Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Pandangan ini mudah sekali untuk dipatahkan karena sejarah membuktikan tidak demikian. Dalam berbagai peristiwa, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin mengajak kaum perempuan untuk bermusyawarah tentang berbagai hal.

Ijma' perempuan

Ijma' perempuan

Mubadalah.id – Pendapat yang melarang perempuan menjadi pemimpin juga sering disandarkan pada apa yang diduga sebagai ijma‘ (kesepakatan seluruh ahli agama tentang satu hal pada satu masa tertentu) bahwa pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak ada perempuan yang aktif dalam bidang politik.

Pandangan ini mudah sekali untuk dipatahkan karena sejarah membuktikan tidak demikian. Dalam berbagai peristiwa, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin mengajak kaum perempuan untuk bermusyawarah tentang berbagai hal.

Bahkan dalam peristiwa tertentu Rasulullah menjadikan perempuan sebagai penasihat politiknya, seperti yang terjadi pada peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Nabi meminta saran Ummu Salamah r.a. karena bingung menghadapi para sahabat yang tidak mau menuruti perintah beliau untuk ber-tahallul dari umrah mereka di Hudaibiyah.

Berdasarkan saran Ummu Salamah, tanpa bicara Nabi bertahallul di hadapan para sahabat dengan mencukur rambut dan memotong hewan kurban. Melihat hal ini seluruh sahabat segera ikut bertahallul. Peristiwa ini diabadikan dalam lembaran hadis-hadis sahih.

Sejarah juga mencatat banyak perempuan yang ikut menenteng senjata ikut berperang bersama Nabi, seperti Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, Ummu Sinan, al-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dan lain-lain (lihat Muhanmad Ibrahim Sulaiman, Bunga-Bunga di Taman Hati Rasuullah, terj. As’dd Yasin, Pustaka Mantiq, Solo, h. 201-234).

Khalifah Usman terkenal sering berdiskusi dengan Na’ilah, istrinya, dalam berbagai hal. Khalifah Umar mempercayakan manajemen keuangan pasar Madinah (Pasar Ibukota) pada seorang perempuan bernama al-Syifa’ binti Abdullah.

Aisyah r.a. keluar rumah memimpin pasukan perang dalam peristiwa yang kita kenal dengan Perang Jamal. Dan masih banyak lagi peristiwa yang menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik.

Dengan melihat peristiwa-peristiwa di atas, dapat kita katakan bahwa tidak ada ijma‘ mengenai kepemimpinan perempuan. Sebab, kalau ada ijma‘, pasti tidak akan pernah ada perempuan di panggung politik. []

Exit mobile version