• Login
  • Register
Selasa, 22 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik

Apakah harapan akan pesantren yang inklusif dapat mewujud? Publik menunggu beriring doa dalam rukuk dan sujud!

M. Khoirul Imamil M M. Khoirul Imamil M
22/07/2025
in Publik
0
Pesantren Inklusif

Pesantren Inklusif

816
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Juni lalu, publik Indonesia untuk kesekian kalinya mendengar kabar tentang praktik eksploitasi anak yang terjadi di dalam institusi pesantren. Kasus tersebut terjadi di salah sebuah di daerah Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Tak kurang dari 13 santri putri menjadi korban kekerasan seksual oleh pimpinan pesantrennya.

Sementara, pada bulan April sebelumnya, sejumlah santri putra di Tulungagung, Jawa Timur juga mengalami tindak pelecehan seksual. Mirisnya, para korban masih berada di rentang usia yang sangat belia, yakni 8-14 tahun.

Tak heran bila hasil riset UNICEF bersama Pusat Kajian dan Advokasi (PUSKAPA) Universitas Indonesia menemukan lebih dari separuh jumlah santri di Indonesia mengaku pernah mengalami tindakan kekerasan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan dalam catatan Kaleidoskop 2024 merinci 114 kasus kekerasan di pondok pesantren.

Citra buruk dalam selimut suci

Maraknya berbagai kasus eksploitatif yang berlangsung di balik “institusi suci” pesantren jelas kian meneguhkan citra buruk lembaga pendidikan ini. Padahal, selama ini publik menggadang-gadang pesantren selaku benteng bagi tunas-tunas bangsa.

Di tengah derasnya arus disrupsi zaman, kita mengharapkan pesantren inklusif dapat mengemuka sebagai produsen generasi unggul yang berwawasan global lagi berjiwa spiritual. Namun, seolah jauh api dari panggang, realita yang terjadi justru membuat berang banyak kalangan.

Baca Juga:

Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

Masjid Inklusif adalah Kebutuhan Bersama

Membayangkan Fikih Disabilitas Perspektif KUPI

Perempuan dari Ujung Timur Jawa yang Inklusif Terhadap Difabel

Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam yang eksklusif, pesantren belum mampu menjamin keamanan para santrinya. Alih-alih berintrospeksi dan memperbaiki diri, serangkaian borok dan bobrok internalnya justru makin sering tersingkap ke hadapan publik.

Karenanya, mau tak mau, pesantren mesti membereskan “urusan dapurnya” terlebih dahulu. Segala bentuk tindakan eksploitatif yang berlangsung, baik yang telah terdeteksi maupun yang masih terjadi secara sembunyi-sembunyi, semestinya diberantas hingga ke akar-akarnya.

Urgensi transparansi dan transformasi

Sejatinya, sejak tahun 2022 lalu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, telah mengingatkan pentingnya transparansi dan transformasi. Waryono secara khsusus menyorot berbagai permasalahan kekerasan, perundungan, serta eksploitasi yang selama ini acap terjadi.

Menurutnya, hanya dengan berbekal komitmen nyata untuk bersikap transparan dan protektif itulah pesantren dapat terus mengemban amanah dan kepercayaan publik. Yakni sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi bangsa yang berkualitas di masa depan. 

Selaras dengan peringatan Direktur PD Pontren tersebut, beberapa pesantren telah dengan sadar membuka diri. Mereka berkolaborasi dengan pihak eksternal untuk meningkatkan kapasitasnya dalam upaya perlindungan terhadap para santri dan warganya.

Sebagai misal, Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan, mendeklarasikan dirinya sebagai “Pesantren Ramah Anak”. Tagline tersebut menunjukkan keberpihakan dan keseriusannya dalam mencegah berbagai tindakan eksploitatif.

Berbekal fasilitasi oleh UNICEF, beberapa pengajar mendapatkan pelatihan intensif. Mereka berkolaborasi untuk mewujudkan institusi pendidikan keagamaan sebagai rumah bersama yang aman dari segala bentuk bayang-bayang eksploitasi. 

Kolaborasi dan tidak antikritik

Pesantren Sultan Hasanuddin merupakan salah satu contoh positif yang berani bersikap lebih terbuka. Keterbukaan untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak eksternal merupakan kunci utama untuk mewujudkan inklusivitas untuk semua.

Keterbukaan untuk kolaborasi tidak lantas mengurangi independensi manajemen urusan dapurnya. Sebaliknya, melalui kolaborasi dengan pihak eksternal, pesantren secara sadar telah mengambil partisipasi aktif dalam menyerap aspirasi publik.

Harapannya, kolaborasi tersebut dapat menghasilkan solusi konkrit terhadap permasalahan yang selama ini berlangsung. Tak ada lagi sekat pemisah dengan masyarakat yang kerap menjadikan pesantren teralienasi dari laju dinamika zaman.

Bukankah kita semua menghendaki dinamisasi pesantren inklusif ke arah yang lebih baik? 

Ketidakraguan untuk melempar oto-kritik juga merupakan salah satu upaya untuk mampu berbenah dan lantas berubah. Lagi pula, pesantren tak boleh antikritik yang sejatinya justru memberikan input positif bagi perbaikan kedepan.

Pesantren sebagai institusi pendidikan jelas tak hanya bertanggung jawab terhadap aktivitas transmisi keilmuan religius, mencetak mubaligh, atau menghasilkan mutakharrijin yang alim allamah semata. Ada tugas pokok lain yang tak kalah vital, yakni memperbaiki institusinya sendiri.

Pengelola (kyai, gus, ajengan, ning) semestinya secara kolaboratif mau saling belajar sistem manajemen institusi yang lebih baik. Aktivitas semacam lokakarya, workshop, pelatihan, seminar dan sejenisnya harus meningkat intensitasnya.

Selama ini, salah satu tantangan terbesar dunia pesantren ialah penyatupaduan dan sinergi dalam semangat ta’awun fil birri wa at-taqwa—sekalipun ini kerap digaungkan.

Tidak mengecewakan publik

Kiranya, kita layak bersyukur, bahwa masih bersisa sekelompok masyarakat yang menaruh kepercayaan. Namun, tentu kepercayaan ini tidak boleh menjadi kesia-siaan, apalagi pengkhianatan.

Di balik rasa percaya itu, sejujurnya publik tengah menantikan lahirnya transformasi-transformasi konkrit. Apabila Pesantren Hasanuddin telah sukses mengadopsi inklusivitas, tentu bukan hal mustahil bila kesuksesan serupa dapat membiak ke segenap pesantren di nusantara.

Namun, semua kembali kepada para pengelolanya sendiri. Selagi mereka masih terus berkecimpung dalam kolam sakralitas, patronase, dan hierarki struktural, selamanya inklusivitas itu akan sulit bertumbuh kembang. 

Sebagai pamungkas, ungkapan Alexandre Dumas dalam The Count of Monte Cristo bahwa hidup adalah berpacu antara hope dan wait bisa kita insafi bersama. Apakah harapan akan pesantren yang inklusif dapat mewujud? Publik menunggu beriring doa dalam rukuk dan sujud! []

 

Tags: betahdipesantrenDunia PesantrenInklusifPesantren Inklusif
M. Khoirul Imamil M

M. Khoirul Imamil M

Pernah nekat menggelandang sepanjang Olomouc-Bratislava-Wina-Trier-Luksemburg.

Terkait Posts

Perselingkuhan

Perselingkuhan, Nikah Siri dan Sexually Discipline

22 Juli 2025
Mazmur

Mazmur dan Suara Alam: Ketika Bumi Menjadi Mitra dalam Memuji Tuhan

21 Juli 2025
Erika Carlina

Dari Erika Carlina Kita Belajar Mendengarkan Tanpa Menghakimi

21 Juli 2025
Tren S-Line

Tren S-Line: Ketika Aib Bukan Lagi Aib

21 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

20 Juli 2025
Yamal

Yamal, Mari Sadar!

19 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • properti keluarga

    Ketika Properti Keluarga Menjadi Sumber Ketidakadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menguatkan Praktik Sharing Properti Keluarga di Tengah Budaya Patriarki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Sibling Rivalry dalam Rumah: Saudara Kandung, Tapi Rasa Rival?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Difabel dalam Narasi Film Sore: Istri dari Masa Depan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perselingkuhan, Nikah Siri dan Sexually Discipline

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menuju Pesantren Inklusif: Sebuah Oto-kritik
  • Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Saling Mengenal, Bukan Saling Merendahkan
  • Fenomena Sibling Rivalry dalam Rumah: Saudara Kandung, Tapi Rasa Rival?
  • Menguatkan Praktik Sharing Properti Keluarga di Tengah Budaya Patriarki
  • Refleksi Difabel dalam Narasi Film Sore: Istri dari Masa Depan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID