Mubadalah.id – Dalam berbagai kesempatan, sering diajukan pertanyaan-pertanyaan seputar asal muasal kata dan istilah mubadalah. Kata “mubadalah” sebagai sebuah terminologi untuk makna tertentu adalah baru, dan aku yang mengenalkan. Yaitu makna tentang relasi antara dua pihak berbasis kesetaraan, kesalingan dan kerjasama. Baik dalam relasi pertemanan, familial, sosial, atau relasi kerja antara buruh-majikan, atau politik antara rakyat dan negara. Baik relasi berbasis jenis kelamin, yaitu gender, atau kelas, atau yang lain. Kata kunci dalam terminologi relasi mubadalah ada tiga; kesetaraan, kesalingan, dan kerjasama.
Sejauh ini, belum aku temukan ada orang lain menggunakan istilah mubadalah dengan makna demikian. Arab maupun non-Arab. Kamus-kamus Arab sendiri, misalnya Lisan al-‘Arab Ibn Manzhur (w. 711 H/1311 M), memaknai kata mubadalah untuk pertukaran antara dua pihak, atau exchange dalam Bahasa Inggris. Jual beli dan tukar menukar itu mubadalah. Baik barang dengan uang, atau barter barang dengan barang. Tidak pernah mendengar ada yang menggunakan dalam relasi seperti yang aku maksud. Siapapun bisa ikut mengecek dan memastikan hal ini. Terimakasih bagi yang bersedia dan lalu memberi kabar kepadaku.
Reciprocity
Namun, kamus Arab-Inggirs al-Mawrid Baalbaki sedikit sudah membuka jalan. Ketika mendraft buku Qira’ah Mubadalah mulai awal 2018, aku temukan makna mubadalah sebagai reciprocity dari kamus ini. Mungkin di kamus lain juga demikian. Tetapi aku baru berkesempatan membuka Kamus Baalbaki ini dan Kamus lain karangan Hans Wehr. Kamus yang kedua hanya mengartikan mubadalah sebagai exchange tanpa mengarah pada reciprocity. Tentu saja reciprocity dan exchange serupa, yaitu pertukaran. Tetapi, Kamus Inggris-Indonesia John Echols dan Hassan Shadily mengartikan exchange hanya seputar pertukaran, sementara reciprocity tentang hal yang bersifat timbal-balik, pembalasan, dan pertukaran.
Kata reciprocity pernah aku temukan beriringan dengan kata equality sebagai prinsip relasi antar manusia, turunan dari paradigma tauhid Ibu Amina Wadud. Paradigma tauhid, menurutnya, meniscayakan kesetaraan relasi antara manusia sebagai sesama hamba Allah Swt. Prinsip relasi ini, lalu, adalah kesalingan (reciprocity) dan kerjasama (partnership) hamba-Nya.
Paradigma Tauhid
Dengan paradigma tauhid ini, kemudian, Ibu Amina menggunakan kata reciprocity sebagai alternatif dari hegemoni, dominasi, bahkan sistem patriarkhi. Agenda feminisme, karena itu, katanya, bukan mengubah dari patriarkhi lalu mengarah pada matriarkhi, melainkan pada reciprocity. Yaitu relasi antar individu yang bersifat resiprokal, timbal-balik, atau kesalingan. Relasi resiprokal ini bertumpu pada dua hal: saling mengenal (ta’aruf, QS. Al-Hujurat, 49: 13) dan saling mendukung (ta’awun, QS. Al-Maidah, 5: 2).
Kembali kepada kata reciprocity yang dikenalkan Ibu Amina Wadud sebagai relasi kesalingan dan kerjasama. Dia mengusulkan istilah mu’awadlah (معاوضة) dalam Bahasa Arab, yang secara leksikal juga berarti pertukaran dan jual beli. Aku setuju dan menggunakan kata dan makna reciprocity yang diusulkannya, tetapi tidak mau menggunakan padanan kata Arab mu’awadlah. Karena kata ini, bagi non-Arab, terutama orang Indonesia sulit untuk diucapkan. Huruf ‘ain (ع) dan dlad (ض) adalah dua huruf yang cukup sulit diucapkan lidah Indonesia.
Dibanding kata mu’awadlah, aku lebih memilih kata mubadalah sebagai padanan dari reciprocity, dan aku mengartikannya menjadi kesalingan. Sebagai terminologi, mubadalah senafas dengan gagasan reciprocity Ibu Amina, tentang relasi antar individu yang berbasis pada prinsip-prinsip kesetaraan (equality), kesalingan (reciprocity), dan kerjasama (partnership). Prinsip-prinsip ini, karena juga basisnya pada paradigma tauhid, pada giliranya juga mengarah pada keadilan dan kemaslahatan.
Tauhid sebagai pondasi Mubadalah
Makna dari tauhid adalah meng-esa-kan Allah Swt. Kalimat “lā ilāha illallāh” adalah proklamasi tentang keesaan Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak. Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal. Pertama pengakuan akan keesaan Allah Swt sebagai Tuhan dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tiada tuhan selain Allah Swt, berarti sesama manusia tidak boleh ada yang menjadi tuhan terhadap yang lain.
Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, tauhid meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya. Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal dimana keduanya adalah setara, sesama hamba-Nya dan sama-sama sebagai manusia bermartabat. Yang harus dibangun di antara mereka, kemudian, adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerjasama dan kesalingan. Karena keduanya adalah hamba-hamba Allah Swt, dimana yang satu bukan tuhan atas yang lain. Jadi, ketauhidan dalam Islam menolak sistim sosial yang dominatif dan hegemonik, dari laki-laki kepada perempuan, atau sebaliknya.
Sistem Sosial yang Resiprokal
Sebaliknya, tauhid menuntut adanya sistem sosial yang resiprokal, kesederajatan, saling tolong menolong, dan kerjasama. Makna sosial dari tauhid ini menjadi sumber inspirasi bagi perspektif mubadalah, atau perspektif kesalingan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Satu sama lain diharuskan untuk bersikap ramah dan memanusiakan, tidak mendiskreditkan, tidak menganggap rendah, tidak menghegemoni, dan tidak melakukan kekerasan.
Tauhid meniscayakan kesetaraan dan keadilan dalam berelasi dan mendorong hadirnya kerjasama yang partisipatif antara para pihak. Ruang publik tidak seharusnya hanya dibangun oleh dan hanya nyaman untuk laki-laki. Ruang domestikpun tidak hanya dibebankan kepada perempuan. Partisipasi di publik dan domestik harus dibuka secara luas kepada laki-laki dan perempuan secara adil, sekalipun bisa jadi dengan cara, model dan pilihan yang berbeda-beda. Ini juga sekaligus untuk memastikan hadirnya prinsip-prinsip ta’ ‘āwun, tahābub, tasyāwur, tarādhin, dan ta’āshur bil ma’rūf dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.
Meng-esa-kan Allah Swt adalah tauhid dan men-dua-kan-Nya adalah syirik. Jika tauhid sosial adalah perilaku hormat atas kemanusiaan, kemitraan, kerjasama, dan saling tolong menolong, maka perilaku sombong dan merendahkan orang lain, angkuh, otoriter dan zalim bisa dikategorikan sebagai syirik sosial. Tauhid dan syirik sosial ini bisa berlaku dalam relasi laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun domestik.
Sumber al-Qur’an dan Hadits
Dalam kosmologi al-Qur’an, manusia adalah khalifah Allah Swt di muka bumi ini untuk menjaga, merawat, dan melestarikan segala isinya. Amanah kekhalifahan ini ada di pundak manusia. Laki-laki dan perempuan. Bukan salah satunya. Sehingga keduanya harus bekerjasama, saling menopang, dan saling tolong menolong untuk melakukan dan menghadirkan segala kebaikan. Demi kemakmuran bumi dan seisinya.
Kesalingan ini menegaskan bahwa salah satu jenis kelamin tidak diperkenankan melakukan kezaliman dengan mendominasi dan menghegemoni yang lain. Atau salah satu hanya melayani dan mengabdi yang lain. Hal ini bertentangan dengan amanah kekhalifahan yang kita emban bersama, dan akan menyulitkan tugas memakmurkan bumi jika tanpa kerjasama dan tolong-menolong.
Relasi sosial yang ingin al-Qur’an bangun, termasuk antara laki-laki dan perempuan, adalah relasi yang saling mengenal (QS. Al-Hujuran, 49: 13), saling menolong (QS. Al-Maidah, 5: 2), saling bergantung (QS. An-Nisa, 4: 1), dan saling menopang (QS. Al-Anfal, 8: 72). Relasi kesalingan ini lebih tegas lagi al-Qur’an nyatakan antara laki-laki dan perempuan dalam ayat berikut ini:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah, 9: 71).
Kesalingan
Ayat ini mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Di mana yang satu adalah penolong, penopang, penyayang, dan pendukung yang lain. Berbagai kitab tafsir klasik rujukan, baik dari mazhab tekstual (bi al-ma’tsūr) maupun rasional (bi ar-ra’yi) mengartikan frasa ba’dhuhum awliyā’ ba’dhin dengan saling tolong menolong (tanāshur), saling menyayangi (tarāhum), saling mencintai (tahābub) dan saling menopang (taʻādhud). Yang satu adalah wali bagi yang lain. Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu, dan penguasa. Dengan makna kesalingan dalam frassa ba’dhuhum awliyā’ ba’dhin, ini menunjukkan adanya kesejajaran dan kesederajatan antara satu dengan yang lain.
Perilaku mubadalah, resiprositi, atau kesalingan yang demikian ini adalah yang terkandung di dalam sebuah teks hadits berikut ini, yang menjadi ajaran dasar Nabi Muhammad Saw.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وفي رواية أحمد: لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
Artinya: Dari Anas ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya”. Dalam riwayat Imam Ahmad: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu kecuali mencintai untuk orang lain apa yang dicintai untuk dirinya”. (Sahih Bukhari no. 13; dan Musnad Ahmad no. 14083).
Hadits Nabi Saw
عَنْ مُعَاذٍ بن جبل أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَفْضَلِ الإِيمَانِ قَالَ أَفْضَلُ الإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ لِلَّهِ وَتُبْغِضَ فِى اللَّهِ وَتُعْمِلَ لِسَانَكَ فِى ذِكْرِ اللَّهِ قَالَ وَمَاذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ وَأَنْ تَقُولَ خَيْرًا أَوْ تَصْمُتَ.
Artinya: Dari Mu’adz bin Jabal ra, ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang keimanan yang sempurna. Rasulullah Saw menjawab: “Keimanan akan sempurna jika kamu mencintai karena Allah dan membenci juga karena Allah, serta menggunakan lidah kamu untuk mengingat Allah”. Mu’adz bertanya: “Ada lagi wahai Rasul?”. Nabi menjawab: “Ketika kamu mencintai untuk manusia apa yang kamu cintai untuk dirimu dan menghindarkan mereka dari sesuatu yang kamu sendiri tidak suka pada dirimu, menyatakan kebaikan atau diam”. (Musnad Ahmad, no. Hadits: 22558).
Bagian Keimanan
Dua teks hadits di atas menegaskan relasi antara dua individu sebagai bagian dari keimanan dalam Islam. Yaitu, bahwa dalam relasi seseorang dengan yang lain, keduanya adalah sama-sama penting; apa yang dicintai keduanya harus dihadirkan bersama, satu kepada yang lain. Begitupun, apa yang tidak disukai harus dijauhkan dari keduanya, dan tidak dilakukan oleh keduanya. Demikianlah makna substantif dari mubadalah, yaitu soal relasi kesalingan antara dua pihak. Dan ini, kata Nabi Muhammad Saw, adalah bagian dari keimanan.
Dalam pernyataan lain, merujuk pada dua teks hadits di atas, mubadalah bisa kita ungkapkan dalam kalimat: “Perlakukanlah orang lain dengan baik, sebagaimana kamu ingin mereka memperlakukan kamu dengan baik”. Atau dalam ungkapan negatif: “Jangalah perlakukan orang lain hal-hal yang Anda juga tidak ingin orang lain memperlakukanya pada diri Anda”.
Dus, mubadalah soal relasi antara dua pihak, dimana keduanya bergerak bersama dan bekerjasama untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan yang diharapkan, di satu sisi, dan menghindari keburukan-keburukan yang tidak diinginkan. Keduanya, oleh masing-masing, dipandang sebagai hamba Allah Swt, manusia bermartabat dan mulia, lalu bekerjasama untuk kebaikan-kebaikan hidup di muka bumi ini, untuk diri, keluarga, masyarakat, dunia, alam, dan semesta. []