Mubadalah.id – Membicarakan Fikih untuk difabel dengan serius tidak jauh beda dengan membayangkan kehadirannya di tengah realitas masyarakat. Mungkin tidak semua orang gandrung dengan Fikih disabilitas, atau bahkan acuh dengan hal itu. Padahal isu memperjuangkan hak, aksesibilitas, berparadigma positif terhadap penyandang disabilitas adalah keniscayaan.
Alih-alih kehadiran buku Fikih untuk penyandang disabilitas telah tersebar. Apa yang terlintas pada pikiran kita setelah mendengar atau melihat buku Fikih untuk penyandang disabilitas? Ingin mengkritisi, mengimplementasikan, menganalisis, atau hanya cukup dengan ucapan “oalah”.
Hingga detik ini, buku Fikih untuk penyandang disabilitas hanya dapat kita jumpai beberapa macam saja. Seperti karya PBNU dan masjid ramah difabel karya Arif Maftuhin. Selebihnya masih belum menunjukkan eksistensinya.
Bagi non-difabel, sepertinya buku Fikih penyandang disabilitas merupakan hal yang cukup tabu. Hemat saya, ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi hal tersebut.
Pertama, kurangnya kesadaran dan pemahaman terkait hak difabel. Kedua, Pandangan yang bersifat tradisional terhadap difabel, atau masih menganggap penyandang disabilitas sebagai hukum sosial dan budaya secara utuh berbentuk ujian. Ketiga, muncul anggapan Fikih bersifat Universal, sehingga fiqih yang telah final dapat digunakan dengan pukulrata. Keempat, Ketidakterbukaan terhadap isu Inklusifitas.
Asumsi tersebut mungkin memiliki nilai relevansi untuk sebagian golongan dan juga sebaliknya.
RAIN : Cara Baru Berinklusif
Ramadan Inklusi adalah alternatif yang relatif baru dalam rangkaian ” Ngaji KUPI”. Kegiatan tersebut merepresentasikan ruang inklusi pada bulan Ramadan. Dalam rangkaiannya, peserta RAIN saling bertukar perspektif terkait inklusifitas. Dengan menyertakan narasumber yang memiliki otoritas dan teman penyandang disabilitas.
Sementara ini pembahasan inklusifitas bermula dari aspek keadilan hakiki bagi penyandang difabel.
Bu Nur Rofiah merefleksikan keadilan hakiki terhadap difabel dapat dimulai dari akar rumput. Yaitu bagaimana paradigma kia terhadap penyandang disabilitas dalam lingkaran sosial dan budaya.
Kemudian lebih spesifik membicarakan rujukan atau referensi hukum syariat islam, yang dijelaskan dalam buku Fiqih Disabilitas. Pembicaraan berlanjut lebih mengakar, pembahasan selanjutnya mengenai hak-hak difabel dalam syari’at islam. Meninjau hak penyandang disabilitas dengan kacamata beberapa buku yang menjadi rujukan.
Meskipun kegiatan Ramadan Inklusi belum usai secara resmi, akan tetapi dengan eksplisit memberi pesan bahwa forum ini menjadi cikal bakal revitalisasi paham inklusif yang selama ini mengendap pada lembah kegelapan. Selain itu, juga membuka ruang diskusi hingga melahirkan karya dan terobosan baru terkait Fikih penyandang disabilitas.
Prinsip Fikih Disabilitas Perspektif KUPI
Dalam forum RAIN tanggal 19/3/2025 yang bertajuk “Hak-hak Difabel dalam Syari’at Islam” diskusi berjalan hangat ketika berbicara Fikih untuk penyandang Disabilitas. Ning Aida sebagai teman difabel mengutarakan perspektifnya terkait adanya Fikih disabilitas secara empirik.
Baginya buku Fikih Untuk Penyandang Disabilitas karya PBNU cukup mewakili hak-hak difabel dalam hal beribadah, sosial dan beberapa aktifitas teman difabel dalam patuh syari’at. Juga ada buku Masjid ramah difabel milik Arif Maftuhin yang cukup komprehensif membela hak difabel dalam beribadah.
Akan tetapi tidak banyak yang dapat mengakses sumber primer yang menjadi rujukan Fikih disabilitas saat ini. Karena pada dasarnya karya klasik atau kitab kuning. Jadi teman difabel butuh panduan buku Fikih penyandang disabilitas yang cukup praktis.
Namun, Kang Faqih memiliki paradigma baru terhadap Fikih Penyandang Disabilitas. Baginya buku Fikih Penyandang Disabilitas milik PBNU masih mereka rumuskan dalam perspektif Non-Difabel. Artinya masih ada aspek yang belum menjadikan Penyandang Disabilitas sebagai subjek penuh ketika merumuskan karya tersebut.
Tidak lupa dengan Trilogi KUPI-nya. Yang kita kenal dengan Makruf, Mubadalah, dan Keadilan Hakiki. Kang Faqih mencoba merefleksikan trilogi tersebut dengan beberapa prinsip Fiqih Disabilitas
Pertama, Al-Aslu huwa Al-Azimah. Atau mengambil yang pokok dan primer dalam melakukan sesuatu. Prinsip ini menekankan kepada non-difabel agar tidak menetapkan hukum yang bersinggungan dengan hak difabel berdasar perspektif non-difabel itu sendiri. Melainkan menjadikan penyandang disabilitas sebagai subjek utama untuk berijtihad merumuskan hukum yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kedua, At-Taysiir. Agaknya dengan kata tersebut kita sudah tidak asing lagi. at-Taysiir kerap diseminasikan dengan keringanan atau kemudahan. Berbeda dengan hal ini. Yang dimaksud at-Taysiir yakni To anable atau To paveaway. Artinya memberikan kesempatan kepada semua pihak dan memberi jalan dahulu untuk menciptakan fasilitas, memberikan ruang fisik berpendapat dan menentukan aksesnya.
Ketiga, Aadam Al-Haraj. Atau biasa kita kenal dengan tidak adanya kemudharatan yang berpotensi merusak ataupun mengganggu setiap aktifitas. Maksudnya yakni melepaskan segala ikatan kita untuk ikut campur dalam menentukan akses difabel dalam hukum fiqih.
Keempat, Aadam Adh-Dharar. Artinya Memastikan tidak wujudnya bahaya atau sesuatu yang membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks difabel, ia dapat menyesuaikan akses nyamannya tanpa memberatkan dan membahayakan kesehatan.
Dari Utopia ke Harapan Inklusifitas
Utopia merupakan suatu komunitas atau masyarakat khayalan dengan kualitas-kualitas yang sangat didambakan ataupun nyaris sempurna. Cita-cita utopis sering kali memberikan penekanan pada prinsip-prinsip egaliter kesetaraan dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan keadilan.
Sedikit merefleksikan paradigma baru milik kang Faqih sebelumnya. Jika melihat dari prinsip yang telah ia utarakan dengan perspektif KUPI. Fikih disabilitas secara utuh menjadi ringan dan aksesibel karena adanya relasi kesaingan antara non-difabel dengan difabel.
Relasi kesalingan tersebut digambarkan tidak adanya pihak yang sepihak dalam memutuskan hukum pada Fikih. Buktinya, penyandang disabilitas menjadi subjek penuh dengan memberikan kebebasan berijtihad dan menentukan akses difabel yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Kemudian, prinsip-prinsip tersebut agaknya bukanlah hal yang baru dalam dunia Fikih. Artinya butuh penegasan kembali terkait pengaplikasiannya dalam tingkah laku sosial, bukan hanya bayangan yang utopis. Uniknya adalah, perspektif KUPI (Makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki) menjadi arah baru pengaplikasian agar Fikih difabel lebih inklusif.
Fikih penyandang disabilitas adalah “Misi Akbar” semua kalangan. Fikih disabilitas perspektif KUPI bukan hanya tentang memahami hak-hak individu dengan disabilitas dari perspektif hukum Islam, tetapi juga tentang menciptakan masyarakat yang inklusif dan penuh kasih. Islam mengajarkan untuk memperlakukan semua orang dengan adil, tanpa memandang perbedaan fisik atau mental.
Melalui penerapan prinsip-prinsip fikih disabilitas perspektif KUPI, kita dapat mewujudkan kehidupan yang lebih adil, setara, dan inklusif bagi semua anggota masyarakat, termasuk mereka, penyandang disabilitas. Ini bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga bagian dari tanggung jawab sosial kita sebagai umat manusia.
Marilah menjadikan Fikih penyandang disabilitas sebagai salah satu jalan yang inklusif dan mewujudkannya dengan riil bukan hanya sekedar bayangan. []