Mubadalah.id – Bagiku, punya persahabatan yang sehat terutama low maintenance friendship jadi privilege tersendiri. Ketika hidup menemukan banyak kesulitan, kerumitan, dan hal-hal yang menurutku datang secara ngga pasti. Pertemanan yang sehat bisa jadi hiburan di tengah dunia yang sedikit keras.
Manusia sebagai makhluk sosial pasti memerlukan interaksi sosial baik secara individual maupun berkelompok. Namun, jika interaksi sendiri dipenuhi oleh banyak hal-hal yang kurang baik, tentu kualitas menjadi “makhluk sosial” juga bernilai kurang baik juga.
Perjumpaan dalam Hitungan Jari
“Dek, nanti datang ke wisuda kakak, ya! Tanggal 20, insya Allah” kata sahabatku—lebih tepatnya kakak tingkatku tepat setahun, sesaat sebelum berpamitan pergi setelah menemuiku saat foto-foto setelah sidang. Aku mengiyakan, rasanya aku senang sekali sahabatku bisa datang saat sidangku dan aku pun bisa datang saat wisudanya. Dan hari ini, tepat tanggal 20, aku menemaninya seharian dalam selebrasi wisudanya.
Kami sudah kenal lebih dari 9 tahun. Sahabatku, pertama kali ku temui saat aku kelas 7 SMP. Kebetulan, saat itu kami menjadi anggota OSIS pada divisi yang sama. Sebuah hal yang menarik ketika kami bersekolah dari SMP, SMA, dan perguruan tinggi yang sama.
Di SMP, hubungan pertemanan kami sangat sehat, akur, dan beberapa kali ia selalu membantuku dalam mengerjakan PR matematika. Sampai sekarang pun begitu, aku masih bisa bertemu dengannya untuk merawat pertemanan yang sudah kami jalin. Semuanya terasa begitu menyenangkan.
Meski sudah 9 tahun berteman, mungkin saat kami kuliah, pertemuan bisa dihitung dengan jari. Terakhir kali bertemu saat aku semester 6, kami berdua berbincang tentang studi kami. Dan kami baru bertemu kembali ketika aku selesai sidang dan ia merayakan wisudanya. Pada sisi yang lain, aku juga punya sahabat di bangku kuliah.
Kami sudah berteman sejak awal semester satu hingga sekarang. Bertemu saat kelas, belajar bersama, bermain bersama, dan beberapa kali menghabiskan waktu bersama. Tapi, ada juga waktu di mana kami lama tidak bertemu dan tetap merawat pertemanan dengan baik.
Hal yang kusuka ialah ngga ada drama dalam pertemanan kami. Sahabatku baik-baik saja jika aku ngga membalas pesan mereka dan begitu pula sebaliknya. Namun, saat kami bertemu, kami menghabiskan waktu bersama dengan sangat baik. Justru pertemanan yang seperti itulah yang aku suka, low maintenance.
Low Maintenance Friendship
Baru-baru kali ini aku sadari, bahwa hubungan pertemanan seperti itu disebut dengan “Low Maintenance Friendship”. Low Maintenance Friendship merupakan jenis hubungan pertemanan dua orang atau lebih yang ngga menuntut komunikasi intens atau perhatian berlebihan.
Pertemanan dalam hubungan tersebut tetap merasa dekat dan terhubung, meskipun jarang bertemu atau berkomunikasi secara rutin. Kunci dari low maintenance friendship yaitu saling pengertian, kepercayaan, dan penerimaan terhadap kesibukan masing-masing.
Bagiku, low maintenance friendship jadi salah satu bentuk hubungan yang menyehatkan. Karena secara sederhana, pertemanan tersebut lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Dalam hidup yang serba sibuk dan penuh tuntutan, ngga semua orang memiliki waktu atau energi untuk terus-menerus terlibat dalam dinamika pertemanan yang intens.
Apalagi, prinsip saling memahami kesibukan satu sama lain menjadi prinsip yang sangat penting dalam pertemanan tersebut. Sehingga, pertemanan akan menjadi lebih positif tanpa perlu merasakan drama-drama pertemanan yang sebetulnya memang ngga perlu.
Satu hal yang paling aku syukuri dari pertemanan seperti ini yaitu rasa nyaman dan saling percaya. Kami ngga perlu menunjukkan keakraban lewat story atau chat tiap hari. Tapi kami tahu, saat salah satu sedang butuh teman bicara, yang lain pasti akan hadir. Low maintenance friendship juga membuatku belajar menjadi lebih dewasa dalam membangun hubungan.
Aku jadi sadar bahwa ngga semua pertemanan harus diisi dengan kegiatan yang mengharuskan selalu bertemu. Pada sisi yang lain, aku belajar bagaimana membangun hubungan yang saling menghargai dan saling mendukung dari jauh. Juga ngga terlalu menuntut dan membiarkan pertemanan tumbuh secara alami. Sehingga, aku ngga perlu merasa bersalah saat sibuk atau ngga bisa membalas pesan.
Sebaliknya, aku juga menghargai waktu teman-temanku yang mungkin sedang fokus pada dunianya sendiri. Secara ngga langsung, kami saling memahami batasan satu sama lain.
Refleksi Low Maintenance Friendship
Saat sahabatku merayakan wisudanya, aku menawarkan diri menjadi fotografer sukarela. Setiap kali teman-temannya datang, aku dengan senang hati membantu mengambil foto mereka. Rasanya happy sekali bisa ikut mengabadikan momen bahagia sahabatku yang sudah aku kenal sejak SMP.
Meskipun sahabatku laki-laki dan ia datang bersama pasangannya, aku tetap diterima dengan baik. Pasangannya ramah dan terbuka, ngga menunjukkan rasa curiga atau keberatan. Ia tahu bahwa aku adalah sahabat lamanya sejak SMP, dan justru bersikap hangat kepadaku. Kami bertiga bisa menikmati momen itu bersama tanpa ada rasa canggung.
Low maintenance friendship memberiku kesempatan buat belajar bahwa pertemanan dengan lawan jenis tetap bisa berjalan sehat, selama ada rasa saling menghormati dan memahami batasan. Tahu kapan harus hadir dan bagaimana menempatkan diri. Meski jarang bertemu, tetap ada rasa saling percaya dan menghormati satu sama lain.
Shoutout to the low maintenance friends. The ones I don’t have to talk to all the time, but when we get together it’s all love. []