Mubadalah.id – Dalam buku berjudul “Seksualitas dan Interaksi: Pendidikan dari perspektif Al-Qur’an dan Sunnah,” oleh Prof. Quraish Shihab mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mengendalikan nafsu dan menghindari keadaan deperesi ialah mengaitkan seks dengan jiwa, yang antara lain melalui perhatian dan pengamalan nilai-nilai agama.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam juga berbicara mengenai seksualitas. Ayat-ayat mengenai seks dan seksualitas bukanlah ayat yang sulit untuk ditemukan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Pada sisi yang lain, umat Islam perlu memahami AL-Qur’an berapapun usianya baik dari kalangan anak-anak hingga orang lanjut usia. Jika Al-Qur’an berbicara mengenai seksualitas, lalu bagaimana sikap kita terhadap anak-anak ketika menemukan ayat-ayat tersebut?
Maka, bukan berarti kita sebagai ornag dewasa hanya diam dan tidak menjelaskan atau membiarkan anak-anak mencari informasi sendiri tanpa pendampingan. Bagaimana jika anak-anak menemukan informasi dari pihak yang tidak bertanggungjawab? Hal tersebut akan membahayakan anak-anak, sehingga anak-anak perlu mendaptkan pendampingan tentang pengarahan pendidikan seksualitas.
Al-Qur’an, Manusia, dan Seks
Penjelasan Al-Qur’an mengenai seksualitas berawal dari ayat yang menyampaikan mengenai perencanaan Tuhan dalam menciptakan pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30). Pada ayat tersebut, banyak ulama yang menarik pelajaran seperti Ulama besar Thahir bin ‘Asyur yang mengeaskan bahwa penyampaian pada ayat tersebut memiliki tujuan sebagai pelajaran untuk menyatukan substansi sesuatu bersamaan dengan upaya mewujudkan sesuatu itu.
Maksudnya, penciptaan Nabi Adam AS memiliki nilai tersirat dengan tujuan sebagai pemimpin (khalifah). Dengan kata lain, penyebutan tujuan penciptaan (menjadikan manusia sebagai khalifah) dimaksudkan sebagai pengajaran untuk manusia agar meneladani Tuhan sesuai dengan kemampuannya dalam seluruh kegiatannya.
Dalam proses pembuahan melalui hubungan seksual, manusia dianjurkan untuk melakukannya dengan niat yang tulus, disertai kesadaran kepada Allah, serta harapan untuk dikaruniai keturunan yang salih dan salihah.
Menurut Prof. Quraish Shihab, baik Al-Qur’an maupun sunnah tidak menganggap seks sebagai sesuatu yang tercela atau terlarang. Sebaliknya, keduanya memberikan pedoman yang bertujuan untuk menciptakan ketenangan, kebahagiaan, dan keharmonisan dalam kehidupan.
Penjelasan Al-Qur’an dalam Proses Pembentukan Manusia
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai seksualitas adalah ayat mengenai penciptaan manusia. Pada QS. Al-Qiyamah [75]: 37 menjelaskan tentang mani atau sperma, kemudian QS. Al-Mu’minun [23]: 14 yang menjelaskan mengenai proses pertemuan antara sperma dan sel telur hingga menjadi janin.
Dalam QS. Al-Mu’minun sendiri, penjelasan penciptaan manusia bukan hanya sekedar menceritakan proses terciptanya manusia. Namun, bagaimana akhir tahapan penciptaan yang berupa peniupan roh ilahi yang menjadikan manusia memiliki sifat-sifat yang berbeda dari makhluk lainnya.
Adapun manusia sejak lahir hingga dewasa memiliki kebutuhan atau naluri seksual yang sama pentingnya dengan kebutuhan seperti makan. Namun, perlu untuk dipahami bahwa terdapat perbedaan antara kebutuhan makan dan seks. Jika kebutuhan seks tidak terpenuhi dalam waktu yang lama, maka tidak akan membahayakan fisik seseorang atau menyebabkan terjadinya gangguan kejiwaan. Hal tersebut berbeda dengan kebutuhan makan yang jika tidak dipenuhi dalam beberapa waktu akan mengakibatkan bahaya pada fisik.
Dalam bukunya, Prof. Quraish menuliskan, “Islam memandang penyaluran kebutuhan seksual diperlukan pada waktunya, tetapi pengendaliannya dapat dilakukan dan tidak membahayakan selama tidak melahirkan depresi.
Nah, salah satu cara untuk mengendalikan nafsu sekaligus menghindari depresi itu adalah mengaitkan seks dengan jiwa, yang antara lain melalui perhatian dan pengamalan nilai-nilai agama. Atas dasar pandangan di atas, maka kendati islam mengakui pentingnya penyaluran naluri seksual manusia, namun Islam tidak beranggapan bahwa itu bebas dari unsur rohani dan emosi yang bersih.
Manusia, dalam ajaran Islam, tidaklah wajar menjalani hidupnya hanya dengan unsur jasmani dan nafsunya, atau dengan terus-menerus memnuhi dorongan nafsu yang sifat dasarnya tidak pernah puas. Manusia yang demikian itu halnya seperti seorang yang menggaruk lukanya yang gatal. Memang terasa nyaman saat menggaruk, tetapi jika diperturutkan maka akan menjadi borok, bernanah, dan busuk karena infeksi.”
Relasi antara Al-Qur’an, Manusia, dan Seks
Relasi antara Al-Qur’an, manusia, dan seksualitas menunjukkan bahwa seksualitas bukanlah hal yang tabu dalam Islam, melainkan bagian dari kehidupan yang diatur dengan nilai-nilai agama untuk kebaikan dan keseimbangan hidup.
Al-Qur’an memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana manusia seharusnya memaknai dan menyalurkan kebutuhan seksual, yaitu dengan kesadaran spiritual, tanggung jawab moral, serta niat yang tulus kepada Allah.
Islam menempatkan seksualitas sebagai kebutuhan manusia yang alami, namun tidak terlepas dari unsur rohani dan emosional. Manusia dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan spiritual, serta menghindari dampak negatif seperti depresi akibat pemenuhan nafsu yang tidak terarah melalui pengaitan seks dengan nilai-nilai agama.
Seksualitas sendiri tidak hanya terbatas pada kebutuhan biologis saja, tetapi juga bagian dari misi manusia untuk membangun kehidupan yang penuh keberkahan, keharmonisan, dan tanggung jawab.
Sumber: Shihab, M.Q. (2023). Seksualitas dan Interaksi: Pendidikan dari Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah. First ed. Tangerang Selatan: Penerbit Lentera Hati. []