Hari Buruh dan Luka Pekerja Rumah Tangga: Sampai Kapan RUU PPRT Dibiarkan Menggantung?

Tanpa RUU PPRT, PRT tidak diakui sebagai pekerja, dan akibatnya, mereka tidak punya jaminan kerja, tidak punya standar upah, dan tidak punya ruang untuk menuntut keadilan.

Pekerja Rumah Tangga

Pekerja Rumah Tangga

Mubadalah.id – Tanggal 1 Mei, sebagian para pekerja di Indonesia memperingati Hari Buruh. Namun di balik gegap gempita peringatan Hari Buruh, ada kelompok pekerja yang masih terus terpinggirkan dari arus pembicaraan. Ya, mereka adalah para pekerja rumah tangga (PRT).

PRT adalah tulang punggung keluarga. Mereka hadir di setiap sudut rumah untuk membersihkan, memasak, merawat anak, bahkan menjaga orang tua. Namun ironisnya, hingga kini mereka tetap tak dianggap sebagai pekerja yang berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Bahkan, di tengah peringatan Hari Buruh tahun ini, satu tuntutan yang harus terus kita gaungkan adalah sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sekarang juga!

Selama lebih dari dua dekade, perjuangan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT berjalan terseok-seok. Sejak pertama kali diajukan pada 2004, RUU ini hanya mondar-mandir dalam daftar prioritas legislasi tanpa kepastian.

Setiap tahun, para aktivis, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan terus mendesak pengesahan. Namun hasilnya nihil. Ini bukan lagi soal birokrasi lambat, tapi soal abainya negara terhadap pekerja yang mayoritas adalah perempuan dan berada di posisi paling rentan dalam struktur ketenagakerjaan.

Data Kekerasan terhadap PRT

Tanpa payung hukum, pekerja rumah tangga terus mengalami eksploitasi dan kekerasan. Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menunjukkan ada 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT dari tahun 2021 hingga Februari 2024. Menurut mereka sebagian besar kasus tidak pernah tercatat karena korban takut, tidak tahu harus melapor ke mana, atau bahkan tidak tahu bahwa ia memiliki hak.

Kekerasan terhadap PRT bukan cerita langka. Februari lalu, seperti dalam laporan Konde.co, publik dikejutkan oleh kisah seorang PRT asal Nusa Tenggara Timur yang disekap majikannya selama enam bulan. Ia dipukul, tidak digaji, dilarang berkomunikasi, hingga akhirnya memanjat tembok demi menyelamatkan diri.

Hanya selang beberapa hari, lima PRT di Jatinegara, Jakarta Timur, juga nekat melarikan diri dari rumah majikan dengan memanjat pagar berduri. Beberapa dari mereka masih anak-anak berusia 15 hingga 17 tahun. Mereka ditahan, tidak diberi makan, mengalami kekerasan fisik dan psikis, serta kehilangan hak paling mendasar sebagai manusia.

Ini bukan sekadar kasus kekerasan. Ini adalah bukti nyata kegagalan negara melindungi warganya sendiri. Ketiadaan undang-undang membuat para pelaku kekerasan terhadap PRT bisa melenggang bebas atau hanya dikenai pasal umum yang tidak memberikan efek jera.

Bahkan tanpa RUU PPRT, PRT tidak diakui sebagai pekerja, dan akibatnya, mereka tidak punya jaminan kerja, tidak punya standar upah, dan tidak punya ruang untuk menuntut keadilan.

Payung Hukum bagi PRT

Oleh sebab itu, di dalam RUU PPRT ini menawarkan jalan keluar yang konkret, seperti pengakuan status pekerja rumah tangga secara hukum, jaminan upah layak, perlindungan dari kekerasan, dan kepastian hubungan kerja. Ini bukan permintaan yang muluk. Ini adalah kebutuhan dasar untuk hidup bermartabat.

Negara-negara lain, seperti Filipina dan Afrika Selatan, bahkan sudah lebih dulu memiliki undang-undang serupa. Lalu mengapa Indonesia masih tertinggal?

Penundaan pengesahan RUU PPRT mencerminkan keberpihakan legislatif yang lemah terhadap kelompok marjinal, khususnya perempuan pekerja. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang mereka biarkan terus berlangsung.

Pengesahan RUU ini bukan sekadar soal administrasi legislasi, tetapi soal keberanian politik untuk menempatkan keadilan di atas kepentingan ekonomi dan budaya patriarkal yang masih menganggap kerja domestik bukan kerja produktif.

Oleh sebab itu, di Hari Buruh seharusnya menjadi momentum koreksi. Kita tidak bisa terus membiarkan pekerja rumah tangga menjadi “bayangan” yang bekerja tanpa suara.

Masyarakat sipil harus terus menekan. Pemerintah harus berhenti memberi alasan. Dan DPR, sebagai wakil rakyat, harus menunjukkan bahwa mereka benar-benar berpihak pada rakyat. Termasuk rakyat yang tak bersuara.

Satu hal yang perlu perlu kita ingat yaitu tidak ada pembangunan yang adil jika masih ada jutaan orang bekerja dalam ketakutan. Tidak ada keadilan sosial jika satu kelompok pekerja terus terabaikan. Maka, Hari Buruh ini bukan sekadar perayaan. Ini adalah panggilan. RUU PPRT harus segera disahkan. Sekarang, bukan nanti. []

Exit mobile version