• Login
  • Register
Sabtu, 24 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Meninjau Ulang Istilah Independent Woman vs Pria Mapan, Relevankah?

Kesalingan akan membantu kita memahami pasangan, alih-alih terus menuntut atau mengejar kesetaraan.

Kholifah Rahmawati Kholifah Rahmawati
12/12/2024
in Personal, Rekomendasi
0
independent woman

independent woman

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Akhir-akhir ini topik tentang independent woman menjadi bahasan yang sering muncul dan cukup memancing pro-kontra di media sosial. Masih ingat kasus prilly, yang mendapat banyak cibiran dan kritikan dari netizen akibat pernyataannya?

Kritik ini muncul setelah dalam pernyataanya ia seakan-akan mengcompare antara independent women vs pria mapan. Mulai dari sana munculah beragam argumen di media sosial baik dari pov laki-laki, maupun pov perempuan yang seringkali saling menjatuhkan, menyalahkan dan membela diri.

Feminisme, Emansipasi, dan Independent Woman

Feminisme yang muncul setelah masa revolusi industri telah membuka pikiran banyak perempuan, mengadvokasi mereka yang semula berada pada sub kelas kedua untuk mendapatkan hak dan posisi yang setara dengan laki-laki.

Paham ini pada akhirnya menuntun dunia pada arus emansipasi yang memberikan lebih banyak hak, ruang dan daya bagi perempuan. Perempuan tidak lagi terkungkung ranah domestik dan mulai menempati sektor-sektor penting di ranah publik.

Perempuan yang semula hanya diam di rumah, bergantung pada laki-laki (ayah, suami) kini mampu berdaya, berkarya dan menentukan hidupnya sendiri. Mereka tentunya juga memiliki kemandirian finansial yang lebih baik dari sebelumnya.

Baca Juga:

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

Jalan Mandiri Pernikahan

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

Dari sanalah argumentasi independent woman mulai terbangun. Dapat kita katakan bahwa independent woman merupakan produk dari emansipasi itu sendiri. Meskipun dalam praktiknya kata “independent” tersebut masih sebatas dalam aspek ekonomi. Masih banyak hal lain yang membatasi perempuan (Objektifikasi dan stigmatisasi misalnya)

Kemandirian vs Kemapanan

Untuk membahas problem ini lebih lanjut, ada baiknya kita mengclearkan terlebih dahulu makna kemandirian dan kemapanan. Kemandirian adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri, mengambil keputusan serta tidak bergantung pada orang lain.

Kemandirian menjadi hal yang sangat mendasar dalam proses hidup. Oleh karena itu, kemandirian sudah sepantasnya dimiliki setiap orang yang beranjak dewasa, terlepas dari apapun gender dan status sosialnya.

Sedangkan kemapanan adalah, keadaan stabil (dalam konteks ini secara finansial) untuk mampu menghadapi berbagai macam perubahan dan tantangan. Dalam hal ini bayak faktor yang mempengaruhi tingkat kemapanan seseorang (kesempatan, kebutuhan, tanggungan), juga tidak ada patokan pasti yang menjadi tolak ukurnya. Sehingga dapat kita katakan kemapanan ini adalah sesuatu yang abstrak dan subjektif.

Maka tidak heran jika kemudian muncul statement “Penghasilan 3 juta bagi perempuan dianggap sukses, dan 3 juta untuk pria dianggap belum mapan”. Ini karena kesempatan, kebutuhan dan tanggungan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem sosial kita yang sangat berbeda.

Laki-laki mungkin harus menanggung keluarganya, sedangkan perempuan tidak. Dalam suatu pekerjaan mungkin laki-laki lebih banyak memiliki kesempatan, sedangkan perempuan tidak. Belum lagi bagi mereka yang masih terjerat sandwich generation, ini akan menjadi hal yang lebih kompleks.

Problem di sini adalah ketika kemandirian dan kemapanan yang merupakan dua hal berbeda dikomparasikan dengan menyinggung isu gender. Pada akhirnya, pemahaman yang tidak tuntas terhadap kedua istilah tersebut akan memunculkan narasi konfrontatif yang berlandaskan ego semata. Baik dari sudut pandang laki-laki maupun sudut pandang perempuan.

Peran Public Figure dan Influencer

Seiring menguatnya isu kesetaraan gender di tengah masyarakat modern, mulai bermunculanlah para publik figur dan influencer yang membuat konten maupun statement tentang relationship antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menjadi semakin marak, banyak konten kreator yang mengikutinya serta menjadi bahan konsumsi secara luas oleh masyarakat.

Memang tidak ada yang salah, dan hal ini merupakan fenomena yang positif untuk ikut menyebarkan nilai-nilai keadilan gender di tengah masyarakat dan mengikis sistem patriarki yang sudah mengakar. Hanya saja, tidak semua orang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut secara bijak dan proporsional.

Banyak dari konten-konten kreator yang menjelaskan konsep relationship hanya berdasarkan pengalaman pribadi dan stigma-stigma sepihak yang digeneralisir. Tanpa memahami esensi dari feminisme, kesetaraan ataupun relationship itu sendiri. 

Fenomena tersebut memunculkan standar-standar baru dalam relationship yang bias, tidak relevan dan jauh dari konsep kesalingan (sering kita sebut: standar tik-t*k). Pada akhirnya hal ini memicu munculnya narasi-narasi konfrontatif berbasis man hater/woman hater yang berujung pada perpecahan antara laki-laki dan perempuan. 

Komparasi dan Kompetisi

Sadarkah kita, bahwa akibat fenomena di atas, dunia relationship antara laki-laki dan perempuan terasa semakin toxic? Orang-orang mulai membuat komparasi yang tidak relevan seperti independent women vs pria mapan, membandingkan pasangan dengan orang lain, atau menjadikan beberapa publik figur di medsos sebagai tolak ukur idealnya sebuah hubungan. 

Apa dampaknya? Kita menjadi ragu, tidak puas, kecewa dan lebih banyak menuntut pasangan agar sesuai dengan ekspektasi kita. Sedangkan pasangan yang mulai merasakan perubahan terhadap sikap kita akan merasa minder, tidak dihargai, dan mulai melakukan perlawanan dengan hal-hal negatif (perselingkuhan, kekerasan dsb). Standar yang tidak relevan, membuat kita selalu mengejar ekspektasi tanpa mau berusaha memahami keadaan.

Tidak hanya itu, komparasi yang tidak sehat ini pada akhirnya akan memunculkan kompetisi antara laki-laki dan perempuan. Dalam ranah publik misalnya, standar financial yang tinggi membuat laki-laki dan perempuan saling berlomba dalam karir agar bisa diakui mapan atau independent. Pada akhirnya ketika menjalin sebuah hubungan, pola yang terbentuk adalah keinginan untuk saling mendominasi.

Kesetaraan atau Kesalingan

Asas kesetaraan gender yang diperjuangkan banyak orang memang telah membawa dampak positif, khususnya bagi perempuan. Asas ini membantu perempuan mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia utuh. Kesetaraan gender juga menjadi gerbang pembuka bagi perempuan untuk mampu berkiprah di ranah publik.

Upaya penyetaraan dalam sistem sosial, sedikit banyak memang berhasil terwujudkan. Namun penyetaraan dalam aspek relasional nampaknya perlu sekali lagi kita renungkan. Apakah asas kesetaraan ini perlu kita utamakan, atau adakah asas lain yang lebih signifikan?

Dalam sebuah hubungan yang mengikat laki-laki dan perempuan, kita menyadari bahwa keduanya datang dari latar belakang yang berbeda (ekonomi, pendidikan, keluarga, lingkungan).

Menuntut keduanya untuk bisa setara dalam segala hal, nampaknya akan sangat sulit tercapai. Salah satu pasti ada yang mendominasi dalam suatu aspek, namun subordinat pada aspek lain. Misal seorang suami unggul dalam karir, namun kalah dalam hal pendidikan dari istrinya.

Memang setara tidak harus sama, namun setara menuntut adanya indikator-indikator kesamaan. Maka dalam hal ini, perlu kita ketengahkan satu asas lagi yakni asas kesalingan. Kesalingan akan membantu kita memahami pasangan, alih-alih terus menuntut atau mengejar kesetaraan. Saat setara mengharuskan adanya fifty-fifty dalam relasi, maka kesalingan berorientasi pada goal (100%) berapapun presentase yang membentuknya.

Jadi menurut hemat penulis, akan lebih baik mengutamakan kesalingan dalam sebuah hubungan, yang dalam bahasa qur’anya disyaratkan dengan kalimat “hunna libasu lakum, wa antum libasu lahun”. Adapun asas kesetaraan hanyalah sebuah alat kontrol, agar kesenjangan yang muncul tidak terlalu besar dan memunculkan hegemoni.

Dengan begitu, tidak perlu lagi kiranya ada narasi-narasi yang mengkomparasikan pencapaian atau kapabilitas antara laki-laki dan perempuan, seperti “independent woman vs pria mapan”. Karena dalam sebuah relasi keduanya seharusnya saling bersinergi, bukan berlomba menunjukan eksistensi, dengan dalih mencari yang setara. []

Tags: GenderIndependent WomanKesalinganKesetaraanLaki-laki MapanPrilly LatuconsinaRelasi
Kholifah Rahmawati

Kholifah Rahmawati

Alumni UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan dan Mahasiswa di UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Peserta Akademi Mubadalah Muda 2023. Bisa disapa melalui instagram @kholifahrahma3

Terkait Posts

Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Narasi Gender dalam Islam

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

22 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Jalan Mandiri Pernikahan

Jalan Mandiri Pernikahan

22 Mei 2025
Age Gap

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

22 Mei 2025
Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version