• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Memandang Disabilitas dengan Setara Adalah Bentuk dari Ketaqwaan

Pada akhirnya, keutuhan seseorang bukan dari fisiknya, tetapi dari kemampuannya untuk berlaku adil kepada sesama.

Afiqul Adib Afiqul Adib
02/04/2025
in Personal
0
Memandang DIsabilitas

Memandang DIsabilitas

801
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam salah satu dialog film My Annoying Brother, ada kalimat yang cukup menyentuh: “Adik saya juga ingin setara dan utuh seperti manusia lain.” Kalimat ini sederhana, tetapi mengandung makna mendalam. Fyi, dalam film tersebut, sang adik adalah seorang disabilitas yang mengalami kebutaan, tetapi tetap ingin diakui sebagai manusia seutuhnya, tanpa belas kasihan yang berlebihan atau perlakuan yang merendahkan.

Mungkin tanpa sadar, kita termasuk orang-orang yang belum benar-benar adil dalam memandang teman-teman disabilitas. Bukan karena niat buruk, tetapi karena ketidaktahuan dan konstruksi sosial yang sudah mengakar kuat.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita melihat seseorang bukan dari tindakannya, tetapi dari identitas yang melekat padanya. Jika ada seseorang yang melakukan kesalahan, seharusnya kita menilai perbuatannya, bukan identitasnya.

Ambil contoh kasus Agus, seorang difabel yang melakukan pelecehan. Alih-alih fokus pada tindakan yang harus kita proses secara hukum, masyarakat justru menyoroti status disabilitasnya. Seakan-akan, ada standar ganda yang masyarakat terapkan: ketika difabel berbuat salah, kesalahannya terlihat lebih besar karena mereka memiliki keterbatasan. Padahal, setiap individu harus bertanggung jawab atas tindakannya, tidak peduli status fisiknya.

Hal ini selaras dengan apa yang pernah Pandji Pragiwaksono katakan: “Hanya karena kamu benar, bukan berarti boleh melakukan apa saja kepada yang salah.” Menjustifikasi ketidakadilan dengan dalih kebenaran hanya akan menimbulkan dendam dan memperburuk keadaan. Yang perlu kita lakukan adalah menegakkan keadilan secara proporsional, tanpa melibatkan stigma yang tidak relevan.

Baca Juga:

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Kopi Kamu: Ruang Kerja Inklusif yang Mempekerjakan Teman Disabilitas

Film Pendek Memanusiakan Difabel: Sudahkah Inklusif?

Keawaman Kita

Sebagai orang luar (outsider), kita sering kali melakukan ketidakadilan terhadap penyandang disabilitas tanpa sadar. Misalnya, dalam penggunaan istilah. Kata “tuna rungu” mungkin terdengar netral bagi sebagian orang, tetapi bagi beberapa individu disabilitas, istilah ini justru terasa menyinggung.

Namun, ada satu hal yang harus kita ingat: semua manusia lahir dengan hati nurani. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk menciptakan kemaslahatan, bersikap adil, dan diperlakukan dengan adil. Jika kita belum memperlakukan difabel dengan baik, itu berarti kita belum sepenuhnya memahami esensi kemanusiaan kita sendiri.

Selain itu, kita perlu juga mengakui bahwa, “Cacat Moral Lebih Berbahaya ketimbang Cacat Fisik.” Sering kali, masyarakat melihat manusia dari keutuhan fisiknya. Padahal, manusia disebut manusia bukan karena fisiknya, tetapi karena akalnya. Jika seseorang memiliki keterbatasan fisik, itu tidak mengurangi nilai kemanusiaannya. Justru, yang lebih berbahaya adalah cacat secara moral, yakni ketidakmampuan seseorang untuk bersikap adil dan memperlakukan orang lain dengan baik.

Ketika kita menganggap difabel sebagai individu yang tidak utuh, maka sejatinya, kita sendiri yang tidak utuh sebagai manusia. Sebab, manusia yang utuh adalah manusia yang mampu menghargai sesama tanpa membeda-bedakan kondisi fisik mereka.

Kacamata Keadilan Hakiki dalam Memahami Disabilitas

Dalam salah satu kajian bertajuk Disabilitas dalam Perspektif Keadilan Hakiki, Bu Nyai Rofiah menjelaskan bahwa ada dua kacamata dalam memahami keadilan bagi penyandang disabilitas:

Pertama, Pengalaman Biologis – Kita harus mengakui bahwa ada kondisi biologis yang membedakan penyandang disabilitas dengan non-disabilitas. Ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan, tetapi harus kita terima sebagai bagian dari keberagaman manusia.

Kedua, Pengalaman Sosial – Sayangnya, yang sering terjadi adalah penyangkalan atas realitas sosial yang terjadi pada penyandang disabilitas. Mereka kerap mengalami, 1). Stigmatisasi – Dipandang sebelah mata dan dicap sebagai “tidak mampu.” 2). Marginalisasi – Dikesampingkan dari berbagai aspek kehidupan sosial.

3). Subordinasi – Dianggap tidak bisa bekerja, tidak mampu mandiri, atau bahkan tidak punya hak atas keputusan hidupnya sendiri. 4.) Kekerasan – Baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. 5). Beban ganda – Selain harus menghadapi keterbatasan fisik, mereka juga harus berjuang melawan diskriminasi sosial.

Memandang Disabilitas Secara Adil

Keadilan hakiki dalam konteks disabilitas bertujuan untuk menciptakan maslahatan ‘ammah (kebaikan bagi semua). Jika kita ingin menjadi manusia yang bertakwa, kita harus belajar melihat penyandang disabilitas sebagai bagian utuh dari masyarakat, dengan hak dan martabat yang sama. Bukan dengan belas kasihan yang berlebihan, tetapi dengan sikap yang setara dan adil.

Pada akhirnya, memandang disabilitas dengan adil bukan hanya soal hak asasi manusia, tetapi juga soal ketaqwaan. Dalam Islam, keadilan adalah prinsip fundamental yang tidak boleh ada tawar-menawar. Jika kita masih memandang penyandang disabilitas sebagai individu yang kurang, mungkin yang sebenarnya kurang adalah pemahaman kita sendiri.

Maka, marilah kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik. Bukan dengan sekadar berkata bahwa kita peduli, tetapi dengan benar-benar bersikap adil dan setara. Karena pada akhirnya, keutuhan seseorang bukan dari fisiknya, tetapi dari kemampuannya untuk berlaku adil kepada sesama. []

Tags: Anak DisabilitasDisabilitasIsu DisabilitasKeadilan HakikiKesetaraanTaqwa
Afiqul Adib

Afiqul Adib

Introvert garis keras. Tinggal di Lamongan.

Terkait Posts

Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Laki-laki tidak bercerita

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

13 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pemukulan

    Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version