Mubadalah.id – Pada 12 Januari 2022, ada cuitan yang menjadi viral mengenai perempuan yang membawa bayinya ke kantor. Dalam percakapan teks, perempuan pekerja yang bernama Nita ini izin pada atasannya untuk membawa anaknya ke kantor. Atasannya memperbolehkan, dia sebagai Ayah juga pernah membawa anak-anaknya ke kantor sambil bekerja, di saat pengasuhan masih dominan dibebankan pada perempuan.
Ada berbagai komentar yang mengapresiasi, menceritakan kondisi mereka yang juga membawa anak sambil bekerja, ada yang mengatakan lelah pada glorifikasi beban ganda perempuan. Hal yang dilakukan Nita, atasannya dan lingkungan kerja yang responsif gender tentu patut diapresiasi. Saya bisa memahami mengapa Ibu membawa anaknya ke tempat kerja, pada kondisi Nita, tidak ada yang bisa menjaga anaknya di rumah.
Pada ibu yang anaknya masih bayi, ada yang ingin memberikan direct breastfeeding atau menyusui secara langsung, sehingga membawa anaknya kemanapun mereka pergi. Ada Ibu yang tidak memiliki pengasuh anak, karena tidak ingin melewatkan satupun perkembangan anaknya, ada yang khawatir jika anaknya diperlakukan tidak baik, atau memang tidak dapat membayar. Ada Ibu yang tidak bisa membayar pusat penitipan anak yang mahal. Ada juga yang tidak bisa berkompromi dengan suaminya.
Saya ingat, saat Women Writer’s Conference Mubadalah 2019, panitia memperbolehkan Ibu-ibu yang membawa anaknya, menyediakan ruangan dan panitia yang siap menjaga anak-anak. Peserta juga boleh membawa anak ke dalam ruangan. Bahkan Mbak Karimah juga menggendong bayinya saat presentasi. Di Kajian Gender Universitas Indonesia juga boleh membawa anak sambil kuliah. Saya pernah tahu juga Ayah yang membawa anaknya bekerja. Papa saya juga sering membawa saya bekerja.
Setahu saya, di tempat-tempat yang sensitif pada peran gender perempuan dan memiliki perspektif feminisme, akan mendukung dan memfasilitasi peran pengasuhan terutama pada perempuan. Kita butuh lingkungan dan fasilitas yang mendukung peran perempuan dalam pekerjaan reproduksi sosial dan produktif, untuk urusan privat dan publik.
Hal lebih dasar, kita butuh pembagian gender yang sama besar pada pengasuhan untuk Ibu dan Ayah. Pengasuhan anak masih secara dominan ditugaskan pada perempuan daripada laki-laki. Sehingga ketika suatu keluarga memiliki double income, urusan pengasuhan dan domestik masih menjadi urusan perempuan karena dianggap pengasuhan itu memang tugas perempuan, bahkan kodrat perempuan.
Menurut Sara Ruddick, mothering atau pengasuhan ibu adalah hal yang bersifat kultural dan biologis yang berarti mothering dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Tetapi selama ini peran pengasuhan diberikan pada perempuan, sehingga perempuan menjadi lebih baik melakukannya daripada laki-laki. Karena pengasuhan dibebankan pada perempuan secara kultural dan gender, maka perempuan mengembangkan “maternal practice” atau praktik maternal.
Praktik maternal memiliki tiga dimensi, yaitu menjaga dan mempertahankan hidup anaknya; membina anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya; serta pelatihan dan sosialisasi agar anak tumbuh menjadi warganegara yang taat hukum dan patuh terhadap norma sosial. Dimensi pertama, pengasuh memberikan kebutuhan dasar pada anaknya. Dalam ketiga dimensi ini, pengasuh akan memenuhi kebutuhan dasar anak, tidak membebankan standar kesempurnaan pada anak, membantu anak berefleksi dan taat pada peraturan yang ada.
Lalu bagaimana kondisi yang ideal dalam masyarakat mengenai pengasuhan anak dan merespon permasalahan yang ada? Kita memang butuh tempat, lingkungan dan ruang publik yang sensitif pada gender. Juga memberikan fasilitas khusus untuk Ibu dan Ayah seperti Nursery Room, toilet khusus pengasuh, ruang bermain anak, dsb. Namun ada yang lebih penting lagi selain itu.
Ruddick menawarkan solusi yaitu perubahan dalam institusi motherhood dengan mengikutsertakan laki-laki secara setara dalam setiap aspek maternal care atau pengasuhan. Dibutuhkan reformasi sosial yang melibatkan laki-laki dalam pengasuhan di dalam dan di luar rumah karena pengasuhan adalah tanggung jawab Ibu dan Ayah, bukan hanya tanggung jawab perempuan sebagai Ibu.
Menurut Ruddick, jika laki-laki secara emosional dan praktikal berkomitmen pada pengasuhan anak seperti perempuan, maka akan ada reformasi dalam dunia kerja demi kepentingan orang tua bersama. Ketika perempuan dan laki-laki bekerja dan tidak ada yang bisa tinggal di rumah untuk mengurus anak, maka masyarakat akan menciptakan pusat penitipan anak yang terpercaya dengan jam kerja yang fleksibel.
Pusat penitipan anak tujuan utamanya bukan pada keuntungan moneter, tapi tujuannya pada pertumbuhan anak dan memfasilitasi kebutuhan orang tua yang sama-sama bekerja. Maternal thinking tidak hanya harus diberikan pada laki-laki, tapi juga pada komunitas. Maternal thinking diperluas dalam ranah publik sehingga mengasuh dan menjaga semua anak menjadi tugas seluruh komunitas.
Pada akhirnya runtuhlah praktik maternal yang biasa dibebankan kepada perempuan sebagai Ibu, dan menjadi tanggung jawab yang sama besar bagi laki-laki sebagai ayah, dan komunitas yang ramah pada kebutuhan pengasuhan anak di ranah privat dan publik. Jika ini bisa dilakukan, maka perempuan tidak perlu lagi menjalankan beban ganda, dan perempuan tidak perlu memilih antara peran domestik dan publik.
Saya ingat pertanyaan Denny Cagur pada Najwa Shihab, “Jika disuruh memilih jurnalis atau ibu rumah tangga?”. Nana menjawab “Kenapa sih perempuan harus memilih? Bukankah kita bisa menjadi keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tak berdaya”. Laki-laki tidak akan ditanya begitu, tapi perempuan seolah harus memilih untuk menjadi perempuan atau ibu yang baik.
Jika pengasuhan melibatkan laki-laki sama besarnya dengan perempuan, dan melibatkan komunitas, maka perempuan tidak harus memilih. Perempuan tidak perlu merasa bersalah saat tidak menjadi “full time mother” dan memilih bekerja. Perempuan tetap bisa menjadi full time mother sekalipun mereka bekerja, karena ada laki-laki yang juga berperan yang sama sebagai full time father dalam pengasuhan.
Pengasuhan anak bukan hanya menjadi tugas perempuan, tapi menjadi tugas laki-laki dan komunitas secara luas. Ada pepatah “It takes a village to raise a child”, dibutuhkan satu komunitas untuk mengasuh anak. Jika Negara memfasilitasi hal ini, maka pusat penitipan anak yang aman dan nyaman dapat diakses semua orang dengan gratis. Jika seluruh tempat dan kegiatan ramah anak dan pengasuhan menjadi tanggung jawab bersama, maka seluruh tempat adalah tempat yang aman bagi anak untuk berkembang. []