“Surga istri ada pada ridha suami”; “Mengurus anak dan pekerjaan rumah itu kodrat perempuan”; “Tugas utama perempuan itu di rumah”; “Perempuan enggak usah sekolah tinggi-tinggi nanti ujung-ujungnya dapur, sumur, kasur”; “Perempuan itu akan dilaknat malaikat sampai subuh jika tidak melayani suaminya”, “Perempuan lebih dominan emosinya ketimbang akalnya”; “Perempuan lebih banyak menghuni neraka,” dan lain-lain. Terdengar familiar?
Mubadalah.id – Bolehkah kita mempertanyakan kembali pernyataan-pernyataan di atas? Tentu saja. Pertanyaan-pertanyaan kritis perlu disampaikan untuk mengetahui kira-kira, apa yang salah dengan situasi itu? Pada hemat saya, yang salah ada pada cara pandang. Mengapa?
Karena perempuan lebih ditempatkan sebagai objek, bukan subjek. Objek itu hanya sasaran, sedangkan subjek itu pelaku. Objek sering tak lebih dari pelengkap, bukan individu yang utuh. Padahalah, sebagai subjek, tentunya perempuan memiliki kemanusiaan yang sama dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki adalah subjek di mata Allah Swt., yang pembedanya adalah keimanan dan ketakwaan (QS Alhujarat: 13).
Tapi, bukankah pernyataan-pernyataan di atas berlandaskan pada hadis dan rujukan keagamaan lainnya? Di sinilah pentingnya melakukan pembacaan kembali atas teks-teks keagamaan tersebut. Penafsiran agama, khususnya penafsiran ayat-ayat Al-quran dan hadis, menjadi nilai-nilai yang menginternalisasi dalam diri masyarakat selama puluhan tahun melalui berbagai ajaran yang diterimanya sehingga menjadi nilai-nilai budaya yang dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, penafsiran juga terikat pada ruang dan waktu, dan setiap zaman menghadapi tantangannya sendiri.
Perbincangan soal gender tentu bukan hal yang asing lagi. Sejak mulai diperkenalkan sebagai wacana pada tahun 70an, perbincangan gender sudah masuk pada berbagai ranah diskusi, termasuk di institusi-institusi keagamaan, seperti pesantren. Bahkan, Pengarusutamaan gender (PUG) telah menjadi strategi dan kebijakan yang bersifat sistematis, terukur dan terarah di berbagai bidang dan institusi, baik di pemerintahan maupun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan.
Peran-peran perempuan di berbagai bidang pun terus mengalami kemajuan yang menggembirakan. Namun demikian, berbagai stereotip negatif tentang perempuan yang berakar pada nilai-nilai kultural dan penafsiran agama yang timpang masih menjadi persoalan besar. Cara pandang dan stereotip itu berperan besar pada bagaimana individu dan masyarakat memperlakukan perempuan.
Bahkan, tak jarang masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, selalu menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah atas berbagai persoalan sosial yang terjadi. Misalnya, bila terjadi kejahatan pemerkosaan yang menimpa perempuan, yang pertama kali disalahkan justru perempuan. Bila ada rumah tangga yang mengalami perceraian, yang pertama kali dicap negatif oleh masyarakat adalah perempuan. Bila suami tidak setia, yang dicurigai juga perempuan. Sebagai korban, perempuan kerap mengalami penderitaan ganda yang berlipat-lipat sebagai pihak yang disalahkan. Enggak ada habis-habisnya!
Sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil ‘alamin, agama yang membawa kebaikan bagi alam semesta, dengan tumpuannya adalah akhlah mulia, tidak mungkin Islam berlaku tidak adil pada perempuan. Nabi Muhammad saw sendiri adalah sosok yang sangat memuliakan perempuan. Pandangan-pandangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw saat itu merupakan pandangan-pandangan revolusioner dalam konteks zamannya, ketika perempuan sangat rendah nilainya. Islam mengangkat tinggi-tinggi derajat perempuan.
Maka, bila ada hadis-hadis yang dipandang tidak adil gender, perlu dilakukan pembacaan ulang, dikaji lagi, dicek tingkat kesahihannya, baik dari sisi sanad (perawi/orang yang meriwayatkan) maupun matan-nya (isi). Hal itulah di antaranya yang dilakukan oleh sekelompok intelektual Islam yang tergabung di Forum Kitab Kuning yang dipimpin Ibu Sinta Nuriyah, yang mengkaji ulang Kitab Uqudulujain pada tahun 1998, yakni sebuah kitab populer di pesantren yang menjadi rujukan utama terkait relasi suami-istri.
Upaya yang sama dan terus-menerus juga dilakukan para ulama jaringan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), seperti Buya Husein Muhammad, Bu Nyai Badriyah Fayumi, Bu Nyai Nur Rofiah, Kiai Faqih Abdul Qadir, dan lain-lain.
Salah satu gagasan dalam membaca ulang hadis-hadis yang dianggap ‘misoginis’ atau tidak berpihak pada perempuan adalah dengan perspektif Mubadalah, yang ditawarkan Kiai Faqih Abdul Kodir, atau yang popular disebut Kang Faqih.
Mubadalah adalah cara pandang yang mencoba berpegang pada prinsip mencari makna yang terbaik (Azzumar: 33). Sesuatu yang mendorong kita semakin dekat kepada Allah, akan semakin mendekatkan kita pada sesama, demikian prinsip yang dianutnya. Dalam Mubadalah, prinsip kesalingan menjadi penting, khususnya dalam relasi laki-laki dan perempuan, atau suami-istri. Saling itu berarti sama-sama, take and give, memberi dan menerima di antara kedua belah pihak. Mubadalah adalah kemitraan. Karenanya, hadis-hadis yang mengandung relasi yang timpang tadi perlu dikaji dan dibaca kembali.
Dalam berkeluarga misalnya, tidak mungkin sakinah mawadah warahmah itu lahir dari peran satu pihak. Pasti kedua belah pihak ikut berperan, yakni suami dan istri. Istri harus menghormati suami, demikian pula sebaliknya. Istri harus melayani dan memuaskan suami. Demikian pula sebaliknya. Suami tidak boleh kasar pada istri, begitu pula sebaliknya. Suami dan istri bergotong royong, berbagi peran, saling menghargai. Suami-istri saling rida (‘an taradin). Jika surga istri ada dalam keridaan suami, maka demikian pula sebaliknya. Itulah perspektif yang ditawarkan Mubadalah.
Selama ini, hadis-hadis yang populer di masyarakat dan sering dirujuk di pengajian-pengajian umumnya berkutat tentang kewajiban istri pada suami (yang cenderung bias gender). Padahal, ada banyak juga hadis lain yang namun jarang dikutip atau dibicarakan, seperti hadis yang melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, larangan suami bersikap kasar/memukul istri, dan hadis-hadis yang menceritakan perempuan dalam peran yang luas.
Bahkan, ada riwayat kalau perempuan di masa Nabi saw juga suka protes. Suara perempuan juga penting dan didengar oleh Allah Swt. Sebagai contoh, ketika seorang perempuan sahabat Nabi melalukan protes kepada Nabi: kenapa tidak ada ayat yang menghargai hijrah/upaya perempuan. Lalu, Allah menjawabnya dengan turun ayat “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan apa yang diperbuat setiap orang di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu dari sebagian yang lain” (Ali Imran: 195).
Di lain waktu, kaum perempuan protes kepada Nabi saw. karena mereka jarang mendapat kesempatan belajar langsung pada Nabi. Nabi pun mengabulkan permintaan mereka, beliau meminta mereka berkumpul di suatu tempat dan Nabi mengajar mereka secara langsung. Ada juga kisah Ummu Nusyaibah, seorang perempuan yang membantu dan membela Nabi di medan perang ketika para sahabat yang lain (laki-laki) mundur.
Masih ada banyak hadis yang menjelaskan tentang perempuan dalam peran yang luas itu. Hadis-hadis itu di antaranya dapat ditemukan dalam sebuah kitab besar berjudul Tahrirul Mar’ah karya Abu Shuqqah berisi lebih dari 1000 hadis tentang perempuan, dan kitab-kitab lainnya.
Kang Faqih sendiri menyusun sebuah kitab berjudul Sittin Adliyah atau 60 hadist sahih yang memuat wahyu dan penghormatan terhadap perempuan, perempuan yang aktif, cerdas, berkiprah di politik, pendidikan, salat di mesjid, hak untuk sejahtera dan lepas dari kekerasan (kitab ini sudah ada versi Bahasa Indonesianya).
Pembahasan Mubadalah secara komprehensif juga telah dituangkan dalam sejumlah buku yang layak menjadi rujukan, seperti Qiraah Mubadalah (2019) dan Perempuan (bukan) Sumber Fitnah (2021). Buku-buku tersebut mengupas dan memaknai kembali hadis-hadis yang dianggap mendiskreditkan perempuan secara lengkap.
Mubadalah adalah sebuah tawaran perspektif dalam memaknai hadis-hadis menjadi lebih adil gender. Mubadalah adalah sebuah ikhtiar. Tentunya, yang utama adalah bagaimana penafsiran ulang tersebut diimplementasikan dalam kehidupan keseharian kita, sehingga tercipta relasi laki-laki dan perempuan yang adil sesuai dengan semangat Al-Quran dan Hadis. Wallahua’lam. []