Mubadalah.id – Term resiprokal atau dalam bahasa inggris disebut reciprocity memiliki makna “timbal-balik atau pertukaran”. Penyebutan diksi tersebut bersifat umum dan bisa kita terapkan dalam berbagai kajian. Semisal di bidang akuntansi, akun resiprokal bermakna akun-akun yang menggambarkan hubungan transaksi antara parent dan subsidiary.
Adapun di bidang sosial, resiprokal adalah suatu hal yang bersifat saling berbalasan. Oleh karena itu, dikatakan hubungan resiprokal jika hubungan sosial yang terjadi berlaku secara timbal balik.
Gagasan resiprokal di bidang feminisme Al-Quran juga mempunyai wacananya sendiri, terlebih ketika mubādalah disebut mempunyai padanan makna dengan term resiprokal atau reciprocity. Ekskavasi “penggalian secara sistematis” tentang asal muasal resiprokal menjadi menarik di mana term ini sebenarnya sudah dibawakan oleh tokoh sebelumnya yang menjadikan kemunculan term ini merupakan pengulangan.
Hal ini ditambah bahwa Faqihuddin sebagai pencetus gagasan mubādalah juga tidak mengklaim bahwa ia adalah sosok pertama yang membawa gagasan resiprokal dalam kajian Al-Quran yang bernuansa feminis dan tidak pula mengutip dari mana ia menemukan gagasan tersebut. Dengan demikian, ketiadaan perhatian atas kemiripan gagasan dengan tokoh sebelumnya dapat menjadi cacat bacaan literatur dari gagasan mubādalah.
Siapa Abdullah Ahmed An-Na’im?
Abdullah Ahmed an-Nā’im adalah sosok yang sebelumnya telah mewacanakan gagasan reciprocity melalui bukunya yang berjudul: Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law. Karya ini diterbitkan pada tahun 1990 di Kanada.
Dalam buku tersebut, an-Nā’im memberikan tawaran pembacaan yang serupa dengan Faqihuddin dari segi pengupayaan adanya timbal balik yang setara antara dua bela pihak, terutama berkenaan dengan hak-hak manusia yang diimplementasikan dalam hukum-hukum Islam. Gagasan tentang reciprocity yang dalam bahasa Faqihuddin menggunakan term kesalingan, pertukaran atau timbal balik memiliki kemiripan dengan gagasan reciprocity milik Abdullahi Ahmed An-Nā’im tersebut.
Dalam pandangan an-Nā’im, gagasan reciprocity dimunculkan sebagai upaya untuk melakukan dekonstruksi syari’ah guna menjawab tantangan kontemporer. Fenomena tersebut juga dapat ditemukan dalam qirā’ah mubādalah. Bagi Nā’im, hukum syariah bukanlah keseluruhan Islam namun hanyalah interpretasi terhadap teks yang dipahami melalui konteks historis tertentu.
Berkenaan dengan hal ini, bukan hanya Faqihuddin, mayoritas penafsir feminis juga memiliki sikap yang sama seperti: Amina Wadud, Asma Barlas, dan Margot Badran. Beberapa tokoh tersebut sengaja melihat fenomena ini dengan mengkaji ulang produk penafsiran klasik dan menyimpulkan adanya ketidaksesuaian antara warisan kajian Islam dengan praktik di era modern.
Gagasan Resiprocity Ahmed An-Na’im
Penerapan gagasan reciprocity Ahmed an-Nā’im dapat ditempatkan di beberapa bagian, semisal ide tersebut dapat ditempatkan dalam pembacaan makna universalitas (prinsip) dari hak-hak manusia. Maksud dari bagian tersebut yakni menyadari bahwa manusia mempunyai hak-hak utama yang perlu diapresiasi dalam kehidupannya.
Sebagaimana kebebasan bagi mereka untuk hidup tanpa membedakan jenis ras, gender, bahasa atau agama. Oleh karena itu, secara aplikatif hal ini bergesekan dengan konsep universalitas mubādalah dalam memandang posisi perempuan di masyarakat di mana mereka layak untuk hidup, dihargai dan diapresiasi di bidang-bidang sosial-kemasyarakatan.
Prinsip universal melalui gagasan resiprokal Ahmed An-Na’im menuntut seseorang untuk memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan. Selain itu, seorang muslim juga harus menjamin hak yang dimiliki oleh orang lainnya.
Sebab, tujuan dari prinsip resiprokal adalah seseorang harus mencoba untuk mencapai taksiran yang paling dekat untuk menempatkan dirinya di posisi orang lain. Hal tersebut mengasumsikan penempatan posisi yang sama terhadap orang lain dalam semua hal, baik berkenaan dengan jenis kelamin, kepercayaan agama, maupun dalam hal-hal yang dianggap memiliki ketimpangan.
An-Nā’im menekankan bahwa prinsip-prinsip resiprokal itu bersifat menguntungkan, sehingga ketika seseorang mengidentifikasi orang lain, maka seseorang hendaknya menggunakan prinsip timbal balik yang sama terhadap sistem kepercayaan orang lain pula.
Standar Universalitas
Meskipun demikian, terdapat perdebatan berkenaan dengan standar-standar universalitas yang menjadi asal penarikan hukum dari gagasan an-Nā’im yakni secara pelaksanaannya masih dianggap memiliki beberapa permasalahan yang serius, seperti apa tolok-ukur yang digunakan an-Nā’im untuk merumuskan batasan-batasan universalitas?
Upaya perumusan yang sama juga para penafsir feminis lakukan, yakni dengan menelusuri ayat-ayat pokok yang dianggap sebagai inti dari ajaran agama Islam. Term-term yang bisa mewakili upaya pencarian makna utama penafsiran feminis seperti worldview, weltanschauung, maqāshīd ayat mabādi’ dan qawā’id. Namun, ke semuanya belum memberikan penjelasan yang memuaskan.
Menghadirkan an-Nā’im dalam diskusi mubadalah bagi penulis adalah penting. Sebab hal tersebut berguna untuk mengetahui sejauh mana kebaruan yang dimiliki oleh mubadalah jika disandingkan dengan gagasan-gagasan kesalingan yang telah ada di periode sebelumnya.
Lebih dari itu, dengan menggali riwayat keilmuan milik seseorang maka kita bisa menemukan ide-ide baru. Ivan Pavlov mengatakan “if you want a new idea, read an old book”. Jika kamu ingin mendapatkan ide baru, maka bacalah buku (ide) lama. []