Mubadalah.id – Ternyata persoalan KB tidak hanya berhenti pada legitimasi fiqh saja, akan tetapi juga terkait dengan faktor-faktor lain seperti politik, sosiologis dan yang lainnya.
Dalam hal ini sebagai sebuah program yang diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan umat manusia terutama kalangan perempuan, ternyata KB bukan sesuatu yang bebas dari kepentingan politik pihak-pihak yang berkepentingan baik penguasa maupun kalangan industri.
KB sudah bukan didasarkan kepada kepentingan perempuan atau laki-laki untuk mencapai kehidupan yang lebih baik akan tetapi sudah diambil sebagai program pemerintah dan komuditas industrialis.
Pengambilalihan program KB oleh negara pada satu sisi mungkin membantu para akseptor untuk lebih mudah mendapatkan fasilitas serta alat-alat KB lebih mudah. Namun seringkali penanganan pemerintah ini berujung kepada pemaksaan.
Hal ini, karena adanya perbedaan antara kepentingan pemerintah dan orientasi individu. Apabila pemerintah menjalankan program KB untuk efisiensi pembangunan. Maka individu menjalankan program KB untuk kepentingan kesehatan dan kesejahteraan hidupnya. Perbedaan kepentingan ini memang pada suatu saat bisa kita pertemukan, akan tetapi lebih banyak pertentangannya.
Di Indonesia misalnya ada fenomena yang agak ganjil tentang perbedaan kepentingan ini. Indonesia yang konon dinobatkan sebagai negara yang paling berhasil menjalankan program keluarga berencana di mana mantan Presiden Soeharto diberi penghargaan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dunia, namun ternyata pelaksanaan program KB ini tidak begitu menggembirakan bagi kalangan perempuan.
Menurunkan Jumlah Penduduk
Salah satu faktor keberhasilan yang menurut kalangan perempuan sangat penting untuk diperhatikan ternyata tidak dihitung. Menurut kalangan perempuan selain berhasil menurunkan dan mengendalikan tingkat jumlah penduduk, salah satu hal pokok yang harus diperhitungkan adalah dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan kaum perempuan.
Hal ini lah yang tidak bisa bangsa Indonesia penuhi. Bagaimana bisa tingkat kematian ibu melahirkan di Indonesia saja ternyata mencapai rekor paling tinggi di Asia Tenggara.
Sebelum krisis ekonomi dan politik diperkirakan tingkat kematian ibu saat melahirkan (mortality rate) sudah mencapai 425/100.000. Ini angka yang sangat fantastis sebab di Singapura saja tidak lebih dari 5/100.000. Bagaimana dengan kenyataan yang demikian kita menobatkan diri sebagai negara yang paling berhasil dalam KB. Sungguh sangat ironis. Ada beberapa sebab mengapa kita mengalami peristiwa yang demikian ini:
Pertama, pemerintah salah dalam menentukan orientasi kebijakannya sehingga berdampak kepada pelaksanaan yang salah pula di lapangan.
Perlu kita ketahui bahwa orientasi pemerintah adalah orientasi target artinya bagaimana para petugas KB ini bisa melakukan rekrutmen keanggotaan (akseptor) yang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitasnya.
Akibat orientasi yang demikian ini seringkali rekrutmen dengan cara pemaksaan. Pemaksaan ini tidak hanya terjadi pada level rekrutmen saja, akan tetapi sudah menjalar kepada pemakaian alat kontrasepsi.
Sehingga dalam melaksanakan pemasangan atau pemakaian alat KB ini, seringkali petugas lapangan atau juga dokter memasangkan atau memakaikan begitu saja alat tersebut tanpa si akseptor diberi tahu lebih dahulu informasi yang seluas-luasnya tentang dampak-dampak negatif yang akan dideritanya pasca pemasangan dan pemakaian tersebut.
Tingkat Pelayanan Kesehatan
Kedua, tingkat pelayanan kesehatan baik yang berkaitan dengan fasilitas kesehatan maupun yang berkaitan dengan kesiapan SDM masih sangat rendah mutunya di samping juga kekurangan tenaga yang melayaninya.
Akibat masih kurangnya fasilitas dan SDM yang mampu ini pada akhirnya menyebabkan pelayanan bagi para akseptor menjadi rendah. Ketiga, hal yang masih berkaitan dengan faktor pertama dan kedua adalah ketidakterjangkaun tempat maupun biaya oleh para akseptor.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa selama ini tempat-tempat pelayanan kesehatan memang masih sulit terjangkau oleh pengguna pelayanan ini. Keadaan ini sangat terkait dengan paradigma pembangunan sentralistik yang selama ini kita anut.
Akibatnya, penduduk yang berada di wilayah terpencil terasa sangat sulit untuk menjangkaunya. Toh meskipun terjangkau, persoalan biaya juga masih menjadi kendala besar dalam pelayanan kesehatan ini. []