Mubadalah.id – Perempuan sebagai salah satu kelompok rentan telah menjadi isu yang secara terus-menerus dibahas dan dikaji. Kerentanan perempuan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya budaya. Budaya yang dikonstruksi secara terus-menerus memberikan porsi yang tidak seimbang terhadap kedudukan perempuan.
Berkat perjuangan dari para pejuang perempuan, peran-peran yang sebelumnya tidak bisa diperankan perempuan akhirnya bisa diperankan perempuan. Selain itu, kebebasan perempuan dalam mengakses pendidikan dan berkarir juga mulai terwujud.
Namun, terwujudnya beberapa cita-cita perempuan dalam kebebasan berpendidikan dan berkarir juga tidak menghapus semua penderitaan yang dialami. Perempuan dalam hari-harinya masih menerima stigma negatif dari masyarakat. Hal tersebut adalah bukti bahwa masih ada peminggiran dan diskriminasi yang dialami perempuan.
Stigma adalah sebuah usaha untuk memberikan suatu label sebagai sekelompok orang yang kurang patut untuk dihormati. Stigma ini memicu seseorang yang mendapatkannya mengalami diskriminasi akibat dari label yang diproduksi.
Tulisan ini akan berfokus mengulas mengenai stigma yang diterima perempuan yang berperan sebagai ibu. Tulisan ini bersumber dari wawancara terhadap dua ibu rumah tangga dan dua ibu bekerja. Budaya yang dikonstruksi selama ini bahwa ibu adalah sosok penanggung jawab utama pengasuhan, sehingga, segala sesuatu yang berkaitan dengan pengasuhan dianggap harus dikerjakan oleh ibu.
Realitasnya, ibu di zaman sekarang tidak hanya melulu menjadi ibu rumah tangga. Beberapa perempuan, memilih menjadi ibu bekerja atau berkarier. Nah, dalam posisi yang demikian penulis mengajak pembaca untuk melihat stigma apa saja yang muncul dan diterima oleh seorang ibu. sebab, ternyata pada zaman sekarang seorang ibu rumah tangga maupun bekerja juga sama-sama mendapatkan stigma. Berikut stigma-stigma yang diberikan kepada ibu rumah tangga dan ibu bekerja:
Pertama, “katanya sarjana, kok cuma jadi fulltime mom”. Anggapan bahwa memiliki pendidikan tinggi itu tidak pantas hanya menjadi ibu rumah tangga masih melekat kuat dalam pikiran masyarakat umum. Anggapan yang masih melekat seperti membuang-buang uang, menghabiskan waktu untuk sekolah, tetapi berujung tidak berguna karena hanya menjadi ibu rumah tangga. Padahal, seorang ibu sangat memerlukan pengetahuan yang luas dan terbuka untuk menjadi ibu yang berhasil menjadi pendidik bagi anak-anaknya dan istri cerdas untuk suaminya.
Kedua, “kerjaan ibu rumah tangga emang hanya menghabiskan uang suami”. Pandangan bahwa seorang ibu rumah tangga hanya bekerja di rumah dan memiliki banyak waktu yang terbuang sia-sia atau tidak produktif juga bagian dorongan lahirnya stigma di atas. Menjadi ibu rumah tangga padahal bukan hal yang sederhana, karena mereka cenderung bekerja 24 jam mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Ketiga, “ibu yang bekerja tidak memiliki waktu untuk mendidik anak”. Kali ini, stigma tersebut disematkan untuk ibu yang bekerja. Mereka dianggap tidak memiliki waktu untuk mendidik anak, sehingga anaknya akan cenderung mendapatkan pendidikan yang tidak maksimal. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh anggapan bahwa ibu memiliki tugas utama dalam mendidik.
Padahal pendidikan anak harus berasal dari ibu dan ayah secara seimbang sehingga membentuk anak dengan maksimal. Pada beberapa pernyataan ibu yang bekerja, mereka memiliki upaya untuk membagi waktu sebaik mungkin agar bisa menjalani peran-perannya secara maksimal. Artinya, ibu yang bekerja tidak secara serta merta meninggalkan tugasnya mendidik anak.
Keempat, “Wah, enaknya jadi wanita karir, anaknya dititipkan nenek, jadilah anak nenek”. Stigma ini benar-benar memberikan efek terhadap kondisi psikologis seorang ibu. Hal tersebut memicu ibu merasa tidak berhasil menjadi seorang ibu. Stigma tersebut terus diproduksi dan diterima oleh ibu serta memberikan dampak negatif terhadap kondisi ibu.
Stigma-stigma yang diuraikan diatas mengantarkan kita semua untuk merenungi penderitaan yang dialami oleh perempuan, khususnya ibu, karena secara kodrat telah memiliki sejarah perjuangan yang tidak bisa digantikan. Perjuangan melahirkan dan menyusui serta melewati masa-masa sulit yang lain.
Akan tetapi kenapa masih ditambah dengan penderitaan yang lain. Maka sudah seharusnya, pemikiran tentang sosok ibu dalam konstruksi budaya yang membahayakan kondisi ibu perlu diperjuangkan, meski pelan-pelan. Tulisan ini semoga mampu membuka pikiran pembaca mengenai kekejaman konstruksi budaya yang terbangun untuk sosok ibu dan berhasil menggerakkan hati para pembaca sekalian. []