Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Sejauh apa pun anak melangkah, semuanya berawal dari langkah pertama yang dibimbing oleh cinta dan kesabaran orang tua.

Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak

Mubadalah.id – Di berbagai momen kelulusan, kita sering melihat anak-anak muda menuliskan kalimat caption di media sosial, dengan bernada seperti ini: “Hari ini aku jadi sarjana, meskipun orang tuaku hanya lulusan SD.”

Kata sarjana sendiri secara umum merujuk pada seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi tingkat strata satu di perguruan tinggi. Gelar ini menjadi simbol keberhasilan anak dan capaian pendidikan formal yang tinggi. Di mana sering kali kita kaitkan dengan prestasi pribadi. Namun, narasi seperti contoh sebelumnya, walau tampak inspiratif, sesungguhnya menyimpan sejumlah persoalan yang layak kita renungkan secara kritis.

Kalimat itu memang bisa kita maknai sebagai bentuk syukur atau kebanggaan atas perjuangan yang tidak mudah. Namun jika kita telaah lebih jauh, narasi tersebut sering kali terbangun dengan cara membandingkan dan mengkontraskan keberhasilan anak dengan keterbatasan orang tua. Hal ini menyiratkan adanya kecenderungan untuk mengukur pencapaian diri dengan cara mengecilkan pijakan tempat ia berasal.

Bias Keberhasilan yang Mengandung Superioritas

Masalah pertama dari narasi tersebut adalah adanya bias superioritas. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia berhasil “meskipun” orang tuanya hanya berpendidikan rendah. Hal itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut kita anggap lebih bernilai karena latar belakang orang tuanya tidak ideal. Seolah-olah keberhasilan sang anak menjadi lebih luar biasa karena terbangun dari titik awal yang dianggap rendah.

Narasi seperti ini memang bisa memberikan dorongan semangat bagi sebagian orang. Tapi dalam jangka panjang, ia bisa memperkuat pandangan keliru bahwa orang tua yang tidak mengenyam pendidikan tinggi adalah simbol ketertinggalan. Padahal, tidak semua yang sederhana adalah kekurangan. Dan tidak semua keberhasilan harus kita bandingkan dengan apa yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.

Definisi Sukses yang Perlu Dikaji Ulang

Narasi yang menonjolkan “melampaui” orang tua secara tidak sadar juga membentuk pola pikir bahwa sukses adalah soal naik lebih tinggi secara vertikal. Keberhasilan anak terukur dengan membandingkan prestasinya dengan pencapaian orang tuanya. Jika terus-menerus kita gunakan, pola ini akan membuat masyarakat terjebak pada pemahaman bahwa sukses berarti harus lebih dari siapa pun sebelumnya, terutama orang tua.

Padahal, dalam perkembangan psikologis orang dewasa, kematangan bukan soal menjadi lebih dari siapa pun. Melainkan tentang bagaimana seseorang bisa memahami diri sebagai kelanjutan dari perjuangan yang telah ada. Kematangan muncul ketika seseorang tidak lagi melihat orang tua sebagai sosok yang harus terkalahkan, melainkan sebagai dasar yang perlu kita hargai dan kita lanjutkan.

Validasi Diri yang Merendahkan Asal Usul

Keinginan untuk mendapatkan pengakuan sering menjadi alasan seseorang menggunakan narasi “aku sukses meski orang tuaku hanya lulusan SD”. Anak ingin menunjukkan bahwa ia mampu keluar dari situasi yang tidak mudah. Namun, bila cara menyampaikannya justru merendahkan perjuangan orang tua, maka validasi itu menjadi tidak etis.

Narasi seperti ini juga berisiko menguatkan stereotip tentang pendidikan rendah sebagai sesuatu yang memalukan. Padahal, banyak orang tua yang tidak menempuh pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi, sosial, atau kondisi zaman. Mereka tetap layak kita hormati, bukan kita jadikan bahan kontras agar keberhasilan anak tampak lebih besar.

Setiap anak tentu boleh bangga atas jerih payahnya. Namun kebanggaan itu seharusnya tidak menyinggung martabat orang tua. Adab tetap perlu terjaga, karena keberhasilan anak tidak pernah lepas dari campur tangan dan pengorbanan orang tua, sekecil apapun bentuknya.

Mengembalikan Adab dalam Menyampaikan Kebanggaan

Salah satu nilai penting yang tampaknya semakin luntur adalah rasa hormat terhadap orang tua. Terutama ketika mereka tidak memiliki latar pendidikan yang kita anggap tinggi. Kalimat seperti “aku sukses meski orang tuaku cuma lulusan SD” perlahan-lahan bisa mengikis adab dan rasa hormat itu, walaupun tidak diniatkan demikian.

Alih-alih menyebut pendidikan orang tua sebagai kelemahan yang harus kita taklukkan, akan lebih bijak jika anak menyampaikan keberhasilannya sebagai hasil dari doa, dukungan, dan perjuangan orang tua. Misalnya, alih-alih berkata “aku sarjana meski orang tuaku cuma lulusan SD”, akan lebih indah jika kita mengatakan “aku bisa kuliah karena orang tuaku berjuang luar biasa, walau mereka tidak sempat mengenyam bangku perguruan tinggi.”

Bahasa seperti ini tidak hanya menjaga adab, tapi juga menunjukkan kematangan dalam memahami nilai keberhasilan. Anak tidak lagi merasa dirinya unggul dari orang tuanya, tapi bersyukur atas landasan yang telah kita siapkan.

Menumbuhkan Keberhasilan sebagai Warisan, Bukan Kompetisi

Sudah waktunya kita membangun ulang narasi keberhasilan yang lebih sehat. Daripada melihat kesuksesan sebagai upaya melampaui orang tua, kita bisa menganggapnya sebagai warisan perjuangan yang kita teruskan. Keberhasilan anak bukan semata-mata hasil kerja keras individu, tapi juga buah dari banyak hal yang terwariskan oleh orang tua, mulai dari nilai hidup, kerja keras, hingga pengorbanan yang tidak selalu terlihat.

Ketika seorang anak berhasil, itu bukan karena ia berlari lebih cepat dari generasi sebelumnya, tetapi karena ia disiapkan untuk berlari sejauh mungkin. Maka dari itu, keberhasilan tidak perlu menjadi ajang untuk menonjolkan jurang antara anak dan orang tua. Sebaliknya, keberhasilan justru harus menjadi ruang untuk menyatukan, menyambung, dan menguatkan ikatan lintas generasi.

Orang tua bukan bagian yang harus kita koreksi dalam cerita sukses, melainkan bagian yang harus kita muliakan. Karena sejauh apa pun anak melangkah, semuanya berawal dari langkah pertama yang dibimbing oleh cinta dan kesabaran orang tua. []

 

Exit mobile version