• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Membaca Hidup Nabi Muhammad: Kitab yang Berjalan

Muhammad adalah kitab kehidupan yang berjalan dan seolah tak ada habis-habisnya kita gali, timba, teliti, dan tentu juga butuh untuk kita teladani

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
10/10/2022
in Hikmah
0
Hidup Nabi

Hidup Nabi

458
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Telah berapa juta jam, berapa ratus ribu hari, dan berapa ribu tahun yang lalu Nabi Muhammad pernah memijakkan kaki di planet ini? Persinggahan jasadiahnya yang ‘hanya’ dalam kurun 63 tahun usianya itu menyisakan kenangan kekal. Kita seakan membaca hidup Nabi Muhammad bagai kitab yang berjalan. Namanya disebut-sebut, dilantunkan, dituangkan dalam syair-syair, dan dikaligrafikan.

Orang-orang mendendangkan shalawat merdu untuknya di berbagai penjuru negeri dengan pusparagam corak budaya dan langgam yang variatif. Bahkan berasal dari suku, ras, bangsa, bahasa, wilayah dusun-desa-kota, warna kulit, hingga warna bolamata yang berbeda-beda.

Acara kelahirannya kita semarakkan, disyahdukan sedemikian rupa mulai dari daerah pesisir hingga kaki gunung. Dari benua biru sampai kepulauan hijau kemilau. Merambah gurun pasir dan menembus ke sabana. lalu ke tepi pelosok hutan yang sejuk dan rindang.

Betapa asyik jika membayangkan nun jauh di sudut kota di Arab sana, juga di pojok irisan negeri beruang merah Rusia, plus kegiatan slametan di pucuk lereng Merapi pulau kecil bernama Jawa sini sedang merayakan kerinduannya kepada Muhammad. Semua itu menjadi bukti bahwa ia tak pernah mati di kedalaman lubuk sanubari kaum muslim secara kolektif. Dari pra-listrik sampai mega-listrik, unta sampai toyota, merpati sampai video-call, dari zaman ke zaman, melampaui generasi demi generasi.

Warisan Keteladanan Nabi

Jasad Muhammad boleh lapuk, lebur manunggal dengan bumi, tanpa pernah sempat kita jumpai. Namun tetap saja, Muhammad sebagai nilai, pancaran (nur) kualitasnya, ajaran, kewaskitaan dan pelbagai warisan keteladanan bijak darinya memancar melampaui sekat-sekat ruang dan pagar-pagar waktu.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Ia tidak pernah kita sebut ‘primitif’ atau ‘kuno’. Karena hidup Nabi abadi, tidak saja namanya, namun sekaligus cahaya dan spirit perdamaiannya. Kemudian membikin Michael H. Hart memasukkannya sebagai figur urutan pertama dari 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia.

Apa yang membuatnya demikian kita kenang? Muhammad sebagai sosok, sebelum menjadi nabi, adalah manusia pejuang nilai. Ia pekerja keras yang mengusung harkat adiluhung kemanusiaan (kemakhlukan, ke-abdi-an terhadap Tuhan), laku-terapan budi pekerti yang bersih, jujur, dan rendah hati di tengah maraknya kecurangan, keculasan obsesi dominasi terhadap yang lain (Arab Über Alles?), kecongkakan, perbudakan, diskriminasi, keserakahan, dan penindasan antar-manusia di era Jahiliyyah.

Sebuah era—seperti juga ditulis Karen Amstrong—di mana bukan kedunguan intelektual yang dimaksud, namun lebih ke perilaku yang serakah, curang, dan membodohi kesetaraan sesama manusia.

“Sungguh sakit sekali hati kami ini karena Muhammad!
Ajarannya telah memadamkan cahaya-cahaya Ka’bah.
Ajarannya menghapus perbedaan-perbedaan ras dan darah
walau dia sendiri Quraisy, dia mengingkari superioritas Arab.
Dalam agamanya, yang tinggi dan rendah satu saja.
Dia makan bersama budaknya dari piring yang sama!”

(Ilustrasi kekesalan Abu Jahal oleh Sir M. Iqbal dalam Javidnama)

Manusia Ruang, Ruang yang Manusia

Hidup Nabi Muhammad hadir di tengah tatanan masyarakat beserta carut-marutnya stratifikasi sosial yang feodalistis, silang-sengketa kemapanan politik kesukuan yang pilih-kasih, dan penghambaan terhadap berhala materialisme yang membalung-sumsum. Semua itu tidak serta merta memancingnya bertindak anarkis atau melakukan Holocaust.

Ia hanya gelisah, kalut dalam perasaan tak menentu. Tapi ia berjuang terus menempa diri, sebagai lazimnya perjuangan manusia pada umumnya, untuk tidak terjebak dalam keadaan pseudo-kesejahteraan, khayal kekuasaan, ilusi eksistensialisme kepentingan. Muhammad kecil tekun menggembalakan ternak, suatu representasi latihan olah-kesabaran dan ketelatenan. Ia giat bekerja, getol berdagang, tanpa jemu giat menawarkan etos kejujuran yang ia amalkan sedari usia muda di tengah terbuka-lebarnya peluang untuk curang dan berlaku licik.

Perjalanan hidupnya amat penting kita cermati bahwa Muhammad sebelum menjadi nabi, sebagai manusia ia telah melalui pelbagai lelaku hidup yang begitu panjang, berat dan melelahkan. Ia bukan nabi mendadak, yang seakan kejatuhan pulung dari langit lantas menerima wahyu sebagai utusan-Nya. Semua itu ia peroleh dari perjuangan alot dan penuh keperihan mengolah seluruh kelengkapan potensi hidupnya sehingga kompatibel untuk mendengar bisikan jernih dari Tuhan.

Wahyu Pertama

Sampai tiba hari ia mendapat wahyu pertama, iqra’. Baca! Ia bingung lantas bertanya: apa yang dibaca?—sedang ia sendiri seorang ‘ummi, tak bisa membaca. al-Quran? Belum turun secara utuh dan justru baru itulah ayat pertamanya. Maka Muhammad gemetar ketakutan.

Siapa gerangan bisikan itu? Hingga beberapa waktu kemudian ia nyaris frustrasi dan ingin meloncat saja dari puncak bukit. Namun dicegah ‘suara’ itu lagi, “Hai, Muhammad, engkau memang utusan-Nya. Jangan takut.” Maka ia berusaha meneguhkan diri, bersama perempuan pejuang di sisinya, Siti Khadijah. Muhammad membaca situasi masyarakatnya, ikut bergumul dengan kesulitan tetangga-tetangganya. Lalu bersikukuh untuk egaliter sesama manusia, terlibat persoalan sosial dan turut berprihatin sampai masa sepuhnya.

Ketika mewedarkan ajaran-ajarannya yang cukup dekonstruktif bagi kalangan elite Arab kala itu, ia tetap berpatok pada la ikraha fid-din (tak ada paksaan dalam beragama), sambil istiqomah menegakkan dakwah bil-hikmati wal mauidlatil-hasanati (dengan penuh bijaksana dan silih menasehati dengan baik), dan jika tak masuk jua, maka ia tidak lupa untuk wa jadilhum bil-lati hiya ahsan (berdebat dengan mereka melalui cara yang sebaik-baiknya). Semua itu perwujudan dari great-design Allah Swt. terhadapnya untuk rahmatan lil-‘alamin.

Juga, jika melihat kegentingan umat beragama kini yang silih memicingkan mata satu sama lain, maka dahulu alangkah akan kesepiannya Muhammad masa itu jika tak kita perbolehkan untuk bergaul dengan pemeluk agama lain.

Pamannya, sepupunya, kemenakannya, tetangga-tetangganya dan yang lainnya. Ia tetap bergaul sambil memegang lakum dinukum waliyadin dan berbekal pusaka lana a’maluna walakum a’malukum dengan tanpa melupakan salamun ‘alaikum. Walau amal kami dengan amal kalian berbeda, tapi aku teguh mendoakan semoga keselamatan selalu ada untukmu.

Manifestasi Nur Muhammad

Muhammad adalah ejawantah manusia ruang yang menampung segala hal; bisik semesta, desis angin, kalam gurun pasir, sinyal rindu sapaan-Nya. Bahkan sampai keluh-kesah tetangganya yang fakir miskin, curhatan tukang marah, celoteh seorang pezina, dan tak lupa menjadi liberator (pembebas) budak-budak. Lantas ia ajak secara setara. Bilal adalah bukti nyata bahwa orang berkulit hitam, mantan budak, kurang fasih mengucap 4 jenis S (ts, s, sy, sh) dalam bahasa Arab. Namun ia berhak dan menjadi muadzin yang amat ia cintai.

Bahkan boleh jadi sebenarnya Muhammad—yang merupakan manifestasi Nur Muhammad, makhluk tertua di jagat universal ini—justru adalah ruang yang mewujud manusia dengan ‘masa-dines’ resmi di bumi ini selama sekian tahun.

Ia bak semesta menampung segala perbedaan alam raya dengan tanpa perlu menghakiminya. Ia bersentuhan langsung dengan manusia, bukan semata-mata karena pangkat, gelar, jabatan, atau pendapatan ekonominya dan atribut-atribut yang lain. Muhammad adalah kitab kehidupan yang berjalan dan seolah tak ada habis-habisnya kita gali, timba, teliti, dan tentu juga butuh untuk kita teladani.[]

Tags: islamkeislamanMaulid NabiMaulid Nabi Muhammad SawRefleksisejarahSunah NabiTeladan Nabi
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version