Meradang rasanya melihat video pendek cuplikan acara Maulid Nabi di Jakarta beberapa waktu lalu. Bagaimana tidak? Di sana, saya melihat banyak laki-laki dengan baju serba putih, ada yang mengenakan sorban, yang lainnya terlihat menggunakan peci. Tampak sangat islami.
Namun apa yang bicarakan justru sangat mengiris hati. Saya tak habis pikir betapa forum sekelas Maulid Nabi dirayakan besar-besaran justru malah sempat-sempatnya membicarakan perempuan yang mereka pikir level ketakwaannya jauh lebih buruk dari mereka.
Apakah mereka tidak takut bila terjerembab pada jebakan penyakit hati sombong (kibr)? Ketika dengan entengnya menertawakan perempuan dengan sebutan kasar dan kemudian mereka tertawakan secara berjamaah. Yang menyedihkan, candaan misoginis seperti ini ditunjukkan secara terang-terangan di acara yang sepatutnya mengajak kita kembali meneladani akhlak Rasul.
Padahal Rasul yang saya kenal adalah pribadi yang selalu memuliakan perempuan. Beliau mendorong perempuan untuk berpikir kritis, ketika di zaman itu pendapat perempuan tidak dipedulikan. Beliau menyayangi anak-anak perempuannya melebihi apapun di saat dulu anak perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai aib. Beliau menghormati para perempuan sama halnya beliau menghargai para lelaki, tanpa secuil pun diskriminasi.
Lah, kok ini umatnya semakin jauh dari teladan Nabi? Tak pernah kah kita mengingat bahwa beliau saja pernah diingatkan Allah untuk tidak memandang rendah siapa pun makhluk ciptaan-Nya? Yang dikhawatirkan, saat kita merasa lebih beragama, lebih taqwa, lebih benar ibadahnya, perangkap setan ini masuk tanpa bisa kita deteksi.
Merujuk pendapat dari Imam al-Ghazali, salah satu penyakit hati yang perlu kita waspadai tersebut adalah kibr, yakni perasaan yang muncul pada diri, di mana ia menganggap dirinya lebih baik dan lebih utama dari orang lain. Padahal kita semua tahu, bahwa apa yang dilihat secara kasat mata oleh makhluk tidak selalu sama dengan apa yang dilihat oleh Allah SWT.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat perasaan ‘lebih’ dalam ketaatan beragama ini, semakin sulit pula kita memahami bahwa kita terkena ‘penyakit hati’. Karena seringkali yang tampak oleh makhluk dan kita sendiri adalah: kita paling suci, paling dekat dengan Tuhan bahkan merasa sudah memegang kunci surga.
Bila sombong karena kita kelebihan materi, tentu jauh lebih mudah terlihat. Biasanya ditunjukkan dari hal-hal yang mudah dipamerkan. Bangga dengan barang-barang branded misalnya, padahal sebenarnya dibeli di Tanah Abang atau produk yang dibeli ternyata barang palsu. Namun, untuk kesombongan perihal taqwa, kita seringkali terbuai oleh pameran kesalehan yang dibingkai dalam simbol-simbol keagamaan yang menipu.
Padahal jika Allah berkehendak, tembok dosa sebesar apapun tidak akan mampu menghalangi sinar hidayahNya untuk masuk, terlepas dari perbuatannya di masa lalu. Dalam salah satu hadits bahkan dikisahkan bagaimana amal soleh dilakukan oleh pendosa, dan hal itu mengantarkannya pada hidayah Allah SWT.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita pezina telah mendapatkan ampunan. Dia melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di pinggir sumur. Anjing ini hampir saja mati kehausan, (melihat ini) si wanita pelacur itu melepas sepatunya lalu mengikatnya dengan penutup kepalanya lalu dia mengambilkan air untuk anjing tersebut. Dengan sebab perbuatannya itu dia mendapatkan ampunan dari Allâh.
Dari sini, kita seakan diingatkan bahwa kita hanya lah makhluk lemah yang tak berdaya, yang tanpa nikmat hidayahnya kita bisa saja tersesat dalam kubangan dosa. Di saat yang sama, kita juga diperlihatkan bahwa kita tidak boleh memandang rendah siapapun itu. Bisa saja ia yang terlihat hina di mata makhluk, justru punya amal soleh yang kualitasnya melebihi apa yang selama ini kita lakukan.
Dan ingatlah, kasih sayang Allah justru merangkulnya lebih dalam, dan kebalikannya, kebaikan-kebaikan yang kita bangga-banggakan malah lenyap bagaikan debu karena kesombongan dalam dada. Semoga kita semua dijauhkan dari sikap seperti itu. Naudzubillahi min dzalik. []