Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Aku gak tahan menahan tangis dan membayangkan betapa tersiksanya perempuan-perempuan tersebut. Sebab, selain diasingkan di pondok kecil, mereka juga harus melahirkan sendiri dan mengurus bayinya seorang diri.

tana barambon ambip

tana barambon ambip

Mubadalah.id – Pagi tadi aku menangis tersedu-sedu karena habis menonton konten video tradisi ibu melahirkan di salah satu daerah pedalaman Merauke. Dalam video tersebut dijelaskan bahwa di sana perempuan yang akan melahirkan akan diasingkan ke sebuah pondok kecil yang disebut dengan “tana barambon ambip” (rumah tempat untuk melahirkan seorang anak).

Ketika perempuan akan bersalin, suaminya akan membuat satu pondok kecil atau tana barambon ambip berjarak 20-50 meter dari rumah induk. Bangunan ini berukuran 2 x 2 meter, karena memang hanya disediakan untuk ibu dan bayi. Mereka akan tinggal selama hampir 1 sampai 2 bulan setelah melahirkan.

Selain kecil, bangunan tersebut juga sangat sederhana. Dinding, atap dan juga alas tempat tidurnya terbuat dari daun rumbia atau daun sagu. Tidak ada tempat masak, apalagi kamar mandi. Hanya tersedia sedikit kayu bakar, itupun hanya digunakan untuk menghangatkan tubuh bayi dan mengusir nyamuk.

Sedangkan untuk makanan, mereka akan dikirim dari rumah utama oleh saudara perempuan atau ibu dari perempuan yang melahirkan.

Jujur selama menonton video ini, aku gak tahan menahan tangis dan membayangkan betapa tersiksanya perempuan-perempuan tersebut. Sebab, selain diasingkan di pondok kecil, mereka juga harus melahirkan sendiri dan mengurus bayinya seorang diri.

Bayangkan betapa berbahayanya tradisi tersebut. Dengan bantuan tenaga kesehatan saja, banyak ibu yang mengalami kematian akibat melahirkan. Apalagi ini, melahirkan seorang diri, tidak ditemani dan dibantu oleh siapa pun. Sudah pasti menambah daftar kematian ibu semakin tinggi.

Maka tidak heran jika dalam tulisan yang berjudul “Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia: Bagaimana Cara Mengatasinya?” di Magdelene.com disebutkan bahwa angka kematian ibu dan bayi di tanah Papua termasuk pedalaman Merauke jauh melebihi rata-rata nasional.

Data AKI

Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua sebesar 565 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI di Provinsi Papua Barat sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu tersebut jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi (AKB) di kedua provinsi ini juga tinggi. AKB di Papua tercatat sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup dan Papua Barat mencatatkan 27 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara AKB rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup.

Data ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh Mochammad Wahyu Ghani, Widayatun, Yuly Astuti dan Zainal Fatoni. Dalam tulisannya mereka juga menyoroti faktor penyebab angka kematian ibu dan bayi di Papua.

Menurut mereka ada dua faktor yang menyebabkan mengapa angka kematian ibu dan bayi sangat tinggi di Papua.

Pertama, pemerintah sebagai penyedia layanan kesehatan belum optimal dalam membuat kebijakan dan program kesehatan, membangun infrastruktur, menyalurkan tenaga medis, serta memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang memadai di Papua.

Kedua, masyarakat Papua masih meyakini bahwa proses hamil dan melahirkan merupakan proses alami dalam hidup. Sehingga tidak memerlukan perhatian khusus, apalagi dari segi fasilitas kesehatan.

Oleh sebab itu, selama menjalani peran reproduksi perempuan akan orang-orang biarkan untuk mengurus dan mengatasi permasalahannya sendiri. Termasuk pada saat hamil, melahirkan dan nifas.

Di sisi lain, sebagian orang Papua juga masih percaya bahwa perempuan yang menjalani persalinan hingga masa nifas adalah perempuan dalam keadaan kotor. Sehingga mereka harus mereka pisahkan dari rumah utama ke pondok pengasingan.

Menyedihkan

Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, sebagian masyarakat Papua juga percaya bahwa area tubuh yang sangat pribadi seperti paha, tidak boleh diperlihatkan kepada orang asing, termasuk tenaga kesehatan. Bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Sehingga lebih baik perempuan melahirkan seorang diri dibandingkan dibantu oleh orang lain.

Di sisi lain, untuk melengkapi penderitaan perempuan, sebagian masyarakat Papua juga percaya bahwa setiap anak memiliki waktu kelahiran yang unik. Sehingga siapa pun dapat menolong persalinan, tidak harus tenaga kesehatan.

Namun faktanya tidak semua orang mempunyai pengetahuan tentang persalinan yang aman. Akibatnya banyak perempuan melakukan proses melahirkan sendirian, dan akhirnya berujung pada kematian.

Di sisi lain, kepercayaan-kepercayaan di atas juga membuat masyarakat Papua terkesan “menerima” dan menganggap “wajar” ketika ada ibu dan bayi meninggal pasca melahirkan. Padahal jelas, hal ini tidak bisa terus menerus kita biarkan.

Sebab dengan terus melanggengkan tradisi tersebut akan menambah daftar kematian ibu dan bayi. Itu artinya akan ada banyak perempuan dan anak seperti di pedalaman Merauke yang akan terancam mati sia-sia. []

Exit mobile version