Mubadalah.id – Akibat pandemi covid-19, pemerintah Arab Saudi menutup akses bagi pendatang muslim yang ingin menunaikan ibadah haji. Dan secara resmi, Indonesia melalui Menteri Agama juga mengumumkan bahwa di tahun 2021 ini tidak memberangkatkan jamaah haji.
Hal ini tentunya menuai pro dan kontra di masyarakat. Karena jadwal keberangkatan jamaah haji di Indonesia yang harus menunggu puluhan tahun ini terpaksa harus diundur lagi. Semua muslim tentunya memiliki keinginan untuk menunaikan Rukun Islam ke-5 ini. Apalagi jika secara fisik, psikis, dan ekonomi memang memiliki kemampuan untuk menunaikannya.
Namun dengan dikeluarkannya keputusan Menag RI Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H, seharusnya tidak menyurutkan niat para calon jamaah untuk melaksanakan haji. Yaitu haji secara simbolis filosofis yang menyentuh aktifitas manusia sehari-hari. Membangun kesadaran bahwa haji bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilaksanakan muslim untuk meraih kedekatan dengan Allah SWT. Jangan sampai perilaku tidak baik justru banyak dilakukan karena peristiwa ini. Ada banyak kebaikan yang bisa dilakukan dengan tetap mengamalkan rukun haji.
Pelaksanaan ibadah haji secara simbolis filosofis sudah banyak dicontohkan oleh para ulama di abad pertengahan seperti Imam Junaid al-Baghdadi, Ja’far Shadiq seorang tokoh sufi, dan Ali Syariati seorang ulama dari Iran. Salah satu caranya adalah dengan menjalankan seluruh rukun haji dengan makna yang mendalam tidak hanya terfokus pada ritual verbal.
Melaksanakan Rukun Haji dalam aktifitas sehari-hari
Berpakaian ihram; pelaksanaan rukum ihram dalam haji adalah simbol melawan diskriminasi. Bahwa apapun status pekerjaan, tingkat ekonomi, baik itu presiden, menteri, maupun masyarakat sipil di seluruh dunia menggunakan baju yang sama. Baju berwarna putih dengan model yang sama. Tidak ada pakaian berlapis emas, maupun pakaian berwarna, atau simbol-simbol baju yang menunjukkan status sosial seseorang.
Makna pakaian ihram dalam kehidupann sehari-hari yang harus dijalankan oleh seluruh muslim adalah anjuran untuk menanggalkan segala keangkuhan yang timbul dari perbedaan status social. Meskipun mengakui kebhinekaan sebagai semboyan bangsa, namun tidak dipungkiri bahwa status sosial pada masyarakat kita sangat mempengaruhi keterhormatan seseorang. Manusia tak lagi dihormati karena perannya, karena amal, akhlak, dan perilakunya. Namun dihormati berdasarkan jabatan pekerjaan, dan kekayaan.
Secara demografi, Indonesia diberi keunikan karena keragaman ras, suku, budaya dan etnik yang tersebar luas. Maka bersamaan dengan momen menjelang pelaksanaan haji ini hendaknya kita semua juga menggunakan pakaian ihram dalam seluruh tindak laku kita. Caranya adalah dengan berniat dengan sungguh-sungguh untuk memakai pakaian kejujuran, kerendahan hati, kesucian jiwa, dan keikhlasan hanya karena Allah. Agar permasalahan diskriminasi tak lagi terjadi di Indonesia.
Thawaf; rangkaian ibadah haji dengan mengelilingi Ka’bah berlawanan dengan jarum jam sebanyak tujuh kali. Ka’bah adalah simbol universalitas dan kemutlakan Tuhan sebagai penguasa semesta alam. Dalam rukun thawaf mengandung makna bahwa Allah lah pusat dari titik orientasi kita sebagai manusia. Sehingga muncul kesadaran bahwa apapun peran dan posisi kita di dunia, kita tak lebih dari bagian dari makhluk yang kecil di alam raya ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, makna thawaf juga harus terinternalisasi. Bekerja karena bentuk kepatuhan kepada Allah, bukan karena ingin mendapat perhatian dari atasan maupun teman sejawat. Pejabat publik melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai bentuk pelaksanaan amanah yang telah dititipkan kepadanya, bukan hanya karena menginginkan dukungan untuk periode pemilihan selanjutnya ataupun melanggengkan kepemimpinan tirani keluarga.
Menjalani rumah tangga dengan prinsip saling membantu dan mengingatkan untuk meraih keridhaan Allah, bukan karena baktinya kepada sesama manusia. Menjadi orang tua yang terbaik bagi anak sebagai bentuk pelaksanaan tanggungjawabnya kepada Allah, bukan karena mengharap balas jasa dari anak. Menjadi anak yang patuh dan taat kepada orang tua sebagai bentuk pelaksanaan birrul walidain, bukan karena berharap keuntungan finansial dan warisan.
Jika filosofi thawaf ini sudah terinternalisasi dalam diri, maka manusia akan bebas dari hegemoni, perbudakan, dan menjadi manusia yang merdeka. Karena mengorientasikan segala perilakunya di dunia untuk meraih keridhaan Allah. Bebas dari kepentingan yang bersifat duniawi, dan mampu menjalankan seluruh aktifitasnya dengan penuh keikhlasan.
Wukuf di Arafah; berhentinya para jamaah haji di padang Arafah. Sebuah tempat yang luas, gersang, dan panas. Jamaah haji harus berhenti di padang arafah hingga terbenamnya matahari. Semua wajib melaksanakan rukun ini baik pejabat, artis, orang kaya, maupun orang miskin dengan fasilitas yang sama. Rukun ini juga salah satu simbol keadaan manusia di padang mahsyar. Bahwa apapun status sosialnya di dunia, maka di padang mahsyar kelak semua manusia sama, hanya ketaqwaannya-lah yang membedakannya dengan manusia lainnya.
Internalisasi makna wukuf dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan menyadari bahwa apapun yang kita miliki secara materi di dunia, kelak tidak ada gunanya. Kecuali kita mampu menggunakan materi kita untuk hal-hal yang berorientasi pada kebutuhan akhirat. Seperti memperbanyak sedekah, charity, dan membantu sesama. Dengan memaknai wukuf dalam kehidupan sehari-sehari juga menyadarkan kita bahwa mengejar dunia tak ada habisnya, maka kita butuh waktu untuk istirahat sebentar. Berkontemplasi dengan Tuhan, bermunajat pada-Nya, dan terus memperbaiki niat kita. Agar apa yang kita lakukan di dunia tidak sia-sia.
Melempar jumrah di Mina; jamaah haji melempari batu pada 3 berhala yaitu Firaun simbol penindasan, Qarun simbol kapitalisme, dan Bal’am simbol kemuniafikan. Rukun haji ini adalah simbol yang melambangkan perlawanan jamaah haji pada kekuatan setan yang senantiasa mengintai manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, rukun melempar jumrah ini harus benar-benar di internalisasi dengan melawan penindasan dan ke-dhalim-an. Meniatkan diri untuk tidak menjadi penindas maupun orang yang dhalim dalam setiap peran yang dilakukan di dunia. Dan berkomitmen untuk membebaskan semua manusia dari korban penindasan.
Ali Syariati pernah melontarkan pertanyaan yang cukup kritis terkait dengan ritual jumrah di Mina ini: (Ali Syariati:1995)
“Kemudian ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?” “Tidak.” “Berarti engkau belum melempar jumrah”. Lemparkan semua pikiran-pikiran kotor dan segala nafsu badani, kerendahan dan kekejian dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan terhadap penindasan dan kebiadaban.
Makna mendalam dari pernyataan Ali Syariati adalah mengingatkan kepada kita semua bahwa haji tak hanya sekedar menjalankan ritual verbal belaka, namun harus diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditutupnya tidak diberangkatkannya jamaah haji oleh pemerintah yang disebabkan karena adanya pandemi covid-19 ini, seharusnya tak menyururkan niat kita semua untuk tetap menjalankan ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari. []