Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

Tanpa pendidikan yang aksesibel, diskriminasi dan perundungan terhadap kaum difabel akan sulit berhenti.

Jukir Difabel

Jukir Difabel

Mubadalah.id – Nasib pilu menimpa seorang juru parkir atau jukir difabel di Kota Bekasi pada akhir April lalu. Difabilitas mental yang ia miliki menjadi objek bully-an tiga orang remaja. Kepalanya memperoleh jitakan berulang kali. Padahal, ia tak membuat sepucuk kekeliruan apapun. Jukir itu coba melawan, tapi dayanya tak cukup tangguh untuk membalas perundungan yang diterimanya.

Sementara, fakta bahwa pelaku masih tergolong anak di bawah umur kian membikin publik geram. Sejak usia sedini itu, mereka telah melakukan perilaku yang merendahkan martabat sesama. Mereka mungkin sekadar berniat iseng atau jail. Namun, perilaku mereka telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

Sementara, Wakil Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bekasi, Novrian, menyebut bahwa salah seorang di antara ketiga pelaku merupakan anak putus sekolah (APS). Artinya, kuat kemungkinan adanya gap edukasi yang menjaraki pelaku dari akses terhadap nilai-nilai inklusivitas. Keterputusan pendidikan sangat mungkin menyumbang stimulus negatif bagi lahirnya ekspresi dan tindakan-tindakan kontra-inklusif.

Bila publik mencermati lebih jeli, baik jukir difabel selaku korban maupun pelaku yang putus sekolah sejatinya sama-sama masuk kategori kelompok rentan. Eksklusi sosial acap mereka alami. Namun, bagaimanapun keberpihakan kita semestinya jatuh kepada jukir difabel tersebut. Ketidaktahuan para pelaku akan nilai-nilai inklusi tidak lantas beroleh toleransi sosial begitu saja. KPAD mesti menindak mereka dengan tegas, sembari melakukan pendekatan edukatif.

Peristiwa yang melibatkan jukir difabel dan anak putus sekolah ini menyorok publik untuk sangsi. Apakah inklusivitas yang selama ini menggema di ruang-ruang diskusi sekadar ilusi di lapangan? Apakah teori dan peta jalan yang lahir dari perut pemikiran para akademisi dan aktivis sama sekali mandek di masyarakat akar rumput?

Sementara kita berhadapan dengan isu difabel yang kian kompleks, kita masih belum tuntas mengurai masalah pendidikan yang belum merata. Meskipun konstitusi mengamanatkan pencerdasan kehidupan bangsa, akan tetapi akses pendidikan masih saja belum aksesibel bagi setiap anak negeri.

Akses Pendidikan yang Belum Inklusif

Selama ini, kita sering mendapatkan pemahaman bahwa inklusivitas di dunia pendidikan berarti melibatkan peserta didik berkemampuan khusus (difabel) di dalam aktivitas pembelajaran reguler. Tentu, pemahaman ini tidak mutlak sepenuhnya salah.

Namun, sejatinya konsekuensi dari inklusivitas di antaranya yaitu melibatkan anak usia sekolah yang mengalami putus sekolah untuk tetap mendapatkan hak-hak belajarnya. Kita perlu mendudukkan personal jukir difabel dan remaja putus sekolah ini di atas meja yang objektif.

Inklusivitas bertalian erat dengan aksesibilitas pendidikan. Sayangnya, hingga saat ini, aksesibilitas pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama. Sebagai contoh, hasil kajian Lembaga Kajian Islam Sosialis (LKiS) dalam buku “Suara Demokrasi dari Akar Rumput: Problematika, Praktik Baik dan Peta Jalan Demokrasi di DIY” menunjukkan bahwa pendidikan belum sepenuhnya aksesibel.

Di kota sekaliber Yogyakarta yang moncer dengan sebutan “Kota Pelajar”, angka anak putus sekolah masih tinggi. Sebagai misal, pada tahun 2021, jumlah siswa drop out dari sekolah mencapai 365 orang. Dari jumlah ini, siswa sekolah menengah atas (SMA/SMK) menjadi subjek dengan proporsi dominan. Padahal, sekolah menengah atas merupakan pijakan krusial sebelum memasuki usia produktif, baik untuk bekerja maupun berstudi ke perguruan tinggi.

Ilusi Pendidikan Inklusi

Faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah tersebut umumnya berkisar pada masalah ekonomi. Tingginya pengeluaran yang mesti dikeluarkan keluarga untuk menyekolahkan anak seringkali tidak sebanding dengan besaran pendapatan keluarga. Terlebih, nilai upah minimum regional (UMR) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masih konsisten di level terendah se-Indonesia (Kabar Nusantara, 2025).

Catatan ini diperkuat dengan data LKiS tentang aktivitas penahanan ijazah yang dilakukan oleh sekolah terhadap siswa yang belum mampu melunasi iuran. Hal ini secara tidak langsung telah menambah beban psikologis terhadap siswa maupun orang tuanya.

Bukan mustahil, para wali siswa menjadi ragu-ragu untuk menyekolahkan anaknya gegara khawatir tidak dapat memenuhi seluruh pembayaran. Sementara, bagi siswa sendiri, bayang-bayang penangguhan ijazah sangat berpotensi mempengaruhi motivasi belajar.

Sekelumit ironi tadi hanyalah sekadar abstraksi sederhana betapa akses pendidikan bagi masyarakat rentan masihlah sangat struggling. Kondisi ini membuat mimpi membangun pendidikan inklusif berasa makin bak ilusi semata. Selama sentralisasi dan monopoli pendidikan oleh segelintir orang masih terus berjalan, rasa-rasanya ableism serta bullying seperti apa yang menimpa jukir difabel tadi masih akan berlanjut.

Pentingnya Pendidikan tentang Inklusivitas Sejak Dini

Peristiwa perundungan (bullying) terhadap jukir difabel oleh remaja tadi seyogianya melahirkan interpretasi akan pentingnya pendidikan mengenai inklusivitas sejak dini. Anak mesti lekas belajar tentang inklusivitas secara bertahap menurut usia dan fase tumbuh kembangnya.

Mengupayakan pendidikan tentang inklusivitas kepada anak berarti melibatkan tiga pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah, serta masyarakat. Konsep ini masyhur dengan nama Trisentra Pendidikan hasil buah pikir Ki Hadjar Dewantara.

Keteladanan keluarga, warga sekolah, serta masyarakat dalam menerapkan prinsip-prinsip inklusivitas merupakan pondasi awal untuk menanamkan benih inclusive mindset kepada anak. Selain itu, ketiga Trisentra tadi bertanggung jawab untuk mengenalkan kepada anak tentang keberagaman (diversity) sebagai suatu keniscayaan.

Selanjutnya, membangun habitual sederhana seperti bercerita dan membaca dapat membuka wawasan anak untuk menerima diri dan lingkungannya. Disabilitas seperti apa yang melekat pada jukir difabel tersebut bukanlah aib atau azab yang harus ditutup rapat.

Namun, semestinya keluarga, lingkungan, serta sekolah membuka diri untuk menjelaskan sekaligus membiarkan anak untuk bereksplorasi dengan apa yang ia temui. Dengan begitu, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang apresiatif, bukan figur yang diskriminatif.

Peristiwa jukir difabel dan remaja putus sekolah sekali lagi mengajarkan kita akan kuatnya relasi antara pendidikan dengan tumbuhnya ruang inklusif. Tanpa pendidikan yang aksesibel, diskriminasi dan perundungan terhadap kaum difabel akan sulit berhenti.

Pendidikan tak melulu berarti sekolah formal. Karenanya, pendidikan-pendidikan lewat praksis dan budaya inklusif di lingkungan masyarakat sejatinya dapat menjadi ajang “sekolah inklusivitas” yang lebih manifestatif.

Tentu, pendidikan inklusif menjadi tanggung jawab kita bersama. Setiap kita berhak untuk merasa aman atas orang lain, maka masing-masing dari kita juga semestinya bersikap aman kepada orang sekitar. Inklusivitas adalah kita! []

 

Exit mobile version