Melihat Lebih Dekat Dampak dari Pernikahan Anak

Pernikahan anak meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Pernikahan Anak

Pernikahan Anak

Kisah ini adalah potret nyata bagaimana pernikahan anak masih menjadi jalan keluar, meski sebenarnya lebih banyak mendatangkan masalah. 

Mubadalah.id – Masa remaja adalah fase penting dalam kehidupan manusia, sebuah masa peralihan yang penuh dinamika, harapan, dan mimpi-mimpi yang baru mulai tumbuh. Namun, tidak semua anak dapat menikmati masa remajanya dengan bebas.

Ada banyak cerita tentang anak-anak yang harus kehilangan masa kecil dan masa depannya karena menikah di usia anak, seperti kisah AM, seorang remaja berusia 14 tahun di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Melansir dari IDN Times, AM menikah di usia belia dengan AR, temannya yang juga masih SMP, karena alasan yang sangat sederhana, ia takut tidur sendirian di rumah setelah sang ibu meninggal. Rasa sepi dan kehilangan itu begitu besar, sementara sang ayah bekerja jauh di luar kabupaten.

Pada akhirnya, pernikahan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi rasa takut dan kesepian itu. Meski permohonan pernikahan mereka sempat ditolak oleh pihak KUA karena usia mereka belum cukup, keduanya tetap menikah setelah mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama.

Kisah ini adalah potret nyata bagaimana pernikahan anak masih sering dianggap sebagai “jalan keluar”, meski sebenarnya lebih banyak mendatangkan masalah daripada solusi.

Pernikahan anak memang telah diatur dalam Undang-undang, tepatnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menyebutkan usia minimal menikah adalah 19 tahun. Tapi dalam praktiknya, aturan ini seringkali diabaikan. Akibatnya, banyak anak yang terjebak dalam pernikahan anak tanpa memahami risiko yang akan mereka alami.

Dampak Negatif Pernikahan Anak

Ada banyak dampak negatif dari pernikahan anak yang perlu banget semua orang paham.

Pertama, pernikahan anak rentan membuat mereka putus sekolah. Banyak anak yang harus berhenti menimba ilmu karena setelah menikah, mereka dihadapkan pada tanggung jawab baru sebagai istri, suami, atau bahkan orang tua.

Bagi banyak keluarga di desa, pernikahan anak dianggap solusi untuk meringankan beban ekonomi atau menghindari “aib”. Sayangnya, keputusan ini justru memutus kesempatan anak untuk mengembangkan potensi dan masa depannya.

Kedua, pernikahan anak meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Anak-anak yang menikah di usia anak, umumnya belum matang secara emosional dan mental. Mereka sering kesulitan mengelola emosi, sehingga masalah kecil bisa memicu pertengkaran yang berujung pada kekerasan.

Tak jarang, mereka juga mengalami tekanan, stres, bahkan depresi, dan dalam kasus ekstrem, ada yang sampai mengakhiri hidupnya.

Ketiga, ada risiko kesehatan yang sangat serius. Kehamilan di usia muda bukan hanya berisiko bagi kesehatan si ibu, tetapi juga bagi bayi yang akan ia lahirkan. Anak perempuan tubuhnya belum siap untuk proses kehamilan dan persalinan, sehingga risiko kematian ibu dan bayi pun meningkat.

Keempat, pernikahan anak juga membatasi ruang sosialisasi mereka. Anak-anak yang menikah harus mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Karena itu ruang geraknya semakin sempit, dan peluangnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai usia menjadi sangat terbatas.

Kelima, pernikahan anak rentan berujung pada perceraian. Ketidakmatangan emosi, juga termasuk tekanan ekonomi, sering menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Banyak anak-anak yang menikah akhirnya bercerai. Entah karena KDRT atau penyebab lain.

Upaya Pencegahan Nikah Anak

Semua dampak ini seringkali tidak disadari oleh banyak orang tua, terutama di desa-desa, di mana pernikahan anak masih dianggap biasa. Minimnya pemahaman tentang bahaya pernikahan anak menjadi salah satu faktor yang membuat praktik ini terus terjadi.

Karena itu, upaya pencegahan sangat penting kita lakukan. Pemerintah desa dan sekolah perlu aktif memberikan edukasi tentang pentingnya menjaga masa depan anak, mulai dari pendidikan seks, pemahaman kesetaraan gender, hingga penyuluhan tentang kesehatan reproduksi.

Orang tua juga punya peran besar. Mereka harus menciptakan ruang aman bagi anak-anak mereka, mendengarkan keluh kesah mereka, dan memberikan nasihat yang mendukung. Anak perlu tahu bahwa mereka kita dengarkan dan hargai, bukan justru mendorong mereka untuk menikah sebelum waktunya.

Meningkatnya angka pernikahan anak setiap tahunnya harus menjadi alarm bagi kita untuk terus bekerja sama, bukan hanya untuk mencegah pernikahan anak, tetapi juga untuk memastikan setiap anak bisa menikmati masa remajanya dengan penuh warna. Setiap anak berhak tumbuh dengan bahagia, belajar tanpa gangguan, dan mengejar mimpinya tanpa batas. Jangan biarkan pernikahan dini mencuri masa depan mereka. []

Exit mobile version