 1986 demi impiannya pergi haji.

Selain kisah pedagang sate dan tukang sampah yang kini bisa menunaikan ibadah haji, ada pula kisah haru orang miskin pasangan suami istri di Tasikmalaya yang impiannya kini tercapai. Pasutri ini bekerja sebagai penjual bubur ayam yang setiap harinya menyisihkan sebagian pendapatannya untuk bisa mendaftar haji. Kebiasaan ini sudah mereka lakukan selama 12 tahun.

Kisah pedagang sate, tukang sampah, dan tukang bubur, serta orang miskin kaum kelas menengah ke bawah lainnya, dalam konteks perjuangannya pergi ke tanah suci, tergapai dengan susah payah penuh rintangan. Setiap tahunnya, kita sering mendengar kisah orang-orang miskin yang pada akhirnya bisa berangkat haji setelah keringat membasahi tubuhnya.

Orang-orang miskin “pinggiran” ini bisa pergi haji dengan perjuangannya sendiri, tidak dengan meminta welas asih orang lain, atau memakai uang yang bukan haknya. Mereka adalah sosok-sosok yang gigih dalam merealisasikan cita-citanya. Menjadi sebuah pelajaran bahwa jika ingin mencapai puncak kesuksesan maka harus bekerja keras kita iringi dengan doa.

Kesenjangan Sosial di Bidang Ekonomi

Kehidupan ini begitu tidak merata. Di samping banyak masyarakat “miskin” bisa pergi haji dengan jerih payah dan pengorbanannya. Di sisi lain ada orang-orang yang tidak puas menunaikan haji hanya sekali. Dengan uang yang ia miliki, orang-orang ini bisa pergi haji berkali-kali. Bahkan bisa lebih dari tujuh kali, padahal Nabi SAW sang panutan kita hanya berhaji satu kali dalam hidupnya. Kita tidak tahu pasti apa motivasi banyak orang ini berhaji berulang kali.

Namun, akan menjadi hal yang buruk jika motivasinya bukan karena Allah. Meminjam istilah Kiai Ali Mustafa Yakub sebagai ‘Haji Pengabdi Setan’, yakni mereka yang beribadah haji berkali-kali. Bukan karena sunnah, melainkan karena mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan. Seperti untuk pamer dan menunjukkan eksistensi diri dalam kehidupan bermasyarakat.

Fenomena si miskin yang untuk dapat pergi haji harus tertatih-tatih terlebih dahulu. Kemudian si kaya yang bisa pergi haji berulang kali, memperlihatkan adanya kesenjangan sosial yang akut, spesifik di bidang ekonomi dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Ketimpangan ekonomi ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti disparitas pendapatan antara buruh dan juragan. Lalu ada pula kesenjangan dalam hal makanan, karena bagi si Kaya ia bisa dengan bebas memilih menu yang lezat dan berharga mahal, sementara si miskin tidak punya banyak pilihan selain harus makan nasi lauk tempe saja, dan lain sebagainya.

Kesenjangan si Miskin dan Kaya

Kesenjangan, secara makro ekonomi, memiliki pengaruh terhadap ekonomi suatu negara. Misal, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lantaran konsumsi masyarakat yang tidak optimal, khususnya dari kelompok miskin. Lebarnya kesenjangan membuat kelompok miskin kian sulit keluar dari lingkaran kemiskinan itu. Dampaknya apa? dampaknya bisa merembet ke masalah sosial, seperti meningkatnya angka kejahatan yang bisa berujung ketidakstabilan sosial.

Jika kita ingin melihat lebih detail ketimpangan sosial ini, bisa kita saksikan di Kota Metropolitan. Setiap kali saya pergi ke Jakarta, saya selalu mengamati dari jendela mobil atau bus yang saya naiki, untuk sekadar melihat objek yang ada di Ibukota.

Di antara kemegahan apartemen-apartemen mewah yang menjulang tinggi, di antara rumah-rumah besar yang berpenghuni, terdapat sebuah pemandangan kontras dan mencolok: beberapa keluarga yang menetap di kolong jembatan.

Mungkin dari kita berpandangan bahwa apartemen, gedung pencakar langit, hotel bintang lima, hingga rumah-rumah milik orang kaya yang berdiri megah di Kota Metropolitan, adalah simbol kemajuan ekonomi dan pembangunan suatu daerah.

Di sisi lain, keluarga yang tinggal di kolong jalan tol, rumah reyot di pinggiran sungai (untuk menyebut di antaranya) mengingatkan kita akan kenyataan bahwa tidak semua orang merasakan manfaat dari pembangunan tersebut.

Haji Hanya untuk yang Berduit?

Begitu pula dengan fenomena saat ini. Di musim haji, tidak semua orang bisa berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan rukun Islam ke-5 ini. Ada si miskin yang hanya bisa menatap gambar Ka’bah di rumahnya; ada pencari nafkah yang jangankan untuk pergi haji, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja harus berjuang setengah mati; ada pula kaum tertindas yang pergi haji hanya ada di khayalan semata.

Sialnya, di saat banyak orang tak bisa pergi haji karena tak mampu di antaranya secara finansial, kita malah tak jarang disuguhkan gaya hidup para orang kaya dan pejabat publik yang tak memiliki empati. Dengan semena-mena, mereka pamer kekayaan dan kemewahan baik di dunia maya atau dunia nyata. Bukan bertujuan tuk memotivasi melainkan agar mendapatkan validasi.

Perilaku manusia semacam ini tentu sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang lemah secara ekonomi. Masyarakat yang ringkih secara ekonomi, jangankan untuk pergi haji, memiliki cita-citanya saja untuk pergi ke tanah suci pun tidak. Belum lagi, biaya ongkos naik haji reguler yang semakin mahal, di tahun 2025 ini adalah sekitar Rp 55,43 juta per jemaah. Angka yang tak sedikit untuk orang-orang dengan ‘gaji kecamatan’.

Masa Tunggu Jamaah Haji

Lalu yang lebih memprihatinkan bagi kita adalah melihat fakta bahwa saat ini masa tunggu jamaah haji di Indonesia bisa sampai puluhan tahun, tergantung domisili setiap jamaah. Di Jawa Tengah misalnya, 32 tahun masa antrinya. Artinya, jika Anda mendaftar haji di usia 30 tahun, maka Anda baru bisa berangkat haji di usia 62 tahun. Jika Anda daftar hajinya di umur 40 tahun, maka di usia 72 tahun Anda baru dipanggil haji.

Jadi, malang betul jadi orang tak mampu di negara ini. Di saat kaum pemodal memiliki akses terhadap segala sumber daya yang ada, mereka juga mendapatkan privilege dengan adanya haji furoda (haji yang tidak memerlukan antrian). Namun tentu saja, biayanya jauh lebih dahsyat. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan di mana yang kuasa secara finansial dapat berangkat dengan cepat, sementara yang lain harus menunggu lama.

Kini, orang-orang dengan kondisi finansial lemah, untuk tidak menyebutnya miskin, hanya punya dua pilihan dalam hidupnya, dalam konteks haji: bekerja keras menghimpun pundi-pundi cuan bertahun-tahun seperti kisah tukang bubur, pedagang sate, tukang sampah demi bisa berhaji dan mewujudkan impiannya, atau menjadi orang lemah yang selalu istiqamah menanti-nanti buah tangan dari tanah suci. []

Exit mobile version