• Login
  • Register
Minggu, 13 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Rabiah al-Adawiyah: Sufi Perempuan yang Tekun Bekerja

Gus Baha menyebut Rabiah sebagai salah seorang wali min auliya' Allah lewat jalur budak atau buruh.

Rasyida Rifa'ati Husna Rasyida Rifa'ati Husna
04/01/2025
in Hikmah
0
Sufi Perempuan

Sufi Perempuan

515
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang begitu populer hingga di dunia Barat. Banyak cendekiawan Eropa, seperti Margareth Smith dan Masignon yang meneliti pemikiran Rabiah dan menulis riwayat hidup sufiyah yang memiliki julukan ‘The Mother of the Grand Master‘ atau Ibu Para Sufi Besar itu. Ia terkenal kecintaan dan kerinduannya (hubb wa ’isyq) terhadap Allah.

Rabiah lahir dan tumbuh di keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, yang kemudian ayahnya memberi nama dirinya Rabiah. Yang berarti anak keempat. Orang tuanya meninggal dunia sewaktu kecil, sehingga ia yatim dan orang tuanya hanya meninggalkan warisan perahu untuk keempat putrinya itu.

Bekerja Sebagai Penarik Perahu dan Budak

Perahu tersebut kemudian ia gunakan untuk mencari nafkah sebagai penarik perahu untuk menyeberangkan orang-orang di sungai Dajlah dekat kampungnya. Sedangkan ketiga saudara perempuan lainnya hanya menenun kain atau memintal benang di rumah.

Suatu waktu kota Basrah, di mana Rabiah dan ketiga saudaranya tinggal itu, berbagai bencana alam melanda dan kekeringan akibat kemarau panjang. Sehingga Rabiah dan kakak perempuannya tersebut memutuskan untuk pergi ke daerah lain untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraanya, Rabiah terpisah dengan ketiga saudaranya sehingga ia hidup seorang diri.

Pada saat itulah Rabiah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai budak seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Malangnya, tuan itu ternyata berwatak keras dan memperlakukan Rabiah dengan sangat kasar, sehingga ia harus selalu bekerja berat sepanjang hari.

Baca Juga:

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

Islam dan Persoalan Gender

Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung

Kerelaannya Terhadap Keputusan Allah

Dalam satu ceramah, Gus Baha pernah mengisahkan bahwa daerah majikan Rabiah suatu ketika juga dilanda musim paceklik. Para pemuka agama pun berbondong-bondong melaksanakan doa dan salat meminta hujan (istisqa’). Namun hal tersebut tidak ada hasilnya, musim kemarau yang menyebabkan kekeringan justru semakin lama. Langit tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan turun hujan.

Gus Baha menerangkan bahwa salah satu keutamaan menjadi seorang budak atau buruh adalah ketika ia bekerja keras tetapi hatinya ridha kepada Allah. Dia akan mendapat keutamaan dan derajat yang agung. Bahkan, sebagaimana keterangan dari Gus Baha, orang tersebut akan memperoleh tiket ke surga terlebih dahulu daripada orang yang sudah menunaikan haji, orang-orang saleh, atau wali sekalipun.

Singkat cerita, dalam kesibukannya menjadi budak, Rabiah al-Adawiyah selalu meluangkan waktunya untuk bermunajat dan menghaturkan puja-puji terhadap Allah. Di setiap malam, jika ia dapat bebas dari tugas pekerjaannya itu maka ia tak akan berhenti sedikit pun shalat dan ibadah dengan khusyu’. Ia sangat menikmati kenyamanan bersama Tuhannya.

Gus Baha menceritakan, ketika Rabiah keluar ke tengah lapangan. Sebagaimana biasanya, ia menunaikan shalat dan bermunajat kepada Allah. Tidak lama kemudian hujan turun. Ternyata ada seorang budak yang lain mengetahui hal tersebut. Budak ini pun melapor kepada majikannya bahwa shalat dan doa Rabiah diijabah Allah seketika itu juga.

Mendengar cerita sang budak, tuannya ketakutan dan menyadari bahwa Rabiah bukanlah orang biasa. Demikian pula, Rabiah dihormati banyak orang dan memiliki perangai yang baik. Alhasil, sang majikan pun memerdekakan Rabiah.

Sebelum Rabiah pergi, tuannya itu menawarkan dia untuk tinggal di Basrah. Ia juga akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan sehari-hari Rabiah. Akan tetapi karena kezuhudannya, Rabiah menolak tawaran tersebut. Ia tidak mau berpangku tangan kepada orang lain dan memilih berusaha sendiri.

Rabi’ah, Seorang Budak yang Tekun Bekerja

Suatu waktu ketika ditanya tentang sikapnya tersebut, Rabiah al-Adawiyah menjawab, “Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Sekiranya Dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).”

Sebelum menjadi sufi besar, Rabiah al-Adawiyah adalah seorang budak yang tekun bekerja tetapi tidak meninggalkan ibadah dan ketakwaanya kepada Allah. Gus Baha menyebut Rabiah sebagai salah seorang wali min auliya’ Allah lewat jalur budak atau buruh.

Dari kisah Rabiah al-Adawiyah kita dapat memahami, bahwa memang kita tidak bisa mengklaim ketakwaan seseorang hanya melalui baju zahir yang ia kenakan. Bagaimana bisa seorang pemuka agama yang melaksanakan salat istiqa’ tidak langsung Allah mengabulkan doa dan permohan mereka. Sementara, seorang budak perempuan yang teguh dalam keimanannya di tengah kesibukan menjadi budak, diijabah doanya seketika. Tentu ini merupakan rahasia Allah.

Menjadi orang besar atau kecukupan harta itu lebih mudah untuk ridha atas keputusan Allah. Sebaliknya, sulit atau kerasnya hidup seperti ditakdirkan menjadi budak/buruh sebagaimana Rabiah al-Adawiyah tentu hal tersebut sangat susah untuk dapat menerima ketetapan Allah.

Namun sebagaimana saya jelaskan di atas, jika ia mantap memilih rela dengan takdir yang Allah berikan, maka ia akan masuk surga terlebih dahulu dari pada orang-orang saleh yang dekat kepada Allah sekalipun. Wallah a’lam. []

Tags: Budak Perempuanislamperempuan bekerjaRabi’ah al-‘Adawiyahsejarahsufi perempuan
Rasyida Rifa'ati Husna

Rasyida Rifa'ati Husna

Terkait Posts

Narkoba

Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba

12 Juli 2025
Ayat sebagai

Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

12 Juli 2025
Hak Perempuan

Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

12 Juli 2025
Setara

Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

12 Juli 2025
Gender

Islam dan Persoalan Gender

11 Juli 2025
Tauhid

Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Isu Disabilitas

    Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perbedaan Biologis Tak Boleh Jadi Dalih Mendiskriminasi Hak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan
  • Kala Kesalingan Mulai Memudar
  • Hancurnya Keluarga Akibat Narkoba
  • Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga
  • Pentingnya Menempatkan Ayat Kesetaraan sebagai Prinsip Utama

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID