Mubadalah.id – Rasa-rasanya sebuah tujuan besar memang tidak bisa kita raih dengan sedikit pengorbanan. Urusan cinta termasuk yang harus paling perempuan korbankan. Perempuan bisa saja gagal dalam urusan cinta, namun tidak untuk yang lainnya.
Pemikiran tersebut bermula setelah kemarin saya mendatangi sebuah pagelaran seni. Saya kemudian tertarik untuk kembali menggali budaya leluhur yang sudah lama dilupakan ini. Saya mencoba memahami rentetan sejarah bangsa ini melalui pencarian di Youtube Channel.
Dalam pencarian, saya menemukan sebuah film yang menurut saya sangat menarik. “Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta” judul film yang membuat saya tertarik untuk menyimaknya.
Film yang rilis pada tahun 2018 ini adalah karya sutradara Hanung Bramantyo. Berkisah tentang kehidupan Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai raja ketiga Kesultanan Mataram dan perjuangannya melawan VOC.
Meskipun berkisah tentang perjalanan Sultan Agung, namun peran seorang perempuan yang bernama Lembayung dalam film tersebut juga tak kalah krusial.
Lembayung, Gambaran Kesetaraan Perempuan dengan Anak Raja
Pada awal kisah, Film Sultan Agung tersebut menampilkan perjalanan Sultan Hanyakrakusuma kecil dengan nama Raden Mas Rangsang. Saat masih kecil, beliau sengaja dititipkan di sebuah padepokan. Selain karena intrik politik kerajaan pada saat itu, tujuan yang lain yakni untuk membekali Raden Mas Rangsang dengan ilmu agama dan beladiri.
Di padepokan tersebut, Raden Mas Rangsang akhirnya bertemu dengan Lembayung. Seorang perempuan desa dari kalangan Brahmana namun berjiwa Kesatria. Lembayung ini lah yang pada akhirnya juga berperan penting dalam beberapa penyerangan kesultanan Mataram melawan VOC.
Saat masih mengikuti pendidikan di padepokan, Raden Mas Rangsang menyembunyikan identitas aslinya. Tidak ada seorangpun yang tahu siapa beliau sebenarnya kecuali sang guru dan istrinya serta salah seorang prajurit pengawal Raden Mas Rangsang yang juga menyamar menjadi murid pada padepokan tersebut.
Dengan dirahasiakanya identitas asli Raden Mas Rangsang, para murid lain bisa akrab dengan beliau, termasuk Lembayung. Lembayung yang juga sangat menguasai ilmu agama serta bela diri membuatnya sangat setara dalam keilmuannya dengan Raden Mas Rangsang.
Raden Mas Rangsang akhirnya tertarik dengan Lembayung. Lembayung pun membalas perasaan Raden Mas Rangsang.
Cinta yang Tak Didukung Semesta
Suatu ketika datanglah utusan kesultanan Mataram ke padepokan dengan tujuan menjemput Raden Mas Rangsang. Beliau diminta pulang untuk menjadi pengganti Romonya. Raden Mas Rangsang menolak dan ingin hidup sebagai orang biasa dengan kembali lagi ke padepokan.
Setibanya di padepokan, Raden Mas Rangsang menemui gurunya untuk meminta nasehat. Lembayung yang mengetahui hal itu merasa kaget karena selama ini Raden Mas Rangsang adalah seorang pangeran dan calon Raja Mataram.
Lembayung yang sangat paham dengan posisinya sebagai rakyat biasa berusaha menelan semua kepahitan tersebut. Ia sadar bahwa cintanya kepada Raden Mas Rangsang tidak mendapatkan restu semesta. Terlebih Raden Mas Rangsang telah dijodohkan dengan seorang perempuan yang juga keturunan bangsawan.
Kandasnya Cinta Menjadi Pelecut untuk Berjuang dan Terus Hidup
Raden Mas Rangsang dan Lembayung akhirnya sama-sama harus menundukkan ego masing-masing demi kepentingan bangsa.
Lembayung akhirnya mengikhlaskan takdirnya dan mengatakan kepada Raden Mas Rangsang jika ia akan menjalankan perannya membela Mataram dengan caranya. Sementara, Raden Mas Rangsang diminta untuk menerima penobatan sebagai raja untuk menjalankan amanah rakyat Mataram.
Kandasnya cinta Lembayung karena takdir yang tidak memihak kepadanya tidak menjadikannya meratapi hidup. Ia bangkit menjadi perempuan yang ikut berjuang saat VOC menduduki Batavia.
Lembayung menjadi perempuan yang bergabung dalam pasukan perang bersama prajurit dan kesatria lainnya. Ia menjadi prajurit yang juga memiliki peran yang strategis dalam melawan VOC.
Setelah penyerangan kesultanan Mataram kepada VOC yang memakan banyak korban dan waktu yang cukup lama. Lembayung menginisiasi penyelesaian konflik dengan perdamian dan menolak kekerasan. Sultan akhirnya menghentikan perang dan memilih strategi lain.
Beliau akhirnya memfokuskan diri dengan menghidupkan pendidikan bagi masyarakat Mataram untuk menanamkan jiwa cinta tanah air dan menguatkan mental bangsanya. Mataram akhirnya menjadi kesultanan yang berjaya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Meskipun Lembayung adalah tokoh fiktif dalam Film Sultan Agung tersebut, namun tokoh ini cukup mewakili peran perempuan dan pengorbanannya. Perempuan bisa saja gagal dalam urusan cinta, namun ia bisa berhasil menjadi pahlawan bangsa. []