Mubadalah.id – Jejak perempuan dalam sejarah Islam bukan cerita pinggiran. Sejak masa awal, perempuan menjadi penjaga ilmu, pewaris tradisi, dan penggerak perubahan. Di pesantren, peran itu hidup, meski sering berjalan dalam senyap. Salah satu sosok yang mewakili kekuatan itu adalah Ny. Hj. Hindun Munawwir, atau lebih dikenal sebagai Nyi Hindun.
Namanya memang tidak banyak muncul dalam lembar sejarah. Namun, warisannya hidup dalam ribuan santri putri, dalam lantunan ayat yang dilafalkan dengan tartil, dalam keheningan pengajian pagi yang tak pernah sepi. Nyi Hindun adalah pelita yang menerangi jalan pendidikan perempuan, terutama di Tanah Cirebon, Jawa Barat.
Dibesarkan Ilmu, Dihidupi Adab
Nyi Hindun lahir pada 17 Shafar 1340 H, yang jika dikonversikan melalui aplikasi digital, tanggal tersebut berpotensi bertepatan dengan 19 Oktober 1921. Beliau terlahir di tengah keluarga ulama besar. Nyi Hindun adalah putri sulung dari KH. M. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan Nyai Salimah, seorang perempuan cendekia asal Bantul, Yogyakarta.
Lingkungan keluarganya menjunjung tinggi ilmu dan adab. Belajar Al-Qur’an menjadi bagian dari hidup sejak dini. Nyi Hindun tumbuh dalam atmosfer yang menyatukan tradisi hafalan, pengkajian kitab, dan kedisiplinan dalam beragama.
Kiai Munawwir dikenal luas sebagai ahli qira’at. Beliau mendidik anak-anaknya dengan pendekatan yang mendalam, penuh perhatian, dan sangat ketat dalam hal kesucian ilmu. Nyi Hindun menyerap semua itu bukan hanya lewat hafalan, tetapi juga laku hidup.
Ketika dewasa, Nyi Hindun menikah dengan KH. Yusuf Harun dan menetap di Desa Kempek, Cirebon. Wilayah tersebut juga berkembang dengan akar pesantren yang kuat, karena sang mertua, KH. Harun Abdul Jalil telah mendirikan Pondok Pesantren Kempek sejak tahun 1908. Di tempat inilah Nyi Hindun memulai jejak panjang pengabdiannya bagi pendidikan perempuan.
Menyalakan Obor Ilmu
Pada masa itu, pendidikan pesantren bagi perempuan belum berkembang seperti hari ini. Ruangnya sempit, kesempatannya, barangkali sangat terbatas. Lalu, Nyi Hindun rupanya membaca kekosongan itu dengan hati dan keyakinan. Beliau mulai membuka pengajian untuk santri putri. Bukan di aula besar, melainkan di bilik-bilik kecil yang sederhana.
Setiap Rabu pagi, sekira pukul 08.00 sampai 11.00, Nyi Hindun mengajar kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam Al-Ghazali. Kitab ini berbicara tentang adab, kesalehan, dan dasar-dasar spiritualitas. Pengajiannya bukan sekadar pembacaan teks, tetapi juga penanaman nilai, pembentukan sikap, dan penguatan keimanan.
Santri yang datang pun beragam. Ada gadis-gadis muda, ada pula ibu rumah tangga dari desa sekitar. Semua duduk bersama. Mendengar, mencatat, dan belajar. Dari pengajian sederhana itu, tumbuh keberanian baru. Semangat belajar kemudian menyebar. Perempuan desa mulai aktif mengaji, memahami hukum-hukum agama, dan mengajarkannya kembali.
Peran Nyi Hindun tidak berhenti pada pengajian. Beliau mengembangkan sistem pendidikan yang lebih mapan bagi santri putri. Gagasan itu kemudian melahirkan unit pendidikan khusus bernama Pondok Pesantren Putri Al-Munawwiroh, yang hingga kini terus tumbuh di bawah asuhan putrinya, Ny. Hj. Jazilah Yusuf.
Pesantren ini lantas benar-benar berkembang menjadi ruang penempaan ilmu bagi perempuan. Santrinya belajar Al-Qur’an dengan metode “Qur’an Kempekan”, tradisi khas Pondok Pesantren Kempek yang menekankan pelafalan tajwid, makhraj, dan tartil secara tepat. Di Madrasah Munawwiroh Salafiyah (MMS), para santri juga diajarkan kitab kuning secara klasikal, dari mulai nahwu, sharaf, tauhid, sirah, hingga fikih.
Setiap tahun, pesantren peninggalan Nyi Hindun menyelenggarakan Khotmil Qur’an dan Juz ‘Amma. Kegiatan itu bukan hanya bentuk syukur, tapi juga ajang untuk memperkuat semangat dan ketekunan santri dalam menjaga ilmu.
Teladan Perempuan Menghidupkan Pesantren
Nyi Hindun menjalankan perannya secara utuh. Beliau mendidik, memimpin, dan melayani. Ketekunannya tidak datang dari ambisi. Keteguhannya tidak bersandar pada kekuasaan. Nyi Hindun membangun pesantren dengan nilai, bukan dengan bangunan megah.
Nyi Hindun hadir di tengah santri. Menjadi ibu bagi yang jauh dari rumah. Menjadi guru yang sabar dan lembut. Ketika santri lengah dalam ibadah, ia menegur dengan kasih. Salah satu pesannya yang dikenang hingga kini adalah:
“Nak, shalatlah! Jangan sampai tidak shalat. Karena aku akan mendapatkan kiriman dosa dari kamu yang tidak shalat, karena kamu tidur dan makan di tempatku.”
Kalimat itu terdengar sederhana. Akan tetapi di dalamnya tersimpan kesadaran mendalam, bahwa menjadi pengasuh pesantren bukan sekadar soal pengajaran, tapi tanggung jawab spiritual. Nyi Hindun menjalani amanah itu sepenuh jiwa.
Di tengah masyarakat, Nyi Hindun juga amat dihormati. Beliau tidak banyak bicara di ruang publik, tapi pendapatnya didengar. Nyi Hindun menjadi poros moral yang mengikat masyarakat dengan pesantren. Keteladanan menjadi jalannya. Nyi Hindun mendidik dengan tindakan, bukan tuntutan.
Peran Nyi Hindun mencerminkan kekuatan perempuan dalam Islam. Bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai penggerak. Bukan sebagai objek dakwah, melainkan sebagai penjaga nilai.
Dalam khazanah pesantren, keberadaan perempuan seperti Nyi Hindun menjadi tonggak penting. Perempuan pesantren tidak hanya belajar, tetapi juga mengajar. Tidak cuma menerima, tetapi juga mewariskan. Di tangan mereka, ilmu tidak berhenti. Ia mengalir, menjalar, dan menghidupi.
Pergi dalam Doa, Hidup dalam Warisan
Pada tahun 1975, Nyi Hindun berangkat menunaikan ibadah haji. Di Arafah, saat wukuf, beliau wafat. Hari itu adalah 8 Dzulhijjah 1395 H atau 12 Desember 1975 M.
Wafat di Tanah Suci pada waktu mustajab adalah anugerah luar biasa. Sebuah akhir yang layak bagi perempuan yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan pengabdian.
Sepeninggalnya, pesantren putri yang ia rintis terus hidup. Santri terus berdatangan. Tradisi Qur’an Kempekan terus dilanjutkan. Para lulusan Al-Munawwiroh kini tersebar ke berbagai wilayah. Mereka mengajar di langgar, mengasuh majelis taklim, membina keluarga, dan mendirikan lembaga pendidikan dengan semangat serupa.
Nyi Hindun telah tiada, tetapi semangatnya abadi. Beliau meninggalkan warisan yang tak tertulis di batu, tetapi tertanam di hati. Nyi Hindun membuktikan bahwa ketangguhan perempuan tidak harus bising. Cukup dengan ketekunan, cinta, dan keberanian untuk menjaga cahaya ilmu tetap menyala.
Nyi Hindun adalah potret perempuan pesantren yang mengajarkan makna kekuatan dalam kesunyian. Beliau berdiri tanpa pamrih, berjalan tanpa mengeluh, dan memberi tanpa meminta balasan. Dari bilik kecil di Kempek, Nyi Hindun menghidupkan cahaya. Cahaya itu kini menjalar, menuntun generasi baru perempuan untuk berdiri tegak bersama ilmu. Wallāhu a‘lam bis-shawāb. []