Mubadalah.id – Dalam ruang budaya Indonesia, istilah perkosaan selalu didefinisikan sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan. Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual paling menyakitkan dan meninggalkan trauma psikologis yang berkepanjangan dan sulit terhapuskan dalam kehidupan korban.
Kecenderungan fenomenologis menunjukkan bahwa peristiwa perkosaan semakin memperlihatkan eskalasi yang tinggi, baik secara kuantitas maupun modus operandinya. Perkosaan merupakan tindakan yang melanggar harkat dan martabat kemanusiaan, dan karena itu harus mendapatkan hukum.
Ibnu Hazm, ahli fiqh Andalusia, menggolongkan pemerkosa sebagai muharib (penyerang). Ia mengatakan: Al-Muharib siapa saja yang menggunakan kekuatan untuk menakut-nakuti, merampok, melukai, atau melakukan kekerasan seksual, baik di kota besar maupun di desa terpencil, secara individual maupun berkelompok.
Berdasarkan penafsiran atas surah al-Maa’idah (5): 33, perbuatan semacam ini adalah bentuk perusakan di muka bumi yang layak mendapatkan hukuman.
Fenomena sosial kita hari ini memperlihatkan bahwa peristiwa perkosaan semakin hari bertambah mencemaskan. Korban meliputi semua kelompok usia: mulai balita, anak-anak, sampai nenek-nenek.
Korban tidak terbatas pada perempuan yang tampil dengan tubuh terbuka, tetapi juga mereka yang sehari-hari membungkusnya rapat-rapat. Pelakunya terdiri atas orang yang tidak kita kenal, tetangga, teman dekat, sampai saudara.
Bahkan, sebagaimana KH. Husein Muhammad jelaskan dalam buku Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, tidak juga sedikit dilakukan oleh ayah kandung maupun ayah tiri. Yang terakhir ini biasa kita sebut “incest”.
Pelakunya juga meliputi beragam profesi, mulai buruh kasar hingga kaum profesional berdasi, bahkan juga dari kalangan orang yang mengerti agama. []