Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Keulamaan yang melekat pada diri Nyai Nur Channah menjadi bukti bahwa diversitas jenis kelamin bukanlah alasan bagi turunnya fadhlun min Allah.

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah

Mubadalah.id – Nama Nyai Nur Channah pada mulanya sekadar saya dengar lewat ucapan bapak. Saban lebaran, ketika hendak berkunjung ke kediaman simbah paman (Mbah Lik) dan kebetulan beliau tidak di tempat, bapak biasanya mengambil kesimpulan begini: “Mungkin sedang sowan ke Bu Nur.”

Belum tumbuh benih-benih penasaran saat itu. Namun, selepas kejadian tersebut berulang beberapa kali kemudian, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada bapak. Bapak kemudian memberikan penjelasan ringkas, sekadar bahwa Bu Nur alias Nyai Nur Channah merupakan putri dari Almaghfurlah Kyai Dalhar Watucongol (Mbah Dalhar).

Bagi publik Kedu raya (Magelang,Temanggung, Wonosobo, dan Purworejo), nama Mbah Dalhar rasa-rasanya telah merasuk hingga ke sumsum tulang. Masyarakat mengenal ulama kharismatik ini sebagai figur teladan yang penuh “karamah” kewalian istimewa.

Selain Kyai Ahmad Abdul Haq (Mbah Mad), Nyai Nur Channah merupakan keturunan Mbah Dalhar yang mewarisi kewalian ayahandanya. Hal ini tentu istimewa, mengingat sosok beliau adalah seorang ulama perempuan. Keulamaan dan kewalian yang melekat pada diri Nyai Nur Channah menjadi bukti bahwa diversitas jenis kelamin bukanlah alasan bagi turunnya fadhlun min Allah.

Alih-alih pilah-pilih gender, sebagaimana isyarat Alquran dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menakdirkan manusia dalam kesetaraan. Satu-satunya keistimewaan yang membedakan hamba yang satu dengan hamba lainnya terletak pada tingkat ketakwaan. Nyai Nur Channah benar-benar merepresentasikan implikasi ayat tersebut dalam kehidupan nyata.

Memimpin Pesantren menuju Ma’rifatullah

Dalam kesehariannya, Nyai Nur Channah memiliki aktivitas rutin sebagai pemimpin pondok pesantren (Ponpes) Ad Dalhariyah. Pesantren ini berlokasi di Desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Menurut catatan Didi Purwadi dalam artikel berjudul Pesantren Ad Dalhariyah, Benteng Bendung Belanda. Ponpes Ad Dalhariyah mulanya berdiri berkat inisiasi salah seorang prajurit Pangeran Diponegoro bernama Abdul Rauf.

Abdul Rauf sendiri tak lain merupakan kakek dari Kyai Dalhar. Artinya, beliau adalah kakek buyut dari Nyai Nur Channah yang kini melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren tersebut. Usia Ponpes Ad Dalhariyah sendiri telah mencapai lebih dari dua abad dan mengalami transisi kepemimpinan hingga empat generasi.

Sebagai pimpinan pesantren, Nyai Nur Channah menjalankan tugas-tugas kesehariannya sebagaimana pengasuh pesantren kebanyakan. Beliau membimbing santri, berdakwah kepada masyarakat, memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan, serta menerima kunjungan tamu-tamu. Beliau seringkali kerawuhan tokoh-tokoh besar, baik di level daerah maupun nasional.

Namun, beliau bukanlah sosok yang mudah terbawa arus. Beliau senantiasa teguh pada nilai-nilai agama dan tradisi yang beliau pelajari dan serap dari para pendahulunya. Pengaruh para tamu yang rawuh tak membuat beliau gigrik seperti halnya air di atas daun talas. Banyak yang meyakini, kepribadian tersebut berakar dari level spiritualitas Nyai Nur Channah yang telah mencapai titik ma’rifatullah.

Bagi kalangan hamba saleh yang menempuh jalan-jalan spiritual seperti beliau (salik), tingkatkan ma’rifatullah merupakan puncak dambaan. Sesiapa saja yang telah berdiri di tangga ini berarti telah sampai pada pemahaman akan Allah secara hakiki. Menurut banyak keterangan, pembimbing spiritual Nyai Nur Channah adalah seorang figur istimewa. Beliau bernama Balyan bin Malkan atau yang masyhur dengan asma Nabi Khidir ‘alaihi as salam.

Tangga-tangga Ma’rifatullah

Sebagai seorang ulama wali mumpuni yang telah sampai pada level ma’rifatullah, Nyai Nur Channah tentu telah melewati berbagai anak tangga berjenjang. Tangga demi tangga tersebut telah beliau lalui dalam waktu yang tidak sebentar.

Pada dasarnya, tangga menuju ma’rifatullah memiliki dua tataran utama, yakni fase kasbi dan fase laduni. Pada fase kasbi, seseorang mesti menekuni ilmu-ilmu dasar spiritual, seperti tauhid (pengesaan) dan hukum-hukum syar’i. Sementara, pada fase laduni, seseorang harus menempuh jalan tarekat dalam bentuk riyadlah (penggladian diri) melalui aktivitas zikir, kontemplasi, refleksi, serta serangkaian meditasi.

Bagi keluarga Watucongol seperti Nyai Nur Channah, penguatan intensitas zikir ditempuh dengan berbaiat tarekat Qadiriyah atau Naqsyabandiyah. Sementara, menurut Ibnu Athaillah As Sakandari sebagaimana dikutip Tuan Guru Jahid bin Sidek al Khalidi, fase laduni memerlukan tiga jenjang tangga.Proses yang berjenjang ini menuntut manusia untuk senantiasa berzikir dan bertafakur kepada Allah.

Jenjang pertama disebut warid al intibah yang berarti terhindarkannya seseorang dari urusan-urusan yang melalaikan diri dari Allah ‘azza wa jalla. Selanjutnya, jenjang yang kedua bernama warid al iqbal. Pada jenjang ini, seseorang merasakan kebersamaan dengan Allah secara intim. Sementara, untuk jenjang ketiga yang dinamai warid al wishal, seseorang telah sampai pada penglihatan atas nur ilahiah yang berpendar pada segala hal.

Laku menuju ma’rifatullah sebagaimana yang Nyai Nur Channah dan para salik lain tempuh merupakan bagian dari tradisi spiritual yang kini kian tergerus. Padahal, proses semacam inilah yang kerap melahirkan figur pemimpin masyarakat yang mengayomi, alih-alih sekadar menginstruksi.

Maka, tak ada luputnya bila generasi hari ini berkenan untuk turut menyisir jalan senyap menuju tangga ma’rifatullah, sekalipun dengan jalan masing-masing. []

 

Exit mobile version