Mubadalah.id – Dalam perjalanan mudik di kereta pagi itu, saya menyiapkan mental untuk melanjutkan novel bacaan yang tertunda karena tugas-tugas UAS beberapa minggu terakhir. Novel memang salah satu hiburan yang menyenangkan, tapi kisah yang ingin penulis sampaikan tentang ksiah korban kekerasan seksual. Cerita ini memunculkan fluktuasi emosi yang tidak main-main pada diri saya yang agaknya memang memiliki sensitivitas tinggi.
Novel Scars and Other Beautiful Things merupakan karya Winna Efendi yang menyajikan kisah korban kekerasan seksual dalam 296 halaman. Adalah Harper Simmons, pemudi Tommales High School, yang berusaha bangkit melewati hantu yang terjadi tiba-tiba dalam hidupnya. Pada suatu malam, saudari kembarnya mengajak dia untuk mengikuti pesta di rumah teman prianya. Di mana pria ini adalah seorang mahasiswa.
Di pesta itu, ia menenggak minuman keras yang membuatnya tidak mampu berpikir lurus. Sehari berlalu, ternyata Simmons telah berada di rumah sakit dengan status baru sebagai korban kekerasan seksual.
Singkat cerita ketika Simmons didekati oleh seorang pria, Scott Gideon, yang mengajaknya melakukan hal yang di tidak dia inginkan, lalu dia mengelak. Namun, karena sedang dalam kondisi setengah sadar dan sang pria ternyata merupakan atlet di kampusnya yang berarti ia memiliki tenaga yang lebih kuat, Simmons tidak mampu melawan.
Pengakuan, keterangan, dan kesaksian yang ia sampaikan kepada polisi, hakim, dan pengacara memang membuat pelaku kekerasan menerima hukuman. Namun, hal yang mungkin jarang terpikirkan oleh selain korban kekerasan seksual, dan orang-orang terdekatnya adalah warna kehidupan yang akan ia jalani setelah kejadian tersebut.
Stereotip Negatif
Kenyataan bahwa Simmons merupakan penyintas tidak lantas membuatnya dipandang sebagai pihak yang dirugikan. Masyarakat tetap menganggapnya sebagai pihak yang turut andil bahkan mengambil keuntungan dari kasus tersebut. Pandangan mencela, persepsi buruk, bahkan konfrontasi dari teman-teman di sekolahnya merupakan dampak yang harus ia hadapi dalam upayanya berdamai.
Dalam kasus kekerasan seksual, harapan final yang tampak memang berupa hukuman terhadap pelaku. Hal ini wajar mengingat hukum hanya mengatur hal-hal yang bersifat material. Pelaku kekerasan, misalnya, mendapat hukuman 6 hingga 15 tahun penjara melihat kepada sejauh apa dampak fisik yang disebabkannya kepada korban.
Menariknya, Winna Efendi mengajak pembaca untuk melihat kondisi mental Harper Simmons ketika Scott Gideon telah masuk penjara. Tidak ada rasa aman yang ia rasakan. Walaupun pelaku tidak lagi berkeliaran. Rasa trauma terus menghantuinya, gelisah dan takut, rasa marah dan kesal kepada orang-orang yang mengasihani dan mencelanya. Serta frustasi yang muncul melihat keseharian ayah, saudari kembar, sahabat dan kekasihnya tidak lagi tampak sama seperti sebelum kejadian kekerasan seksual tersebut.
Setidaknya, terdapat sudut pandang realistis yang mungkin benar-benar terjadi kepada para korban kekerasan seksual yang Winna Efendi tunjukkan Dalam hal ini, dia mampu menyadarkan pembaca bahwa kehidupan korban setelah kejadian bukanlah jalan yang mudah mereka lalui walaupun hukum telah kita tegakkan.
Terdapat sisi-sisi yang tidak mampu tersentuh dan diatur oleh hukum. Seperti stereotip yang kemudian melekat kepada penyintas, trauma, masa depan yang tiba-tiba terasa tidak tergapai, dan ketakutan baru yang muncul ketika pelaku telah bebas di kemudian hari.
Pembebasan Diri
Banyak upaya Harper Simmons lakukan demi mengatasi traumanya, yakni berkonsultasi dengan konselor sekolah. Kemudian menjadi relawan di rumah penampungan hewan terlantar, dan terus melakukan komunikasi dengan orang lain. Yakni yang melihat kepada konteks kejadian, hal seringan mengobrol menjadi sesuatu yang terasa sulit tanpa adanya perasaan tidak nyaman yang muncul.
Dua hal kecil yang menurut saya menjadi penguat bagi Simmons adalah, pertama, ketika dia bertemu pemiliki butik yang kerap ia datangi mengucapkan doa untuk kebahagiaannya. Hal kecil yang tidak ia sangka akan terucapkan oleh seseorang yang sama sekali tidak dekat. Namun memercayai bahwa ia sepenuhnya merupakan korban, dan pihak yang rugi.
Kedua, ketika ia membuka surat-surat yang isinya berisi dukungan. Surat yang dimaksud adalah ucapan-ucapan yang dikirimkan oleh penduduk dari seluruh negeri. Ucapan yang mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka juga mengalami hal serupa. Namun tidak memiliki cukup keberanian untuk speak up.
Meski dalam kisah Simmons pada akhirnya berhasil melanjutkan hidup. Bahkan menjadi inspirasi bagi penyintas kejadian serupa. Luka jiwa yang ia rasakan sendiri tidak akan hilang. Meninggalkan bekas yang tidak mampu terhapus oleh waktu dan penegakan hukum. Apalagi, tidak semua penyintas memiliki dukungan yang luas seperti Harper Simmons. []