Mubadalah.id – Sebelum saya mengulsan tentang Relasi Kesalingan antara Penulis dan Pembaca, saya ingin bercerita sedikit tentang Nadham pembukaan Alfiyyah Ibn Malik. Hingga saat ini, nadham Alfiyah menjadi lantunan yang umum kita dendangkan, seiring semakin viral dibawakan oleh Nissa Sabyan akhir tahun 2022 lalu. Mendengarkan lantunan nadham yang muncul di media sosial, ingatan saya tertuju pada kisah-kisah epik perjuangan para Ulama’ dalam menyusun sebuah kitab.
Untuk melahirkan masterpeace sebuah karya, seseorang memiliki cerita pengorbanannya tersendiri. Yang tidak kalah menarik adalah cerita para penulis kitab di kalangan umat muslim. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmu memiliki kedudukan tinggi yang selanjutnya menjadi tool pembeda manusia dengan makhluk lainnya dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Oleh karenanya, proses produksi dan konsumsinya merupakan proses sakral yang perlu kita perhatikan.
Kelahiran Kitab-kitab Klasik
Ada banyak kisah yang dapat kita ambil ibrah dari proses penulisan kitab-kitab yang para Ulama lakukan. Beberapa kisah yang terkenal di antaranya proses lahirnya kitab Alfiyah karya Abu ‘Abdillah Muhammad Jamaluddin ibn Malik at-Thai. Kisah ini syarat pelajaran untuk mengesampingkan ego kedirian dalam berhubungan dengan ilmu. Sikap ujub yang menyelimuti penulis dalam kisah lahirnya kitab Alfiyah ini menjadi pengingat bagi kita semua.
Kisah kelahiran kitab lain yang juga mengandung ibrah di antaranya kitab Jurumiyah karya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji. Alkisah, setelah selesai proses menulis, penulis melarung kitab tersebut. Namun hal luar biasa terjadi yaitu kitab tidak basah. Hal ini menggambarkan betapa sang penulis benar-benar bersungguh-sungguh dalam proses penyusunan kitab dengan mengutamakan pengharapan kepada kebermanfaatan karya yang ia hasilkan.
Kisah unik kelahiran kitab klasik juga datang dari Ulama Indonesia, Tafsir Ibris karya KH. Bisri Mustofa. Ada sebuah kisah, bahwa selepas wafatnya penulis, Tafsir Ibris terdapat kesalahan penulisan redaksi. Hal ini kemudian dikoreksi melalui seseorang yang KH. Bisri Mustofa datangi melalui mimpi.
Relasi Kesalingan antara Penulis dan Pembaca
Dari cerita-cerita tersebut tergambar bagaimana kesungguhan para Ulama’ untuk menghadirkan legacy terbaik berupa karya kepada para pembacanya. Seorang penulis memiliki tanggung jawab moral kepada pembaca sebagai konsekuensi ilmu yang diproduksinya. Akan meninggalkan atsar legacy yang bai,k atau justru menjadi petaka bagi yang mengkonsumsi ilmunya.
Cerita tentang penyesalan J Robert Oppenheimer menemukan bom atom yang justru penggunaannya menjadi tidak terbatasi. Stephen King yang menarik karya sastranya berjudul “Rage.” Karena dianggap mendorong remaja melakukan hal yang ia tulis, menjadi pelajaran besar bagaimana penemu sebuah ilmu memiliki beban besar. Tidak berhenti pada menghasilkan masterpeace, namun juga ada upaya memikirkan dampaknya jauh ke depan terkait karya yang ia hasilkan.
Maka benar jika tradisi para Ulama dalam menghasilkan masterpeace selalu mereka dukung dengan tidak hanya kedalaman ilmu. Namun juga kedalaman rohani atau yang terkenal dengan riyadhah. Aspek dukungan kedua inilah yang boleh jadi menjadi benteng sebuah karya agar tidak dimanfaatkan semena-mena oleh konsumen pembacanya.
Hubungan Timbal-Balik
Sejalan dengan upaya keras penulis dalam menghasilkan karya terbaik untuk pembacanya, pembaca selaku konsumen ilmu sudah seharusnya mengupayakan hal-hal yang mungkin tidak sepadan. Namun perlu kita lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada penulis yang telah berkontribusi besar terhadap lahirnya sebuah ilmu.
Dalam tradisi pesantren, wujud dari relasi kesalingan, atau timbal balik rasa terima kasih pembaca terhadap penulis kitab, kita tunjukkan dengan membacakan tawasul surat Al-Fatihah. Lazim kita saksikan para guru ketika hendak mengkaji kitab dengan santrinya maka hal pertama yang dilakukan adalah menghadiahkan bacaan surat Al-Fatihah yang kita khususkan pertama untuk Rasulullah sang pembuka cahaya ilmu pengetahuan. Lalu kita ikuti dengan bacaan Al-Fatihah.
Kedua untuk penulis kitab yang akan kita baca dengan tujuan penghormatan kepada penulis sekaligus pengharapan akan kemudahan dalam proses pentransmisian ilmu. Lebih luas, relasi kesalingan ini tentu tidak terbatas pada penulis dan pembaca kitab dalam tradisi pesantren saja. Hal ini sangat mungkin penulis dan pembaca terapkan karya apa saja, selama itu dalam konteks transmisi ilmu tentunya. []