Mubadalah.id – Minggu pagi pekan kemarin, 11 Mei 2025, dalam udara sejuk Tadarus Subuh ke-149, kami membahas tema “Pernikahan Anak dalam Islam dan Fatwa KUPI.” Online tentu, yang sudah saya ampu sejak tahun 2020, setiap Subuh Minggu. Ceramah awal yang semula mengalir sebagaimana biasa, saat dialog dan sharing pengalaman, menjadi sangat hidup, karena banyak jama’ah yang urun pengalaman dan pengetahuan.
Tema “Perkawinan Anak” ini memang tampaknya biasa saja. Namun segera terasa betapa dalam luka yang tergali bersama dalam suasan ngaji yang spiritual dan haru. Satu per satu, berbagai pengalaman muncul mencari jawaban dan dukungan.
Pertama, tentang anak-anak desa yang terpaksa menikah karena tak bisa lanjut sekolah. Kedua, tentang remaja yang tak sanggup menanggung beban harapan hidup, lalu memilih jalan pintas menikah—bukan karena siap, tapi karena putus asa. Di banyak tempat, pernikahan bukan lagi pilihan suci yang disiapkan, untuk “menghalalkan”, melainkan pelarian karena tidak ada opsi lebih baik yang ditawarkan.
Seseorang yang berhenti sekolah, karena soal biaya itu banyak sekali, lalu bisa jadi dinikahkan diam-diam demi, dengan alasan mengurangi beban keluarga. Kasus lain: gadis belia yang tubuhnya belum siap, tetapi terpaksa hamil dan melahirkan karena dianggap “sudah halal” setelah dinikahkan.
“Daripada gak sekolah dan gak kerja, menikah itu lebih baik.” Begitu kira-kira alasan berbagai keluarga di desa. Suasana menjadi semakin sendu ketika terungkap juga: betapa para pengambil kebijakan justru sibuk studi banding dan menggelar seminar. Sementara pendidikan dan kesehatan warganya terbengkalai.
Urgensi Pendidikan Seks bagi Remaja
Di tengah percakapan yang mengaduk-aduk nurani itulah, muncul suara yang tajam dan jernih dari Ustadzah Isti’adah, seorang guru dari Malang yang sering berbagi pengalaman dan pengetahuan di Tadarus Subuh, dengan cerdas dan vokal. Pada kesempatan ini, dia berbagi mengenai kegelisahannya tentang pergaulan bebas para remaja di satu sisi, dan larangan para guru dan ulama agar mereka paham tentang seks di sisi lain.
Saya tidak bisa persis menangkap pernyataannya, tetapi kira-kira begini yang dia ungkapkan:
“Para remaja kita hari ini sudah bergulat dengan gejolak seksual yang nyata, dan mereka telah diajak sedemikian rupa oleh lingkukngan untuk mempraktikkanya. Sebagiannya, bahkan mungkin banyak, sudah melakukannya. Tetapi kita, para guru dan ulama, masih saja juga melarang pendidikan seks untuk mereka. Padahal, pendidikan seks itu mengajarkan nilai dan cara menahan diri. Bukan mengajak mereka untuk berbuat”.
“Lalu, kalau tidak ada pendidikan seks yang benar, dari mana mereka belajar? TikTok? Grup WA? Dan siapa yang bertanggung jawab atas kebingungan dan penyimpangan yang mungkin timbul?”, kira-kira begitu kegundahan sang ustadzah.
Saya ikut terhenyak saat itu. Karena pertanyaan ini bukan sekadar soal informasi dan pendidikan, tapi soal masa depan generasi. Soal keberanian kita, para pendidik dan ulama, untuk menjawab tantangan zaman. Bukan sekadar mengulang larangan lama, lalu buntu memberi jalan.
Nabi Mengajarkan Isti’faf
Dalam kerangka Mubadalah, saya mencoba ikut urun rembug pengetahuan. Bahwa tugas kita bukan hanya berkata “tidak boleh”, tetapi menghadirkan jalan alternatif yang adil, setara, dan mendidik. Seksualitas dalam Islam tidak kita ingkari.
Justru ia kita atur agar menjadi amanah dan ibadah. Ia hanya sah dalam bingkai pernikahan yang matang dan bertanggung jawab. Bukan sekadar pemuasan nafsu, tapi relasi mu‘āsyarah bil ma‘rūf—yang terbangun atas dasar cinta, dialog, kesalingan, dan tanggung jawab sosial.
Dan nilai-nilai inilah yang perlu kita kenalkan sejak dini, agar tahu diri, matang, dan mampu mengendalikan relasi secara dewasa, sehat, dan bertanggung-jawab. Maka, kepada remaja yang belum mampu membangun relasi sematang itu, Islam tidak menekan, tetapi membimbing.
Nabi mengajarkan isti‘fāf—menahan diri bukan sebagai bentuk represi, tapi sebagai ekspresi kemuliaan diri. Islam juga menekankan ghadd al-bashar—menundukkan pandangan untuk menjaga hati dan akal tetap bersih. Semua ini adalah bentuk spiritualisasi dari hasrat, bukan penyangkalannya.
Dan di sinilah letak pentingnya pendidikan seks yang berperspektif nilai. Remaja perlu kita beri ruang aman untuk belajar tentang tubuhnya, akalnya, relasinya. Mereka perlu tahu tentang dan mengenali perkembangan tubuh dan emosinya. Mereka perlu mengenal bahwa energi seksual bukan untuk dihabiskan lewat coba-coba, apalagi dalam relasi yang tidak adil, tidak setara, dan tidak bertanggung jawab.
Apalagi perempuan, “eksperimen” seksual bisa berakhir sebagai bencana biologis dan sosial. Dari kehamilan yang tidak diinginkan, putus sekolah, stigma sosial, hingga luka psikis yang dalam. Sementara bagi laki-laki, efek sosial mungkin lebih ringan, tetapi dampak moral dan spiritualnya tetap besar. Tetapi jika benar laki-laki itu pencinta dan penyayang, tidak seharusnya dia mencoba-coba sesuatu yang justru menjerumuskan para perempuan.
Pendidikan Seks Remaja dalam Perspektif Mubadalah
Di sinilah Mubadalah berbicara: bahwa seseorang harus melatih dirinya, untuk memiliki cara pandang relasi yang bermartabat, adil dan maslahat. Maka sejak awal, pendidikan tentang seksualitas harus menanamkan kesadaran akan tubuh, tanggung jawab relasi, dan perlindungan martabat. Bukan sekadar anatomi tok atau larangan-larangan yang tak jelas juntrungannya.
Jika kita tidak mendidik anak-anak kita, maka TikTok, algoritma YouTube, dan dunia maya yang brutal akan melakukannya—dengan ajaran dan dampak yang bisa sangat destruktif, dan pasti bertolak belakang dengan Islam. Dan jika itu terjadi, bukan mereka yang semata salah. Kitalah yang absen dalam kehidupan mereka.
Sekali lagi, mungkin kita perlu menyadari bahwa pendidikan seks, sesungguhnya, bukanlah dosa. Ini adalah kebutuhan para remaja, menghadapi tantangan zaman, setidaknya untuk mengelola informasi medsos yang terus berdatangan tanpa diundang.
Yang perlu kita ubah adalah kerangkan pendidikan seks tersebut. Tentu saja, ia bukan sekadar tentang organ tubuh, tapi tentang nilai yang baik, relasi yang sehat, dan tanggung jawab yang bermartabat.
Anak-anak kita harus tahu bahwa energi seksual adalah energi yang sangat kuat—dan karenanya, harus terkelola dan kita arahkan. Bukan untuk coba-coba yang merusak secara biologis dan sosial, apalagi bagi remaja perempuan, yang sering menanggung konsekuensi fisik, sosial, dan kultural yang jauh lebih berat daripada laki-laki.
Dalam perspektif Mubadalah, melalui pendidikan seks, yang harus ditekankan adalah tentang relasi menghargai diri dan orang lain, tubuh dirinya dan tubuh orang lain, mengenali energi diri dan orang lain. Lalu saling menghormati, memahami batas, menjaga tubuh dan jiwa masing-masing, dan bersama-sama menumbuhkan tanggung jawab dalam setiap perjumpaan, untuk kebaikan diri, keluarga, dan masyarakat.
Begitulah salah satu suasana sharing pengalaman dan pengetahuan dalam Tadarus Subuh yang ke-149 dan akan dilanjutkan pada Tadarus berikutnya yang ke-150 pada 18 Mei 2025. Seperti biasa, pada jam 05.30 WIB, mari berjumpa lagi, saling belajar dan saling menguatkan. []