Mubadalah.id – Hari Raya Waisak merupakan hari besar untuk umat Buddha dalam rangka memperingati tiga peristiwa penting sang Buddha Gautama, yaitu lahirnya Pangeran Siddhartha Gautama tahun 623 SM di Taman Lumbini, Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha pada usia 35 tahun pada tahun 588 SM, dan yang terakhir kematian Buddha Gautama di usia 80 tahun, tepatnya pada 543 SM.
Setiap tahunnya, perayaan ini dipenuhi dengan berbagai kegiatan religius dan tradisi yang sarat makna spiritual. Mulai dari meditasi hingga mengibarkan bendera Buddha, seluruh rangkaian perayaan Waisak menjadi refleksi atas ajaran Buddha tentang cinta kasih, kedamaian, dan pembebasan dari penderitaan.
7 Tradisi Umat Buddha Jelang Perayaan Hari Raya Waisak
Melansir dari Antaranews.com disebutkan bahwa setidaknya ada 7 tradisi yang biasa dilakukan oleh umat Buddha pada saat peringatan Hari Raya Waisak.
Pertama, mengamalkan lima sila Buddha. Bagi umat Buddha, Lima Sila bukan hanya dijalankan saat Waisak, melainkan menjadi prinsip hidup yang dipegang setiap hari. Lima Sila ini tertuang dalam Kitab Tripitaka dan menjadi landasan moral untuk menjauhi tindakan yang merugikan makhluk hidup lain maupun diri sendiri.
Adapun isi dari lima sila tersebut ialah Panatipata veramani sikkhapadang samadiyami (Aku bertekad melatih diri untuk tidak membunuh makhluk hidup), Adidana veramani sikkhapadang samadiyami (Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan hakku), Kamesumiccharacara veramani sikkhapadang samadiyami (Aku bertekad melatih diri untuk menjauhi perilaku asusila).
Lalu ada juga sila tentang Musavada veramani sikkhapadang samadiyami (Aku bertekad melatih diri untuk tidak berkata tidak benar) dan Surameraya majjapamadattana veramani sikkhapadang samadiyami (Aku bertekad melatih diri untuk tidak mengonsumsi zat yang menyebabkan hilangnya kesadaran).
Kedua, meditasi, perenungan, dan ibadah di Vihara. Tradisi yang tidak terpisahkan dari Waisak. Biasanya Umat Buddha akan berkumpul di vihara untuk merenungkan kembali ajaran Sang Buddha serta mencari ketenangan batin. Di momen ini mereka juga akan membaca ayat suci (paritta) dan mantra-mantra untuk menambah kekhusyukan proses meditasi.
Selain meditasi, di Vihara juga diselenggarakan berbagai upacara keagamaan, seperti puja bhakti, khotbah dari para biksu, hingga ritual khusus yang memperkuat nilai-nilai spiritual. Momen ini sering ditutup dengan makan bersama untuk mempererat kebersamaan.
Prosesi Pindapata
Ketiga, prosesi pindapata. Dalam tradisi ini Umat Buddha dengan penuh rasa hormat akan memberikan persembahan kepada biksu yang berjalan mengelilingi lingkungan sekitar. Tradisi ini merupakan simbol nyata dari sikap berbagi welas asih.
Keempat, memandikan patung Buddha. Dalam prosesi ini, umat menuangkan air secara perlahan ke atas patung Buddha kecil.
Siapa sangka ternyata ritual ini bukan hanya bermakna penyucian sebuah benda, tetapi juga sebagai simbol keinginan untuk membersihkan diri dari dosa dan pikiran negatif, sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk menjaga kejernihan hati.
Kelima, menyalakan lilin dan melepas lampion. Cahaya menjadi simbol yang sangat kuat dalam perayaan Waisak. Salah satu wujudnya adalah penyalaan lilin berbentuk bunga lotus, yang melambangkan terang pengetahuan dan kebijaksanaan yang mampu mengusir kegelapan dalam batin.
Lampion-lampion tersebut membawa serta doa dan harapan umat akan kehidupan yang damai dan penuh kesejahteraan. Tradisi ini biasanya dilakukan di tempat suci seperti Candi Borobudur dan berlangsung dengan penuh khidmat.
Busana Serba Putih
Keenam, mengenakan busana serba putih. Meskipun bukan suatu kewajiban, mengenakan pakaian berwarna putih saat perayaan Waisak kerap dianjurkan oleh para pemuka agama Buddha.
Warna putih dipandang sebagai simbol kesucian dan kejernihan batin. Melalui busana putih, umat mengekspresikan rasa hormat dan ketulusan dalam menjalani rangkaian ritual serta perenungan spiritual selama perayaan berlangsung.
Ketujuh, aksi sosial dan kegiatan bakti. Dalam rangka menyambut Hari Waisak, berbagai komunitas dan kelompok umat Buddha turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
Umat Buddha biasanya akan mengunjungi panti asuhan, rumah sakit, serta lembaga sosial lainnya untuk menyalurkan bantuan, baik berupa barang, makanan, maupun dukungan moral. Kegiatan ini mencerminkan semangat welas asih serta ajaran Buddha mengenai pentingnya melayani sesama dengan ketulusan hati.
Inspirasi Kebaikan dari 7 Tradisi Hari Raya Waisak
Sebagai seorang muslim, sungguh saya kagum dengan nilai-nilai yang terdapat dalam 7 tradisi Umat Buddha tersebut. Bagaimana tidak, saat ini masih banyak kelompok agama yang merasa paling benar. Sehingga enggan untuk berteman apalagi berbagi dengan yang bukan kelompoknya.
Namun, tidak dengan Umat Buddha. Setidaknya dalam proses merayakan Hari Raya Suci Waisak kita bisa melihat bahwa mereka terus melakukan perenungan atas ajaran-ajaran yang diyakininya, sambil terus mengelola hati dan pikiran agar tidak mudah berprasangka buruk, menghakimi apalagi melakukan kekerasan pada orang lain.
Selain itu, Umat Buddha juga memastikan supaya apa yang mereka yakini tidak hanya berhenti pada simbol saja. Tetapi juga menjelma menjadi perbuatan baik ajaran tentang welas asih dan berbagi pada sesama misalnya.
Tentu teladan-teladan menjadi inspirasi tersendiri untuk saya yang beragama Islam. Ternyata beragama itu tidak boleh berhenti hanya dengan rajin ibadah ritual saja. Tetapi juga harus dibarengi dengan ibadah sosial, yaitu menghormati orang lain, tidak menyakiti sesama dan menolong orang yang membutuhkan. []