Mubadalah.id – Membaca karya-karya KH Husein Muhammad, baik yang tercetak menjadi buku, yang ada di pelbagai media online, maupun yang berserakan di akun Facebooknya adalah sebuah candu. Saya merasakannya demikian ketika ngaji toleransi bersama Kiai Husein. Bahkan, hakulyakin bukan hanya saya yang merasakannya.
Tetapi sehamparan pembaca kiai Husein di banyak tempat di luar sana juga merasakan hal yang sama. Bahwa pada setiap karya kiai Husein Muhammad menyimpan candu yang tak terobat. Saya pribadi tidak pernah merasa kapok dan memilih berhenti membaca kembang tintanya.
Belum lama ini, saya kembali terpesona oleh karya lama kiai Husein Muhammad. Sebuah buku kecil yang ia tulis bersama Siti Aminah, perempuan advokat yang tampil sebagai kuasa hukum atas kasus-kasus kelompok minoritas. Dua orang hebat pejuang kemanusiaan ini, bersinergi dalam penulisan sebuah buku yang berjudul “Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam” yang diterbitkan pertama kali pada 2017 lalu.
Kendati telah terbit lama, namun prinsip-prinsip universal yang termuat dalam buku kecil ini akan tetap eksis sampai kapan pun. Inilah nilai dan motif yang membuat saya ngaji toleransi sampai duduk dan mulai menulis resensi ini.
Empat Tema Besar Buku “Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam”
Buku Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam ini, umumnya membahas empat tema besar yang terklasifikasi menjadi empat bagian terpisah yang bersimpul kelindan satu dengan yang lain. Masing-masing dalam kapasitas menghadirkan pemahaman yang benar atas sebuah substansi yang terkandung di dalamnya. Sehingga, keempatnya menjadi tiang kokoh, penyangga payung agung toleransi yang menaungi keragaman serta pluralistis umat manusia. Mulai dari keberagamaan yang diatur kitab suci hingga soal warna kulit yang tidak diatur apa-apa.
Berikut penulis hadirkan keempat tema tersebut; (1) Seputar pengertian siaran kebencian, (2) Prinsip-prinsip anti siaran kebencian dalam Islam, (3) Pemahaman ulang basis ajaran siaran kebencian, dan (4) Hajrah dari moralitas tercela (akhlaq sayyi’ah) ke moralitas terpuji (akhlaq karimah).
Pengertian Hate Speech
Pada bagian pertama, Buya Husein dan Mbak Ami, begitu keduanya karib disapa, menjelaskan poin-poin penting dari apa yang kita sebut hate speech itu. Hate speech, dalam Bahasa Indonesia memiliki sekurangnya dua padanan frasa yang mewakili substansi makna yang sama.
Siaran kebencian dan ujaran kebencian. Istilah siaran kebencian, bagi kedua penulis, lebih tepat daripada ujaran kebencian. Sebab, kata “siaran” tidak hanya mencakup ucapan, tetapi juga tulisan dan gambar. Sedang kata “ujaran” hanya mencakup ucapan, ranah verbal.
Dalam tema ini, kedua penulis tidak menyertakan definisi, melainkan memaparkan unsur-unsur yang membentuk substansi siaran kebencian secara utuh. Alasannya, karena belum ada definisi siaran kebencian yang disepakati hingga buku tersebut tertulis. Sebuah siaran kebencian, sebenarnya tidak lebih dari tiga unsur. Pertama, adanya bentuk ekspresi kebencian kepada seseorang atau kelompok.
Kedua, ekspresi tersebut berbentuk hasutan untuk melakukan kekerasan, diskriminasi atau permusuhan. Ketiga, ekspresi dalam bentuk hasutan itu tersebar ke khalayak ramai baik sengaja maupun tidak, atau sengaja mengajak orang lain untuk menyebarkannya dalam bentuk apapun.
Islam dan Prinsip Anti Siaran Kebencian
Bagian kedua dalam buku ini, bicara soal dua prinsip fundamental Islam yang berkonsekuensi mengharuskan setiap insan bersikap toleran. Tanpa mempertimbangkan agama, aliran keagamaan, suku, ras, budaya, warna kulit, etnis, gender dan seterusnya.
Sekaligus secara khusus memproteksi laku siaran kebencian. Yaitu, prinsip tauhid dan prinsip kemanusiaan. Tauhid dan kemanusiaan adalah dua prinsip yang terkait kuat dalam membentuk stabilitas kehidupan. Baik dalam urusan berbangsa dan bernegara, teologis dan ketuhanan, politik, sosial, bahkan ranah domestik sekalipun.
Bertauhid dalam Islam, menyimpan prinsip yang sangat adiluhung. Melalui kalimat La ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), Islam berhasil membuat sistem toleransi yang tinggi. Kalimat suci tersebut menyimpan satu titik fokus kehidupan, bahwa hanya kepada Dialah seluruh aktifitas, sembah, budaya, sosial, dan pradaban umat Islam kembali. Seluruh aktifitas hidup dan kehidupan manusia terpusat hanya kepada-Nya.
Dari itu, manusia sejatinya terbebas dan harus membebaskan sesama dari laku perbudakan, penindasan, kekerasan dan diskriminasi. Di antara seluruh makhluk ciptaan-Nya, siapa pun tak pantas merasa lebih tinggi dari yang lain. Semua berstatus sama, sebagai hamba Tuhan-Nya. Tiada pula yang berhak membesarkan diri sendiri sambil merendahkan orang lain.
Piagam Madinah
Bertalian dengan ini, prinsip kemanusiaan dalam Islam telah ditandatangani secara sah dalam Piagam Madinah. Ini merupakan fakta sejarah perjalanan sosial di Madinah. Di mana waktu itu dihuni oleh masyarakat dengan keyakinan yang plural: Islam, Yahudi, Nasrani dan yang lain. Dalam buku ini (hal. 29-30) kiai Husein menyebutkan beberapa butir Piagam Madinah yang dikutip dari Sirah an-Nabi karya Ibnu Hisyam, sebagai berikut:
“Orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain bebas memeluk agama dan keyakinannya masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya untuk menjalankan ibadah. Tidak seorang pun dibenarkan mencampuri urusan keyakinan orang lain. Orang Yahudi yang menandatangani piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan secara aniaya (zalim/tidak adil).
Orang Yahudi bagi orang Yahudi, orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka berbuat zalim, itu akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Setiap penindasan dilarang. Mereka semua wajib mempertahankan negaranya dari serangan musuh.”
Rekonstruksi Basis Ajaran Siaran Kebencian
Buya Husein dan Mbak Ami, dalam buku Menangkal Siaran Kebencian: Perspektif Islam mengusung kembali sebuah konsep yang merekonstruksi cara berpikir kaum jihadis ekstremis yang gemar mengkafir-kafirkan dan melakukan tindak kekerasan kepada golongan selainnya.
Kaum jihadis ekstremis yang bergerak atas nama agama dengan cara intoleransi ini, rupanya bertolak dari kesalahan memahami amar-makruf dan nahi-mungkar. Lebih tepatnya pada cara mereka mengekspresikan gairah dakwah islamiah yang tinggi. Sehingga, penting kiranya menafsir ulang teks hadis dalam Shahih Muslim no. 186 yang kerap menjadi dasar mereka.
Yaitu tentang sikap dakwah yang hierarkis kala melihat kemungkaran; pertama-tama berupaya menyikapinya dengan tangan, lalu dengan lisan, dan terakhir dengan hati. Kedua penulis merasa perlu menafsir ulang, membatasi ruang multitafsir sehingga tidak kebablasan menabrak dinding toleransi.
Maka “menyikapi dengan tangan”, ngaji toleransi dalam konteks sosial budaya kita hari ini, tidak harus kita maknai bagian anggota tubuh. Tetapi lebih tepat kita maknai kekuasaan. Kekuasaan konstitusional, bukan otoriter. Sehingga, muncullah sikap berdakwah dengan hikmah tanpa “membunuh” pelakunya.
Demikian dengan teks “menyikapi dengan lisan” yang terekspresi melalui nasehat yang menghasut dan ceramah yang berapi-api. Di mana, cara itu berakibat pada merendahkan martabat manusia. Maka tafsir yang tepat atas teks di atas adalah bicara dengan cara yang santun, saling menghargai, memahami dan saling mendengarkan satu dengan lainnya.
Hal ini tentu berdasar pada surah an-Nahl (16:125) tentang keharusan berdakwah dengan hikmah. Sedang tafsir “menyikapi dengan hati”, tidak berarti diam tak berbuat apa-apa, pasif. Melainkan diam yang aktif. Diam yang aktif, menurut kedua penulis, adalah melakukan sesuatu dengan hati dan pikiran yang tenang dan disiplin serta kokoh dalam prinsip kebenaran dan keadilan.
Dari Moralitas Tercela Menuju Moralitas Terpuji
Di bagian terakhir buku ini, kita para pembaca belajar agar mampu keluar dari moralitas tercela menuju moralitas terpuji. Tidak hanya dengan menjauhi segala bentuk sikap intoleransi-termasuk siaran kebencian, hatta dalam urusan agama-tetapi juga belajar memaafkan sikap-sikap intoleransi dari orang lain, karena itu bagian dari dakwah bilhal (dengan memberi contoh yang baik kepada pelaku anti toleransi).
Selain juga harus menjauh dari orang-orang seperti mereka. Allah berfirman:
خذ العفو وأمر بالمعروف واعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pemaaf dan perintahkan manusia melakukan hal-hal yang baik, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.”
Terkait konsep menjauh, Buya Husein mengutip kalam as-Syafi’i yang berbunyi:
فإنّ كلمتَه فرَّجْتَ عنه وإنْ خلّيتَه كَمَدًا يموت
“Bila kamu melayaninya, maka kamu akan susah sendiri. Dan, bila kamu berteman dengannya, maka akan selalu menyakitkan hati.”
Artinya, tidak ada sikap lain selain menjauh terlebih dahulu darinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []