Mubadalah.id – Konsep noble silence sebetulnya telah dijelaskan di Al-Qur’an secara implisit melalui kisah para Nabi dan Rasul. Dalam tulisan sebelumnya, saya telah menuliskan refleksi atas shirah nabawiyah pada Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Yunus AS.
Tentu sebenarnya, Al-Qur’an menyimpan lebih banyak kisah mengenai noble silence. Dan menurut saya, seluruh Nabi dan Rasul pasti melalui keheningan mulia dalam hidupnya.
Keheningan mulia atau konsep noble silence banyak dikaitkan dengan perjalanan spiritual para utusan Allah. Sehingga, sebagai sesama manusia tentunya noble silence dapat kita lakukan merujuk pada apa yang Nabi dan Rasul Allah lakukan.
Nabi Musa A.S: Noble Silence di Gunung Sinai
Dalam surah Al-A’raf ayat 143, Al-Qur’an menjelaskan mengenai kisah Nabi Musa A.S yang menerima wahyu untuk pertama kalinya di gunung Sinai. Ayat tersebut berbunyi:
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
Asbabun nuzul ayat tersebut menceritakan bagaimana Nabi Musa A.S menerima wahyu untuk pertama kalinya. Nabi Musa A.S memiliki kehormatan berbicara langsung dengan Allah, ia ingin mendapatkan kehormatan lebih besar yaitu melihat Allah secara langsung. Namun Allah menjelaskan bahwa manusia, termasuk Musa, tidak akan sanggup melihat-Nya karena keagungan-Nya terlalu luar biasa.
Sebagai bukti, Allah menampakkan diri-Nya kepada sebuah gunung, dan gunung itu hancur karena tidak kuat menahan keagungan tersebut. Setelah melihat hal itu dan sadar atas permintaannya yang melebihi batas, Nabi Musa AS pun bertaubat dan menyatakan bahwa ia adalah orang pertama dari kaumnya yang beriman kepada Allah.
Saya berefleksi bagaimana kemudian ayat tersebut menjelaskan noble silence secara tidak langsung. Nabi Musa A.S berada pada gunung Sinai seorang diri. Saat berbincang dengan Allah, tentu saat itulah noble silence sedang terjadi.
Selama 40 hari 40 malam, Nabi Musa AS berada di atas gunung untuk menerima wahyu dari Allah. Selama waktu itu, beliau berpuasa dan bermunajat kepada Allah. Melalui kesunyian dan kesendirian itulah, terjadi hubungan yang sangat dalam antara Nabi Musa A.S dan Allah.
Nabi Zakaria A.S: Noble Silence Sebagai Mu’jizat
Begitu takjub ketika saya menyadari bahwa salah satu bentuk mu’jizat Nabi Zakaria A.S ialah tidak berbicara selama tiga hari. Jika pada kisah nabi-nabi sebelumnya, noble silence terkisahkan secara implisit. Maka, pada shirah nabawiyah Nabi Zakariya, justru noble silence dijelaskan secara eksplist dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 41, yang berbunyi:
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّيْٓ اٰيَةًۗ قَالَ اٰيَتُكَ اَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ اِلَّا رَمْزًاۗ وَاذْكُرْ رَّبَّكَ كَثِيْرًا وَّسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْاِبْكَارِࣖ
Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda (kehamilan istriku).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu adalah engkau tidak (dapat) berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi hari.”
Dalam tafsir tahlili, ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Zakaria A.S bertanya kepada Allah karena ia sangat gembira dan ingin segera merasakan kebahagiaan atas kabar akan memiliki anak, bahkan sebelum anak itu lahir.
Lalu Allah memberi tanda bahwa istrinya benar-benar hamil, yaitu Nabi Zakaria A.S tidak bisa berbicara dengan orang lain selama tiga hari, kecuali dengan menggunakan isyarat seperti tangan atau gerakan kepala. Selama waktu itu, Allah memintanya untuk memperbanyak zikir dan tasbih (mengingat dan memuji Allah). Hal ini sebagai bentuk syukur yang sungguh-sungguh atas nikmat besar yang Allah berikan kepadanya.
Dari shirah tersebut dapat kita ambil hikmah, bahwa Allah meminta Nabi Zakaria A.S untuk melakukan noble silence dengan memperbanyak dzikir dan tasbih. Hal itu semua sebagai bagian dari rasa syukur. Sebagai manusia biasa, kita juga dapat meneladani kisah beliau dengan cara melakukan hal yang sama. Yaitu, tidak banyak berbicara serta memperbanyak dzikir dan tasbih sebagai bentuk syukur kita atas sgela nikmat di dunia ini.
Rasulullah Muhammad SAW: Gua Hira Sebagai Saksi Noble Silence
Ketika kita membicarakan mengenai kisah hidup Rasulullah SAW, sebetulnya kita tidak asing dengan kisah beliau di Gua Hira. Gua Hira adalah tempat Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah yang pertama kalinya melalui malaikat Jibril. Peristiwa turunnya ayat-ayat yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad disebutkan di beberapa hadits sahih, di antaranya al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad.
Sejak muda, Nabi Muhammad sudah terbiasa merenung dan berpikir mendalam. Beliau sering memikirkan apa itu kebenaran dan juga keadaan masyarakat di sekitarnya. Untuk itu, beliau lebih suka menyendiri di tempat yang tenang dan jauh dari keramaian.
Setiap bulan Ramadan, Nabi Muhammad biasa pergi ke Gua Hira. Di sana, beliau berdiam diri hanya dengan membawa bekal secukupnya. Selama di gua, beliau beribadah dan merenung, menjauh dari kesibukan dunia dan suara orang-orang. Tujuan beliau untuk mencari kebenaran.
Kebiasaan tersebut terus beliau lakukan, sampai pada suatu hari terjadi peristiwa besar. Tiba-tiba datang malaikat yang membawa wahyu dari Allah. Malaikat itu berkata, “Bacalah!” Nabi Muhammad menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Malaikat kemudian memeluk dan mengguncang Nabi hingga beliau merasa sangat lelah.
Hal ini terjadi tiga kali. Setelah itu, Nabi bisa mengikuti ucapan malaikat, yaitu ayat pertama dari surat Al-‘Alaq. Pada tanggal 17 Ramadhan tersebut, Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu yaitu surah Al-Alaq ayat 1-5.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١) خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤) عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Berdasarkan shirah tersebut, Rasulullah selalu istiqomah dalam menerapkan noble silence. Kesediaan beliau untuk menyepi dari dunia yang ramai mengajarkan kita bahwa ketenangan sering lahir dari kesendirian yang berkualitas. Dalam noble silence, Rasulullah selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
Refleksi atas Noble Silence dalam Al-Qur’an
Kita hidup di zaman yang penuh kebisingan informasi. Kadang, kita juga terlalu sibuk bicara, menyimpulkan, dan terlalu reaktif terhadap keadaan. Padahal, belajar dari Rasulullah, ada saatnya kita perlu menarik diri sejenak, mengosongkan pikiran dari hiruk pikuk dunia. Kemudian kita dapat bertanya pada diri sendiri: Apa yang benar?
Apa yang Allah kehendaki dari hidup ini? Saya berefleksi bahwa noble silence adalah ruang untuk membangun koneksi yang jernih dengan diri sendiri dan dengan Allah. Kalam Allah memberikan pengajaran kepada kita bahwa dengan memperbanyak mengingat Allah dalam keheningan akan mendekatkan kita kepada Sang Khaliq. Wallahu a’lam bishshawab. []