• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Korban KS Difabel dan Hak Akses Kesehatan: Perspektif KUPI

Kita mesti sadar bahwa siapapun dapat menjadi korban KS. Karenanya, penting untuk saling memproteksi dan menguatkan satu sama lain.

M. Khoirul Imamil M M. Khoirul Imamil M
14/04/2025
in Publik
0
Korban KS

Korban KS

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selepas tiga hari terakhir ini berkegiatan dalam sebuah temu keberagaman, saya berhasrat untuk mengangkat tema tulisan tentang hak kesehatan bagi difabel korban kekerasan seksual (KS).

Saya memang terlambat membaca berita sekaligus menyadari tentang kemendesakan (urgency) topik ini. Mungkin lantaran terlalu banyak mengkonsumsi berita politik yang ramai dalam dewasa terakhir.

Sebagai awalan, kita bisa membaca kisah Ibu Martha Hebi di laman Konde.co. Beliau membagikan pengalaman rekan sesama pendamping perempuan dan anak di wilayah Indonesia timur.

Menurut tuturan beliau, nasib para pendamping korban kekerasan seksual (KS) tidak kalah menyedihkan dari korban sendiri. Mereka menerima perundungan, resistensi, bahkan ancaman pembunuhan. Itu semua belum termasuk beban batin yang mendera saat terjun ke lapangan.

“Dia tak tahan melihat korban yang tidak mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya, sehingga alat reproduksi cedera berat karena diperkosa oleh 10 orang,” terang Hebi. (Konde.co, 2021)

Baca Juga:

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Gelar Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Seruan Bangkit dari Krisis Kemanusiaan

Tuturan Hebi juga menunjukkan besarnya hambatan bagi keterpenuhan akses kesehatan komprehensif untuk korban KS. Resistensi budaya, keterbatasan sumber daya, tantangan finansial, ekosistem patriarkis, dominasi dan monopoli kuasa tampil sebagai resistensi utama.

Tak ketinggalan, interpretasi keagamaan yang tidak berpihak kepada korban merupakan beberapa penghambat lain yang lazim muncul ke permukaan.

Selain membuat beban para pendamping bertambah (double burden), realita tersebut sekaligus menegaskan betapa terabaikannya kebutuhan atas akses kesehatan bagi penyintas atau korban KS, terutama sekali bagi kalangan penyandang difabilitas.

Perspektif KUPI dan keberpihakan

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir menawarkan perspektif segar. Lahir sebagai respon atas masalah timpangnya relasi sosial, KUPI mencoba mewujudkan keberpihakan. KUPI berangkat dari basis kritik terhadap interpretasi keagamaan arus utama (mainstream) yang subordinatif. Subordinasi menyebabkan kebutuhan salah satu pihak—dalam hal ini korban—terabaikan.

Alih-alih memecahkan masalah, interpretasi subordinatif justru memperkuat hegemoni kuasa ‘yang subjek’ atas ‘yang objek’; ‘pelaku’ atas ‘korban’.

Model interpretasi tersebut bertentangan dengan prinsip tauhid (monoteism). Tauhid dalam perspektif KUPI mengandung konsekuensi agar relasi antar-sesama berlangsung dengan prinsip kesalingan (mubadalah), kebaikan bersama (ma’ruf), serta keadilan hakiki.

Manifestasi Mubadalah, Ma’ruf, serta Keadilan Hakiki

Prinsip mubadalah berakar dari kesadaran akan posisi setiap pihak sebagai subjek penuh dalam tataran yang setara. Sementara, prinsip ma’ruf menuntun pada terwujudnya produk solusi yang akomodatif bagi setiap pihak.

Sebagai hilir, pelaksanaan prinsip mubadalah dan ma’ruf harus memperhatikan keadilan akan diversitas kemampuan (fariq al ahliyah) maupun kendala (fariq al ‘awaridh).

Dalam masalah keterpenuhan hak kesehatan bagi korban KS, prinsip mubadalah mengajak korban untuk berani menuntut haknya. Proses ini memang tidak akan berlangsung mudah. Terlebih, tidak semua penyintas memiliki keberanian untuk bersuara atau melapor.

Catatan Permata Adinda (2021) pada saluran Asumsi.co menunjukkan bahwa hanya 20% korban KS yang berani terbuka. Padahal, hak atas akses kesehatan merupakan bagian dari amanat konstitusi sebagaimana termuat pada Pasal 34 (3) UUD RI 1945.

Selaku subjek penuh, korban KS berhak atas fasilitas layanan kesehatan memadai sebagaimana warga negara lainnya. Selanjutnya, prinsip ma’ruf mendasari pentingnya keterlindungan hak asasi manusia (HAM) yang melekat pada diri KS.

Pengupayaan pemenuhan hak kesehatan tidak boleh mengesampingkan hak-hak lain, seperti kerahasiaan informasi, kebebasan dari objektifikasi, akses pendidikan, serta perbedaan kemampuan. Pesatnya transfer informasi di era digital telah meningkatkan kerentanan korban KS dari tindak objektifikasi dan penyudutan.

Alih-alih memperoleh haknya, korban justru memperoleh stigma negatif dari lingkungannya. Selain itu, pengupayaan akses kesehatan juga mesti berjalan selaras dengan terpenuhinya hak pendidikan. Korban KS yang masih mengenyam pendidikan berhak untuk tetap belajar hingga tuntas.

Ringkasnya, prinsip ma’ruf menghendaki kebaikan tanpa melahirkan timbulnya keburukan (la dharara wa la dhirar). Tentunya, upaya pemenuhan hak kesehatan bagi korban KS mesti bertitik tolak dari pemahaman akan kondisi korban. Penyelesaian masalah korban tidak boleh digeneralisasi.

Ragam jenis KS yang ada sekaligus subjek yang mengalaminya menunjukkan kompleksitas yang mesti diurai dan ditangani secara spesifik. Karenanya, penting untuk menyadari bahwa akses kesehatan yang dibutuhkan korban KS—utamanya dari kalangan difabel—mestilah bersifat komprehensif atau menyeluruh.

Layanan tersebut mencakup fase pencegahan, penanganan, serta perawatan yang meliputi unsur kesehatan seksual, reproduksi, psikologi, serta spiritual.

Sebuah ekosistem

Kerja-kerja untuk mengupayakan terpenuhinya akses kesehatan komprehensif bagi difabel korban KS memerlukan solidaritas dan sinergi dari pelbagai pihak. KUPI sering menyebutnya sebagai ‘ekosistem’.

Sebuah ekosistem yang suportif terhadap hak kesehatan korban meliputi ketersediaan payung hukum yang akomodatif, lingkungan yang empatik, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang aksesibel.

Desain ekosistem tersebut tentu mesti berangkat dari perspektif korban. Para korban sendirilah yang memiliki pemahaman (lahu ‘ilm) sekaligus pengalaman (lahu tajribah) dari peristiwa kekerasan yang terjadi.

Kesadaran publik akan peran serta yang melekat pada diri mereka semestinya menggerakkan transformasi budaya. Praktik-praktik budaya yang misoginis, patriarkis, serta playing victim harus segera berkesudahan.

Kita mesti sadar bahwa siapapun dapat menjadi korban KS. Karenanya, penting untuk saling memproteksi dan menguatkan satu sama lain layaknya sebuah bangunan kokoh (yasyuddu ba’dhuhum ba’dhan).

Difabel korban KS adalah bagian dari diri kita. Ayo bersuara, ayo bela! []

 

 

 

Tags: EkosistemFatwa KUPIKekerasan seksualKupiPerlindungan KorbanSolidaritas
M. Khoirul Imamil M

M. Khoirul Imamil M

Pernah nekat menggelandang sepanjang Olomouc-Bratislava-Wina-Trier-Luksemburg.

Terkait Posts

Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Gus Dur

Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

30 Mei 2025
Ibadah Haji

Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

29 Mei 2025
inklusivitas

Pentingnya Membangun Kesadaran Inklusivitas di Tengah Masyarakat yang Beragam

29 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • IUD

    Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID