Mubadalah.id – Indonesia hari ini Rabu, 14 Februari 2024 menggelar pesta demokrasi atau Pemilu 2024. Ini adalah momen krusial penentu nasib rakyat selama 5 tahun ke depan. Namun, tidak dapat menyangkal juga bahwa proses Pemilu tahun ini sarat akan tindakan politisasi dan kecurangan.
Beberapa peristiwa yang menjadi highlight dalam masyarakat mengenai berbagai kejanggalan Pemilu tahun ini tergambar jelas dalam Film Dirty Vote, antara lain:
Keputusan Kontroversial Mahkamah Konstitusi
Peneguhan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas umur Calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi minimal berumur 35 tahun dan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah. Akibatnya, salah satu Paslon mengusung Cawapres yang notabenenya pada waktu itu masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Bukankah ini sesuatu yang tidak lazim?
Politisasi Bansos
Kucuran dana Bantuan Sosial atau Bansos tahun ini yang kian deras mendekati Pemilu. Melansir dari Kompas.com, jumlah anggaran Bansos pada tahun 2024 mencapai Rp 496 triliun. Angka ini lebih besar 12,4% dari tahun lalu yang mencapai Rp 439,1 triliun.
Sedangkan anggaran Bansos di tahun 2021 dan 2022 –yang mana Indonesia masih berjuang melawan Pandemi, masing-masing hanya senilai Rp 468,2 triliun dan Rp 460,2 triliun. Bansos ini terasa lebih besar daripada saat Pandemi melanda Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, membuat Bansos ini semakin terasa dipolitisasi saat pertemuannya dengan keluarga penerima bantuan beras di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 15 Januari 2024. Pada waktu itu dia “meminta” masyarakat untuk mengucapkan “Terima kasih, Pak Jokowi” karena BLT El Nino berlanjut.
Padahal jika melihat kondisi cuaca saat ini yang bertahap beralih ke musim penghujan. Jadi, bantuan ini terasa tidak relevan dan terkesan menekan suara dari kalangan masyarakat bawah. Yakni untuk memilih paslon yang meneruskan dinasti Jokowi.
Ketidaknetralan Aparatur Negara
Keterlibatan pejabat negara setingkat menteri yang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN). Keterlibatan ini sebetulnya sah-sah saja dilakukan, namun dengan catatan bahwa menteri tersebut dalam keadaan cuti. Cuti ini penting agar para pejabat publik bisa meminimalisir penyalahgunaan fasilitas jabatan dan sumber daya negara.
Tidak hanya setingkat menteri, kepala negara yang seharusnya bersikap netral, namun terang-terangan menyatakan keberpihakannya pada salah satu Paslon. Ketidaknetralan kepala negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, salah satunya sangat terlihat pada saat beliau mengadakan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, pada 24 Januari 2024, yang menyatakan bahwa presiden memiliki hak untuk turut serta dalam kampanye dan menunjukkan preferensi politiknya.
Sebetulnya juga Presiden boleh berkampanye asal diikutsertakan dalam kampanye sesuai Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Syarat lainnya yakni jika sang Presiden merupakan petahana yang mencalonkan lagi sesuai Pasal 299 ayat (1) atau terdaftar sebagai tim kampanye sesuai yang tertera dalam Pasal 299 ayat 3.
“Pemekaran” Papua
Sebelumnya, Papua hanya memiliki 2 provinsi saja yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Belum lama ini, hadir 4 provinsi baru di Papua dan keempatnya sudah bisa langsung mengikuti Pemilu. Ini menjadi aneh jika kita membandingkannya dengan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang baru hadir di tahun 2013, namun harus menunggu 6 tahun untuk bisa mengikuti Pemilu yaitu di tahun 2019.
Apakah pemekaran provinsi ini berkaitan dengan usaha kemenangan 1 putaran yang salah satu syaratnya yakni memperoleh sebagian besar suara di 20 provinsi di Indonesia.
Menjadi Pemilih yang Tidak Tone Deaf dan Menutup Mata
Masih banyak kejanggalan lainnya yang sebenarnya tidak cukup jika harus dirangkum dalam artikel dengan batas minimum 600 kata. Mungkin, ini bisa menjadi catatan panjang nan kelam demokrasi di Indonesia yang bobrok dan kotor.
14 Februari 2024 ini merupakan koordinat penentuan nasib bangsa selama 5 tahun kedepan. Koordinat ini jatuh di tangan kita sebagai rakyat Indonesia –apakah kita lebih memilih untuk tetap dalam status quo atau ingin mendobrak perubahan yang lebih baik.
Penting bagi kita sebagai pemilih untuk bersikap bijak dan menutup mata. Apalagi setelah hadirnya ribuan fakta kecurangan sistematis nan masif yang terjadi di Pemilu tahun ini. Memang, ketiga paslon memiliki “dosanya” masing-masing di masa lalu. Namun, penting untuk mencegah yang terburuk untuk berkuasa.
Jika dinasti keluarga berkuasa dalam suatu negara dan hanya menguntungkan segelintir kepentingan saja, maka negara tersebut tidak akan bertahan lama. Tidak kalah pentingnya yakni jika negara mengabaikan akademisi dan pers, maka apa yang bisa menjadi mata dan telinga rakyat? Jangan golput karena nasib bangsa ada di tangan kita sebagai rakyat. []