Mubadalah.id – Heran ya, ketika zaman sekarang berbagai literatur sudah bisa diakses dengan mudah tetapi masih ada saja kelompok yang mengkerdilkan suatu wacana tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Ruang baca, literasi di media masa, dan kajian feminis bertebaran, bahkan kita akan dengan mudah menemukan acara-acara bertema feminisme dan kesetaraan gender.
Contohnya adalah mereka, gerakan yang menolak feminisme dengan gagasan yang gamblang ataupun dalam bentuk gerakan di bawah payung dakwah. Apapun itu pada intinya sama, memahami feminisme secara kerdil dengan antitesa patriarki. Michael Kimmel mendefinisikan anti feminisme sebagai “golongan oposisi terhadap kesetaraan perempuan”. Golongan anti feminis berisikan laki-laki dan perempuan yang merespon tuntutan kesetaraan hak oleh perempuan.
Kemungkinan mereka hanya melihat feminisme sebatas wacana di media yang sedang populer. Bukan melihat Feminisme dalam lensa pengetahuan. Keawaman ini lantas menimbulkan kesalahpahaman dan reaksi yang tidak relevan.
Mengenal Feminisme
Padahal, untuk mengenal apa itu Feminisme, perlu mempelajarinya terlebih dahulu. Seperti Imam al-Ghazali yang dikabarkan menolak Filsafat. Bukannya antipati terhadap ilmu tersebut namun beliau mempelajarinya terlebih dahulu. Jadilah beliau hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat secara keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih tetap menggunakan logika Aristoteles. Itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan.
Di zaman sekarang, seringkali artikel media populer memang lebih mengemas propaganda daripada analisisnya, orang-orang yang antipati terlebih dahulu tanpa mencaritahu.
Feminisme bertentangan dengan Syariat Islam
Banyak dari masyarakat Indoenesia, terutama perempuan muslimah yang mengganggap bahwa Feminisme itu menentang ajaran Islam. Hal itu dikarenakan menurut ajaran mereka bahwa perempuan itu sudah dimuliakan sebelum adanya paham feminism.
Iya, sayapun setuju. Namun masalahnya terletak pada interpretasi (penafsiran) patriarkal terhadap teks-teks keagamaan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Profesor Musdah Mulia, beliau mengatakan bahwa feminisme memiliki stigma negatif di kalangan Muslim sehingga muncul kesalahpahaman mengenai konsep tersebut. Feminisme dianggap menyalahi kodrat perempuan, dinilai sebagai suatu paham yang menolak hukum syari’at.
Sedangkan orang berpikiran moderat dan progresif setuju bahwa tidak ada patut dipersoalkan dengan Islam dan feminisme (karena keduanya harmonis). Feminisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena memiliki tujuan mempromosikan semangat untuk mewujudkan kembali nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang sudah diupayakan oleh Rasulullah dan diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an. Feminis Muslim berkeyakinan bahwa Islam dan feminisme dapat berjalan bersama.
Feminis muslim percaya bahwa ayat-ayat dan ajaran Islam sangat menghormati laki-laki maupun perempuan dan dari sanalah sumber rujukan mereka membicarakan kesetaraan gender. Mereka menganggap adanya kesalahan memahami kesetaraan gender di antara umat muslim disebabkan karena sebelumnya selama berabad-abad ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara eksklusif dan sangat berperspektif laki-laki. Mereka menekankan bahwa kesetaran dan keadilan gender itu setara dan saling melengkapi.
Menjadi religius (sholeh-sholehah) sekaligus menjadi feminis dalam waktu yang bersamaan adalah hal yang bisa dilakukan asalkan dapat menemukan persamaan substantif dari keduanya. Serta dilakukan dengan pemilihan kata yang menyejukan (hikmah) serta beradu argumen dengan cara yang baik, tanpa merendahkan dan menyerang pihak yang berbeda.
Feminisme ingin Mengungguli Laki-laki dan Benci Pada Laki-laki
Ketika aktivis feminis mengeluhkan ketertindasan perempuan dalam struktur budaya patriarki, banyak yang menyalahartikan bahwa perempuan ingin balik menjadi pihak superior. Narasi yang beredar seolah-olah perempuan ingin membalaskan dendamnya dan membalikkan nasib kaum laki-laki yang berkuasa.
Anggapan seperti ini sangatlah dangkal. Feminisme tidak pernah meminta perempuan untuk bebas dalam arti mendominasi siapapun. Sebaliknya, pemikiran ini mendukung kesejahteraan yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Oleh karenanya, feminisme berjuang mendapat hak bagi perempuan sekaligus memperbaiki relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Jadi, feminis tidak memusuhi laki-laki, musuh feminis adalah patriarki
Jika anda adalah orang yang baru mencari tahu tentang feminisme, perlu anda catat baik-baik dalam benak anda, bahwa gerakan feminis tidak lahir dari kebencian perempuan terhadap laki-laki. Tidak. Sistem patriarki memang mereka ciptakan dengan menguntungkan pihak laki-laki, namun bukan berarti ingin balas dendam.
Feminis Menentang Pekerjaan Domestik, Bilang Aja Malas dan Gak Bisa Masak!
Banyak tokoh feminis yang sangat getol mendiskusikan aktivitas domestik. Salah satunya adalah Syaldi Sahude dalam penyampaiannya di kajian feminisme dan filsafat, namun tidak ada satupun dari tokoh tersebut yang bermaksud melarang keinginan para perempuan untuk berurusan dengan urusan rumah tangga, ya. Pada dasarnya, semua feminisme mendesak masyarakat untuk membebaskan perempuan dengan pilihannya. Mereka beranggapan bahwa perempuan feminis itu terlalu dekat dengan kebebasan sehinnga kebablasan.
Bahkan yang lebih parah, saya sering mendengar ungkapan “Jangan nikah sama feminis, ribet. Dikit-dikit dianggap patriarki” Padahal jika mau belajar lebih, patriarki tidak hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki. Konsep kesetaraan yang selama ini feminis suarakn justru memberikan ruang untuk pasangan saling bekerja sama dan berbagi beban. Keduanya bersepakat untuk berbagi peran, baik untuk pekerjaan domestik maupun dalam permasalahan ekonomi,
Feminisme adalah Produk Barat
Pergerakan besar dari feminisme memang berasal dari Eropa dan Amerika Serikat. Maka benar jika kita sebut produk Barat, memangnya kenapa? Namun perlu kita ketahui, bukan berarti isu kesetaraan gender hanya menjadi masalah di belahan bumi barat saja. RA Kartini, sudah membuktikan kepada kita bahwa keinginan perempuan untuk mendapatkan keadilan sudah ada sejak lama.
Patriarki seperti ketimpangan gender adalah masalah internasional. Dari sistem patriarki tersebut lambat laun menjadikan permasalahan yang kompleks dan beragam. Hal itu menunjukkan bahwa patriarki adalah akar dari masalah-masalah perempuan di seluruh dunia. Feminis lahir untuk merespon hal itu dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah dirampas sistem patriarki.
Apakah feminisme tidak boleh kita kritik? Tentu saja boleh. Kritik dalam feminisme baik secara gerakan maupun teori itu adalah sesuatu yang biasa dan wajar. Kritik dalam teori, misalnya, menghasilkan cabang dua teori feminisme. Yaitu Feminis liberal (Barat) dan Feminis Muslim (Timur)
Namun, adanya Feminis Barat dan Muslim bukan berarti berlawanan, seperti yang Caroline Ramazanoglu tulis dalam bukunya Feminism and The Contradictions of Oppression.” Dan jika para pembaca memiliki waktu unttuk membacanya maka terlihat jelas bahwa gerakan feminisme Barat cenderung mengkedepankan mengenai ‘liberalisme’ atau kebebasan dari perempuan dalam memilih jalan kehidupan mereka sendiri. Tanpa terkekang dalam batasan-batasan yang masyarakat, perusahan ataupun pemerintah berikan bagi mereka.
Sedangkan Feminisme Timur, atau yang bisa termasuk dalam kategori post-kolonialisme yaitu gerakan feminisme yang berfokus kepada kesetaraan. Di mana ia dapat kita berikan kepada kaum perempuan tetapi lebih melihat secara dalam mengenai perbedaan yang ada dalam budaya atau tempat di mana wanita/gerakan feminisme itu tinggal/berada. Dengan kata lain, feninisme ini lebih berpegang terhadap sistem di lingkungannya. Bebas namun tetap memiliki pegangan
Apapun perjuangan hak perempuan yang kita ikuti, Jika kita mengikuti jenis feminisme tertentu, mungkin kita akan menemui jalan tengah yang sama yaitu memperjuangkan hak manusia, terutama perempuan karena hak perempuan harus mendapatkan hak kemanusiaan sebagaimana laki-laki, yaitu sebagai manusia seutuhnya. Perlu saya garisbawahi, bahwa Feminisme perlu kita lihat secara keseluruhan, barulah akan dapat menemukan keselarasan. []