Mubadalah. Id – Kadang saya bertanya dimanakah keadilan hakiki untuk rakyat Palestina, yang hak untuk berkabung dan berbelasungkawa pun hilang. Bagaimana tidak, tiap hari mereka kehilangan, bahkan hitungan detik.
Vidio tersebar menampilkan seorang anak 13 tahun tergeletak tak berdaya. Luka menahannya dari tanah yang masih menyembulkan asap api lantaran ledakan bom. Dengan nafas tersengal, ia berusaha menadahkan tangan memohon pertolongan. Di tepi, orang-orang lari berbondong-bondong guna membantu, namun tiba-tiba, dum.. – bom Israel kembali meletus menggelegar. Dalam sekejap mata, bumi menghamburkan tubuh manusia.
Inilah kenyataan yang menghadapi orang-orang Palestina: Gaza utara. Kepedihan bukan lagi perasaan; tapi kenyataan yang berulang dan berlanjut, sebuah siklus yang hadir setiap sudut hidup. Sepersekian detik, kematian menantinya.
Di tanah ini, tak ada ritual duka dan belasungkawa. Dalam hiruk-pikuk penjajahan dan penderitaan, kesedihan tak sempat terselenggara secara khidmat. Wael Al-Dahdouh, kepala biro Al Jazeera di Gaza, adalah bukti hidup dari kehilangan dan ketidakmampuan untuk memulai proses berkabung.
Di tengah tragedi pribadi yang berat—kehilangan istri, putranya Mahmoud, putrinya Sham, cucunya Adam, dan anggota keluarga lainnya sekitar 20 orang — Al-Dahdouh tetap melanjutkan tugas jurnalistiknya, dengan teguh hadir menyuarakan penderitaan Gaza.
Bukan mereka tidak sedih kehilangan keluarga dan kerabat. Tapi kehilangan yang terus-menerus ini mengoyak waktu untuk berkabung. Menjadi sesuatu yang mustahil tercapai di tengah duka yang bertubi-tubi. Dan lagi, berduka dan berbelasungkawa mengisyaratkan kehinaan di tengah koloni-penjajah Israel.
Oleh karenanya, mereka hanya menangis tanpa suara depan mendiang dan berteriak lantang depan penjajah sebagai perlawanan. Sebagaimana ilustrasi ibu di Palestina dalam Novel “Gaza Weddings” karya Nasrallah yang Abdal Jawad Omar kutip dalam artikel panjang “Bisakah Palestina Berkabung”.
Imam Syafi’i: Berbelasungkawa Sebagai Simbol Pencarian Keadialan Hakiki
Muhammad bin Idris, yang kita kenal Imam Al-Syafi’i seakan membaca situasi mengerikan hari ini di tanah kelahirannya, Gaza. Di mana tangisan dan belasungkawa kolektif adalah simbol kekalahan warga Gaza dari penjahat Israel yang menyangkal identitas-eksistensial mereka.
Ulama kelahiran Gaza tahun 150 H memberi nama karya dalam bidang hukum Islam: “Al-Um”, yang boleh jadi merujuk pada ibu kandung yang melahirkan di Gaza, sekaligus tanah Gaza itu sendiri sebagai tempat kelahirannya.
Dalam kitabnya, Muhammad bin Idris menguraikan bahwa kehilangan adalah keniscayaan yang membawa situasi berduka. Sehingga, belasungkawa atau takziah menjadi penyangga agar manusia mengembalikannya pada Sang Pencipta.
لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ الصَّبْرِ، وَالِاسْتِرْجَاعِ،
“Namun, mereka seharusnya diberi hak berbelasungkawa dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah, yaitu kesabaran dan mengucapkan ‘Inna Lillahi wa Inna Ilayhi Raji’un’ (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami kembali).”
Artinya, berbelasungkawa bukan saja mengumbar kesedihan tetapi proses pencarian dan penguluran keadilan hakiki si korban melalui tangan-tangan yang diberi amanat Tuhan. Tentu pemegang kunci keadilan hakiki yang sejati adalah Tuhan. Tetapi, Israel rupanya menyangkal pula hak rakyat Palestina mencari keadilan hakiki, bahkan memaksa rakyat Palestina “mengkhianati” kesedihannya menjadi “sukacita” dengan kematian.
“Jika kami hidup hingga melihat kebebasan, akan kuingat kamu bahwa kami akan menangis jauh setelah pembebasan tiba! Kami akan berduka untuk mereka yang di pemakamannya kami terpaksa bersuka cita.”
Seolah menyadari situasi ini Imam Syafi’i tampak memberikan arahan kepada masyarakatnya di Gaza sejak masa lampau. Bahwa upacara “berkabung atau berduka” di muka publik memiliki konsekuensi negatif — dalam situasi sekarang yang mana Gaza dalam cengkeraman penjajah Israel. Kehilangan tanpa henti, menambah beban subjektivitas melankolis yang menghambat perjuangan. Beliau berpesan.
“Saya juga tidak suka pertemuan berkabung, karena itu adalah acara yang bersifat kolektif. Meskipun mereka tidak menangis. Karena pertemuan tersebut akan memperbaharui kesedihan dan menambah beban bersama dengan kesedihan yang sudah ada.” Tegas Imam Syafi’i.
Keadilan Hakiki untuk Rakyat Palestina
Tapi Imam Syafi’i sadar, siapa yang tak sedih kehilangan? Linangan air mata Nabi Muhammad tak mampu terbendung ketika kehilangan anaknya, Ibrahim. Sebelumnya, tahun menjadi pertanda kemurungan setelah paman Abu Thalib meninggalkannya.
Di tahun yang sama, Khadijah, istri terkasihnya, turut meninggalkan. Pun sahabat Abu Bakar dan Umar tersedu-sedu, ketika menyaksikan sahabatnya Sa’d bin Mu’ad, meninggal dunia (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 3/488).
Bersedih dan melakukan ritual belasungkawa adalah tabiat manusia guna mencari keadilan hakiki. Ibu Nur Rofi’ah, merumuskan konsep keadilan hakiki dalam rumah tangga; relasi antar lelaki dan perempuan. Namun bisakah konsep itu membaca nasib rakyat Palestina yang sekarang semakin jarang orang memperhatikannya?
Menurut Ibu Nur Rofi’ah, dalam pendekatan keadilan hakiki, kebaikan yang harus diterima perempuan adalah yang berangkat dari pengalamannya yang khas dan bisa berbeda dari pengalaman laki-laki. Sebagai subyek yang setara dan manusia utuh, laki-laki dan perempuan berhak atas segala kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan.
Dalam konteks rakyat Palestina, keadilan hakiki versi Ibu Nur Rofi’ah hendak mengatakan bahwa rakyat Palestina harusnya mendapat kebaikan berangkat dari pengalaman Palestina yang terjajah. Situasi lingkungan yang tak karuan lantaran ledakan mortir Israel, kelaparan dan ketakutan setiap saat menjadi pengalaman pembeda untuk mendapat keadilan hakiki.
Rakyat Palestina sebagai entitas manusia yang utuh, sebagai subyek yang setara untuk mendapatkan kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan. Tapi sayang, keadilan hakiki yang mestinya rakyat Palestina rasakan, masih dalam genggaman Tuhan. Bahkan, hak berkabung dan belasungkawa belum kunjung mereka rasakan.
Menangislah Tapi Jangan Meratapi
Tak pelak kondisi demikian membawa kesedihan mendalam bahkan dalam titik “melankolis” yang harusnya kita maklumi karena mereka hendak menyuarakan keadilan hakikinya, bukan semata-mata meratapi kematian yang merupakan keniscayaan manusia.
Imam Syafi’i menegaskan bahwa dirinya memaklumi bilamana tangisan ikut menyertai kematian sanak-saudara, apa lagi kematiannya tak manusiawi dalam ledakan bom dan kobaran api yang Israel luncurkan.
وَأُرَخِّصُ فِي الْبُكَاءِ بِلَا أَنْ يَتَأَثَّرَ، وَلَا أَنْ يَعُلْنَ إلَّا خَبَرًا
“Saya memaklumi menangis, tetapi jangan berlebihan atau mempengaruhi emosional, dan tidak berteriak kecuali untuk menyampaikan berita.”
Dalam kesedihan secara kolektif seperti di Gaza sangatlah penting adanya belasungkawa, takziah. Guna mengembalikan “mental melankolis” pada situasi yang normal. Tapi hari ini Israel merampasnya, Entah sampai kapan.
Maka pilihannya, orang-orang Gaza menunda penyelenggaraan “duka dan belasungkawa” sampai semuanya memungkinkan sebagaimana kutipan ibu dalam novel, Gaza Wedding. Tanpa kebetulan, Muhammad Idris menetapkan tanpa batas waktu berbelasungkawa. Baginya, bila rakyat Gaza tak bisa berduka dan belasungkawa sekarang, maka kapanpun ia bisa lakukan.
Imam Syafi’i mengatakan, “Dan belasungkawa dimulai sejak saat kematian, baik di rumah, masjid, dan jalan menuju kuburan, serta setelah penguburan. Dan kapan pun seseorang melakukan takziah, itu adalah hal yang baik.”
Hari ini, Palestina tak bisa berduka dan belasungkawa. Karena Israel merampas waktunya. Ditambah kehilangan yang bertubi-tubi menyeret mereka dalam situasi melankolis, tapi bila sudah sampai waktunya, mereka akan menunaikan “duka dan belasungkawa” yang boleh jadi akan menggemparkan dunia untuk mendapatkan keadilan hakikinya. []