“I am not free while any woman is unfree, even when her shackles are very different from my own.”
-Audre Lorde-
Mubadalah.id – Begitulah kata penulis-penyair dan aktivis perempuan asal Amerika Serikat. Ia merasa tidak bebas ketika perempuan lain pun tidak bebas. Bahkan ketika belenggunya sangat berbeda dengan belenggu miliknya. Walaupun berbeda ras, suku, agama, dan kewarganegaraan, Audre Lorde akan berdiri di samping para perempuan itu—yang memanggul aneka beban.
Tidak terlepas di negeri ini, menjadi perempuan berarti ikut menelan pil pahit. Pendidikan tak boleh tinggi-tinggi nanti jodoh lari, tidak dibolehkan memimpin organisasi, harus manut suami, dipersulit menjadi ilmuwan karena dianggap terlalu emosional, dst. Menjadi perempuan seakan-akan bermakna kamu harus jadi bayangan. Gelap, tak kentara. Jarang dianggap, hanya bisa mengikuti gerak subjek utama (yakni laki-laki). Dan bisu.
Tentu kondisi demikian sudah berangsur-angsur membaik. Namun konstruksi sosial semacam itu sebenarnya berawal dari mana? Siapa sosok, sistem, atau faktor apa saja yang mendasarinya? Dan kekuasaan seperti apa yang melanggengkannya? Barangkali akan terlalu kompleks jika kita kuliti satu per satu.
Di tulisan ini, saya hanya ingin mewedarkan sekilas tentang salah satu temuan prominen dalam studi gender dan kekuasaan di Indonesia. Ulasan kritis mengenai hal itu termaktub dalam buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (Komunitas Bambu, Cet. III – 2021). Kendati buku ini sudah klasik, namun gagasannya masih sangat penting untuk diketahui khalayak.
Ibuisme Negara
Gagasan ini mulanya diketengahkan oleh Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis lewat esainya bertajuk “Ibuism and Priyayisation” (1987). Ideologi ibuisme ini memposisikan kaum perempuan khususnya ibu untuk mendukung setiap tindakan perempuan untuk mengurus keluarga, kelompok, kelas, atau negaranya dengan tanpa menuntut pamrih berupa privilese (keistimewaan) dan kekuasaan sebagai imbalan.
Kemudian aktivis gender dan penulis kolom, Julia Suryakusuma, melanjutkan penelitian lebih kaya terkait itu lewat tesisnya yang terbit 1988 di ISS, Den Haag. Bagi Julia, ada konstruksi sosial keperempuanan yang rezim Orde Baru selundupkan secara sistemik ke bawah sadar masyarakat. Di periode ini, rezim selalu mendefinisikan perempuan sebagai entitas yang tidak dapat eksis atas diri sendiri. Ia selalu terkait erat dengan keluarga, komunitas, negara, serta anak, bapak, dan suami.
Upaya-upaya yang Orde Baru jalankan antara lain lewat Dharma Wanita dan PKK—yang dulunya singkatan dari Pembinaan Kesejahteraan Keluarga” dan kelak berubah menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Melalui dua wadah yang terbentuk oleh kekuasaan negara itulah rezim Orde Baru melakukan kontrol sosial dan membentuk definisi serta citra ideal seorang perempuan.
Ini tak lain adalah bentuk housewifization (“pengiburumahtanggaan”) dengan jalur yang lebih canggih. Yakni instrumen negara beserta apparatusnya. Konsep ini sejatinya pernah penjajah Jepang pakai untuk memagari gerakan perempuan Indonesia masa itu. Mereka digiring agar kembali kepada kodrat seturut definisi yang penguasa inginkan.
Riset Julia Suryakusuma
Peristiwa itu ternyata juga diadopsi oleh pemerintah Orde Baru. Riset Julia Suryakusuma ingin membongkar siasat bagaimana negara otoriter Orde Baru menguasai rakyat, melalui berbagai perangkat, mekanisme, dan ideologi yang mereka ciptakan (hlm. xxxix). Bukti konkret darinya, salah satu misalnya, terpendar pada butir-butir Panca Dharma Wanita sebagai berikut:
Wanita sebagai Istri Pendamping Suami, Wanita sebagai Ibu Rumah Tangga. Lalu Wanita sebagai Penerus Keturunan dan Pendidik Anak, dan Wanita sebagai Pencari Nafkah Tambahan. Selain itu, Wanita sebagai Warga Negara dan Anggota Masyarakat.
Hal yang aneh tapi nyata juga tampak dalam Dharma Wanita. Strukturnya sama sekali mencomot model negara yang hierarkis. Bahwa istri Menteri-lah yang akan menduduki posisi tinggi, dan itu sama sekali tidak berlandaskan kapasitas, kompetensi dan prestasi individu. Cerminan kecil dari ‘napas feodalisme’ dinastik yang ikut terwariskan—dan tentu tidak demokratis.
Membaca PKK secara Lebih Kritis
Mengagetkan lagi, lewat buku ini saya tahu bagaimana kekuasaan Orde Baru juga meletakkan banyak tangannya ke ranah privat warga negara, termasuk urusan gender dan seksualitas. Lewat PKK, umpamanya, negara mendapatkan saluran perantara yang menghubungkan mereka dengan kaum wanita desa—mengingat PKK ada di penjuru pelosok negeri. Penulis kelahiran New Delhi ini lanjut mengupas:
“Yang diperantarai ialah kekuasaan negara yang otoriter dan paternalistis melalui berbagai wilayah pengaruh: sosial, budaya, ideologis, politis, dan ekonomi. Di bidang sosial, ia memperantarai konsep “domestikasi”; di bidang budaya ia memperantarai “priyayisasi” dan “ibuisme”.
Di wilayah politik ia memperantarai kekuasaan negara melalui struktur yang menyerupai militer. Lalu di wilayah ekonomi ia memperantarai gagasan tentang rumahtangga dan norma keluarga batih untuk mendukung perkembangan kapitalis yang dipimpin negara. Selain itu di wilayah ideologi memperantarai Pancasila melalui ideologi bapak-ibuisme negara.” (hlm. 61)
Di mata Julia, ibuisme negara terjadi karena negara mengkonstruksikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan domestik sehingga perempuan pada periode itu menjadi angkatan kerja kapitalisme yang “tidak dibayar”.
Ringkasnya, ibuisme negara adalah hasil perkawinan akur antara feodalisme dan kapitalisme. Secara kritis ia juga menyodorkan bahwa perempuan sering diabaikan dalam analisis politik. Padahal secara jumlah, mereka separuh dari total warga negara.
Masih Ada, Hanya Malih Rupa
Dalam pengantarnya di edisi ketiga buku itu, aktivis gender pecinta seni ini mengamati bahwa “ibuisme negara” masih eksis. Kendati Orde Baru sudah tumbang sejak 1998, namun anasir pembentuknya dan sisa-sisa perangkat ideologis dan kelembagaanya masih hadir hingga kini. Golkar tidak bubar, Dharma Wanita masih aktif, hingga PKK pun masih beraktivitas di seluruh desa. Lebih lagi, aspek budaya feodalisme masih langgeng di masyarakat.
Julia mengamati hal tersebut masih kondusif bagi ibuisme negara untuk tetap menyusup. Hanya saja, ia beradaptasi seiring waktu. Yang pasti, menurutnya, “hegemoni patriarki di Indonesia sangat dominan, selain dari negara juga dari nilai-nilai tradisional dan kelompok Islam konservatif yang semakin berkuasa.”
Ihwal tersebut dapat kita intip pada muncul dan proaktifnya gerakan anti-feminisme yang mengatasnamakan kelompok dengan dasar keagamaan tertentu.
Membaca buku ini, setidaknya kita dapat menjelajahi peta kekuasaan yang nyatanya merembesi ranah privat dan banyak sektor lain di alam kehidupan sehari-hari. Kita bisa mengeja ruang, waktu (masa lalu dan konteks masa kini), untuk kemudian menyiapkan diri di masa mendatang. []