Mubadalah.id – Banyak orang berpikir bahwa karya Plato yang berjudul ‘Republic’ bukanlah tulisan feminisme. Tetapi ketika Plato mengusulkan bahwa perempuan, juga laki-laki, mampu menjadi pemimpin negara-kota idealnya, dia dianggap berpikir jauh ke depan, melampaui zamannya.
Ribuan tahun kemudian, saat ini perempuan tampaknya belum memenuhi ekspektasi Plato bahwa mereka juga bisa menjadi pemikir hebat. Atau setidaknya, seperti itulah yang buku-buku filsafat katakan hari ini.
Faktanya sejarah filsafat belum menawarkan keadilan bagi perempuan. Jika tak percaya, Anda bisa memeriksanya sendiri di beberapa buku-buku sejarah filsafat konvensional yang nyaris tidak menyentuh gagasan para pemikir perempuan. Seperti ‘A History of Western Philosophy’-nya Bertrand Russell (telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia).
Di tempat lain, misalnya di ‘Philosophy: 100 Essential Thinkers’ hanya dua perempuan saja yang tertampilkan—Mary Wollstonecraft dan Simone de Beauvoir. Dalam ‘The Great Philosophers: From Socrates to Turing’, lebih parah lagi, tidak ada satupun filsuf perempuan yang penulis singgung.
Pada 2020 silam, Penerbit Mizan telah menerjemahkan masterpiece penulis berkebangsaan Amerika, Eric Weiner, yang berjudul ‘Socrates Express’. Buku ini, paling tidak, lebih baik daripada tiga buku di atas. Karena dari 14 filsuf yang Weiner diskusikan, 3 di antaranya adalah perempuan, yakni Sei Shōnagon, Simone Weil, dan Simone de Beauvoir. Namun sayangnya, buku ini bukan murni karya sejarah, lebih kepada self-improvement.
Kesenjangan Pemikiran
Menurut saya, penting untuk kita catat, bahwa kesenjangan sejarah pemikiran ini bukan karena kurangnya sumber atau rujukan yang mengarah pada para filsuf perempuan. Tetapi barangkali karena filsuf perempuan tidak dianggap penting. Saya berikan contoh seperti Hipparchia. Ketika saya meneliti tentang filsuf Sinis ini, tidak satupun buku, jurnal, atau artikel yang khusus membahas tentang Hipparchia. Anda boleh memeriksanya sendiri.
Beberapa peneliti bahkan mengatakan bahwa Hipparchia tidak begitu penting, karena corak berpikirnya yang tak jauh berbeda dari suaminya, Crates. Namun penelitian saya justru menunjukkan sebaliknya; beberapa filsuf Yunani Kuno seperti Zeno, Epictetus, dan Diogenes (of Sinope dan Laertius) bahkan mengagumi pemikiran dan keberaniannya (saya tiba-tiba teringat momen lucu ketika Hipparchia membuat filsuf Theodorus kesal).
Penelitian saya tentang Hipparchia ini telah saya rangkum dalam sebuah esai panjang berjudul ‘Hipparchia: Filsuf Perempuan dan Pecinta Sejati yang Terlupakan’. Di sisi lain, beberapa tulisan saya yang mengulas tentang filsuf perempuan juga pernah saya buat, dua di antaranya adalah ‘Enam Perempuan yang Berpengaruh dalam Filsafat’ dan ‘Things That You Can Learn From a Woman Philosopher, Ayn Rand, to Gain Happiness’.
Sayangnya saya merasa ini masih belum cukup. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini. Mengingat kurangnya pemahaman kita tentang para pemikir perempuan dan rujukan sejarah yang dapat kita gunakan. Saya akan memberikan beberapa rekomendasi buku yang mengulas dengan detail dan khusus tentang para pemikir perempuan dan kontribusi mereka dalam sejarah.
1. A History of Women Philosophers (1987)
Sebenarnya ada satu karya lain yang memiliki judul serupa: ‘Women Philosophers’ karya Baroness Mary Warnock, yang terbit dua tahun kemudian (1989) setelah ‘A History of Women Philosophers’. Sayangnya saya tidak memiliki buku tersebut. Saya hanya akan mengulas karya-karya yang pernah saya baca saja.
‘A History of Women Philosophers’ pada dasarnya adalah karya antologi, alih-alih karya perseorangan. Buku ini dikurasi langsung oleh Mary Ellen Waithe. Seoarng filsuf dan penasihat utama Center for the Study of Women Philosophers & Scientists, Universitas Paderborn, Jerman.
Menurut saya buku ini sangat lengkap mendiskusikan gagasan dan sejarah pemikiran para filsuf perempuan. Saking lengkapnya, buku ini bahkan terdiri dari empat jilid tebal, sesuai dengan periodesasi pemikiran filsufnya. 1) Ancient Women Philosophers (600-500 SM). 2) Medieval, Renaissance, and Enlightenment (500-1600). 3) Modern Women Philosophers (1600-1900). 4) Contemporary Women Philosophers (1900-today).
2. A History of Women: From Eve to Dawn (2002)
Karya yang Marilyn French tulis ini memang tidak secara khusus mendiskusikan para filsuf perempuan. Seperti buku ‘A History of Women Philosophers’ sebelumnya, yang membuat daftar tokoh-tokoh filsuf perempuan. Jadi jika Anda termasuk pribadi yang tidak suka narasi yang bertele-tele dan terlampau panjang, buku ini mungkin bukan untuk Anda.
Alasan mengapa saya memasukkan buku ini ke dalam daftar rekomendasi, karena buku ini menjelaskan secara komperhensif, runtut, dan menyeluruh sejarah perempuan. Bukan hanya dalam konteks sosial, budaya, hukum, dan teologi, tapi juga pemikirannya. Selain itu, buku ini mengandung analisis Marilyn French sendiri yang dengan tegas mengkritik wacana-wacana patriarki sepanjang sejarah. Meskipun dia berusaha berdiri netral untuk tidak melemparkan semua kesalahan kepada laki-laki.
Lebih dari itu, sebagaimana ‘A History of Philosophy’ sebelumnya, buku ini juga terdiri dari 4 jilid: 1) Origins; 2) The Masculine Mystique; 3) Infernos and Paradises, The Triumph of Capitalism in The 19th Century; 4) Revolution and The Struggles for Justice in The 20th Century. Jadi lengkap-tidaknya buku ini tidak perlu kita pertanyakan lagi.
3. Queenly Philosophers: Renaissance Women Aristocrats as Platonic Guardians (2017)
Dari judul bukunya saya kira kita sudah dapat menebak isi buku yang ditulis oleh penulis berdarah Amerika-Spanyol, Jane Duran, ini. Karya ini terinspirasi dari istilah “guardian” (penjaga negara) yang Plato gunakan dalam ‘Republic’-nya. Duran membuka bukunya dengan premis bahwa filsafat abad ke-16 hingga ke-18 banyak didominasi oleh kaum aristokrat atau bangsawan. Karena saat itu mereka memiliki akses yang luas terhadap karya-karya cetak pada masanya.
Sayangnya, ketika kita membicarakan tentang filsafat di abad 16 sampai 18, yang terpikirkan adalah gagasan-gagasan para filsuf laki-laki saja. Padahal, menurut Duran, tidak sedikit perempuan dari kalangan aristokrat yang juga berkontribusi besar terhadap wacana-wacana filosofis yang hangat saat itu. Bahkan sampai hari ini, seperti tentang kehendak bebas, sifat tuan tanah, dan hubungan antara Tuhan dan manusia.
Buku ini akan memperkenalkan Anda dengan beberapa tokoh-tokoh pemikir penting namun jarang kita ketahui seperti Mary Sidney Herbert, Katherine Parr, dan Elizabeth I.
Di sisi lain, buku ini juga tertulis dengan baik dan sedemikian rupa, sehingga kita tidak merasa perlu untuk membaca setiap babnya secara runtut dan tersusun. Kita bisa membacanya di bagian mana pun di dalam buku ini tanpa harus merasa takut kehilangan ide utamanya.
4. The Philosopher Queens (2020)
Seperti ‘A History of Women Philosophers’ sebelumnya, buku yang dikurasi oleh Rebecca Buxton dan Lisa Whiting ini juga merupakan karya antologi. Tidak banyak yang dapat saya jelaskan tentang buku ini. Namun dua hal yang terpikirkan ketika saya membaca buku ini: estetik dan mudah kita pahami.
Ini adalah karya yang muncul dari kegelisahan para penulisnya yang bertanya-tanya tentang posisi perempuan di dalam filsafat. Para penulis buku ini berusaha untuk meruntuhkan stigma tentang rasionalitas laki-laki dan irasionalitas perempuan sekaligus menjawab mengapa dalam sejarah pemikiran, para filsuf perempuan selalu terkecualikan.
Setidaknya ada 20 filsuf perempuan yang diulas dalam buku ini, mulai dari Diotima (terlepas dari kontroversialnya status tokoh ini) hingga Azizah Y. Al-Hibri. Tidak begitu banyak, memang. Mungkin beberapa dari mereka sudah pernah Anda dengar dan pelajari, dan beberapa lainnya tidak pernah. Namun karya ini patut mendapatkan apresiasi. Para filsuf yang diulas di dalam buku ini juga cukup kompleks, menantang, problematik, dan tentu saja menginspirasi.
5. The Women are Up to Something (2022)
Kajian etika akhir-akhir ini memang cukup banyak. Dan sebagai orang yang mempelajari filsafat, saya jarang menemukan para pemikir perempuan yang berkutat dalam isu ini.
‘The Women are Up to Something’ ditulis dengan apik oleh guru besar filsafat Houghton University, Benjamin J.B. Lipscomb. Berawal dari pertemuan penulis dengan Mary Midgley pada 2010, Lipscomb merasa terpanggil untuk menulis sebuah buku tentang Mary Midgley dan tiga sahabatnya: Elizabeth Anscombe, Philippa Foot, dan Iris Murdoch.
Mary Midgley merupakan filsuf etika yang karya-karyanya banyak berhubungan dengan hak-hak hewan seperti ‘Animals and Why They Matter’ (1983), ‘Wickedness’ (1984), ‘The Ethical Primate’ (1994), ‘Evolution as a Religion’ (1985), dan ‘Science as Salvation’ (1992).
‘The Women are Up to Something’ menjelaskan secara detail gagasan etika keempat filsuf perempuan tersebut yang merevolusi dan mengkritisi pandangan etika konvensional yang dimotori oleh para pemikir laki-laki seperti gagasan moral subjektif—mereka menjulukinya dengan “an intellectual fad”. Keempat filsuf perempuan ini percaya bahwa ada moral objektif yang didasarkan pada sifat dasar manusia.
Jika saya boleh memberikan garis besar buku ini, sepanjang 9 bab bukunya, Lipscomb hanya membahas dua poin utama: Pertama, kisah tentang keempat filsuf perempuan—Mary Midgley, Elizabeth Anscombe, Philippa Foot, dan Iris Murdoch—persahabatan mereka, perbedaan, dan perjuangan mereka menjadi pemikir hebat dan berpengaruh. Kedua, cerita tentang dua pendekatan etika yang saling bertentangan—subjektivisme dan objektivisme moral.
6. A History of Islam in 21 Women (2019)
Saya kurang yakin apakah ini termasuk karya filsafat atau bukan, tetapi saya merasa perlu untuk memasukkan buku ini ke dalam daftar. Buku yang Hossein Kamaly tulis ini cukup menarik bagi saya. Sebab buku ini menjelaskan banyak hal yang tidak saya ketahui tentang kontribusi dan pengaruh perempuan dalam sejarah Islam, yang sebagian dari mereka kita kategorikan sebagai filsuf muslim seperti Rabiah al-Adawiyah, Safiatuddin Syah, Tahereh, Maryam Mirzkhani.
Menurut Hossein Kamaly, buku ini terinspirasi dari karya Jenni Murray yang berjudul ‘A History of Britain in 21 Women’. Dia berpikir mengapa tidak membuat karya yang mengulas tentang sejarah Islam yang berfokus pada perempuan? Tujuan penyusunannya pun sebenarnya tidak jauh berbeda dari karya-karya sejarah keperempuanan lainnya.
Hossein Kamaly mengklaim bahwa buku ini hadir untuk meruntuhkan asumsi umum di Barat bahwa Islam hanya memberikan perempuan peran pasif yang berkutat dalam persoalan domestik, sehingga melacak pengaruh perempuan dalam sejarah Islam adalah pekerjaan yang nyaris sia-sia.
Dengan mengulas satu per satu beberapa sosok perempuan penting dalam sejarah Islam, mulai dari Khadijah sampai Maryam Mirzkhani, Hossein Kamaly membuktikan bahwa kontribusi perempuan dalam sejarah pemikiran dan tradisi Islam bukan sekadar isapan jempol belaka. Terlepas dari itu, buku ini saya kira cukup memuaskan, meskipun saya sendiri belum menyelesaikannya. []