Mubadalah.id – Kapan seseorang mulai disebut sebagai anak? Sejak lahirkah, atau bahkan sejak dalam kandungan? Pertanyaan ini kerap muncul dalam berbagai diskusi tentang perlindungan anak. Meski Konvensi Hak Anak PBB (1989) tidak menyebutkan secara eksplisit kapan status sebagai anak dimulai, namun Mukadimah Deklarasi Hak Anak 1959 menjelaskan:
“Anak karena ketidakmatangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahiran.” Artinya, perlindungan terhadap anak dimulai sejak masa kehamilan.
Pandangan ini sejalan dengan hukum nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian ada revisi dengan UU No. 35 Tahun 2014, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan.
Definisi ini mempertegas bahwa masa anak dimulai sejak janin masih berkembang di rahim ibu, bukan hanya saat bayi lahir ke dunia.
Dalam perspektif Islam, penghormatan terhadap anak bahkan sejak masa pembuahan. Ayat-ayat Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan pandangan para ulama menegaskan posisi anak yang sangat mulia, sejak pembentukan embrio hingga kelak ia tumbuh menjadi khalifah di muka bumi.
Imam Al-Isfahani, dalam Mufradat Alfazhil Qur’an, menyebut bahwa istilah al-thifl (anak) berasal dari kata yang berarti lunak atau lembut. Bahkan anak adalah makhluk yang rentan (fragile), mudah rusak bila tidak orang tua perlakukan dengan penuh kasih sayang dan kehati-hatian.
Keluarga
Karena itulah, keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam pertumbuhan anak, memegang peran sangat penting. Dalam Islam, anak tidak hanya dipandang sebagai penerus keturunan, tetapi juga sebagai pewaris masa depan bangsa, agama, dan negara.
Maka, tugas mendidik dan merawat anak bukan sekadar urusan domestik belaka, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial dan spiritual.
Seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun berada dalam kategori anak, dan karena itu, tidak dapat sanksi hukum yang sama dengan orang dewasa.
Hak-haknya harus dijamin—baik hak hidup, pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan dari kekerasan. Bila hak-hak itu dilanggar, maka yang hilang bukan hanya kebahagiaan anak, tapi juga masa depan kemanusiaan.
Namun, menjadi dewasa secara usia tidak selalu berarti matang secara mental dan sosial. Banyak anak yang secara hukum telah melewati usia 18 tahun, tetapi masih membutuhkan bimbingan dan dukungan orang tua.
Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab terhadap anak tidak berhenti pada angka. Melainkan pada kesiapan anak menjalani peran dan tanggung jawabnya di masyarakat.
Menempatkan anak sebagai prioritas dalam kebijakan, pendidikan, dan pengasuhan adalah investasi jangka panjang bagi keberlangsungan bangsa. Jika anak-anak kita lindungi sejak dalam kandungan, maka masa depan akan tumbuh dari akar yang sehat. []