Mubadalah.id – Publik Indonesia baru saja digemparkan dengan kasus seorang ayah muda di Gresik yang membunuh putri semata wayangnya sendiri. Ayah muda tersebut mengaku mencintainya. Tetapi harus membunuhnya agar putrinya masuk surga, tidak mengikuti jejak istrinya, atau ibu putrinya tersebut. Dalam keyakinannya, seorang anak yang meninggal pada saat masih kecil, atau usia anak, dia akan masuk surga. Karena itu, dia memilih untuk membunuhnya, agar pasti masuk surga, daripada hidup dewasa dan belum pasti masuk surga.
Salah Kaprah
Keyakinan bahwa anak yang meninggal pada usia kecil masuk surga adalah benar. Tetapi membunuh anak kecil adalah dosa besar. Keyakinan ini sama sekali tidak bisa membenarkan tindakan membunuh. Keyakinan ini, justru dalam Islam, lahir untuk menumbuhkan motivasi diri orang tua, ayah atau ibu, untuk merawat dan mendidik, serta bersabar ketika menghadapi ujian. Termasuk ketika ia meninggal pada usia anak.
Karena meninggalnya pada usia anak adalah tiket surga, sehingga tidak perlu bersedih secara berlebihan. Tetapi, sekali lagi, bukan alasan untuk melakukan tindak kekerasan pada anak. Apalagi sampai, dengan tega dan tanpa nurani, membunuhnya.
Menelisik kasus suami yang bunuh putrinya ini lebih dalam. Sang ayah yang masih muda itu ternyata merasa kecewa dengan istrinya, ibu dari putrinya tersebut. Sang istri meninggalkannya saat ia justru baru keluar dari penjara akibat tertangkap terkait narkoba. Suami berharap istrinya bersama dirinya mengurus putrinya, bersabar menghadapi tantangan kehidupan, dan memulai hal-hal baru yang menurutnya lebih positif.
Ia melarang istrinya keluar bekerja sebagai penyanyi yang menurutnya tidak baik. Tetapi, sang istri bersikukuh pergi dari rumah, bahkan sampai melebihi tiga hari. Laki-laki ini kecewa, sedih, dan marah. Pelampiasannya ia bunuh putri semata wayangnya.
Utamakan Anak
Kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa di Bandung yang dialami seorang ibu muda, yang ditinggal suaminya, lalu meracun anak-anaknya sendiri yang masih kecil. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa menjadi orang tua, terutama dalam usia muda, adalah memerlukan kesiapan-kesiapan mental. Mampu berhubungan seks, atau bereproduksi dengah hamil dan melahirkan, secara fisik saja tidak cukup.
Menjadi orang tua dengan miliki anak itu harus bertanggung-jawab. Bahkan tanggung-jawab ini harus melekat sebelum melakukan hubungan intim sebagai pasutri. Yaitu saat merencanakan menikah dan berikrar untuk mengarungi hidup rumah tangga.
Dalam perspektif mubadalah, menjadi orang tua yang bertanggung-jawab berawal dengan menanamkan kesadaran kesalingan dan kerjasama dalam segala hal terkait rumah tangga. Mulai dari kerja-kerja di dalam rumah, mencari nafkah di luar rumah, dan terutama dalam mengasuh anak. Hidup berumah tangga sebagai suami dan istri pasti akan mengalami berbagai tantangan.
Relasi mereka berdua bisa terjadi pasang dan surut. Namun, mereka harus terus dan sering melakukan komunikasi untuk kebaikan relasi mereka. Perspektif mubadalah bisa menjadi pondasi awal untuk mengarungi berbagai tantangan berumah tangga ini.
Dalam hal pengasuhan anak ini, karena usianya yang masih belia, pasutri harus terus menerus menumbuhkan bersama-sama pada kepentingan dan kesejahteraan anak. Untuk ini, mereka bisa berpikir dengan melibatkan berbagai pihak. Seperti keluarga terdekat, masyarakat sekitar, atau teman-teman. Anak-anak harus kita utamakan. Terutama ketika terjadi percekcokan dan konflik antara suami dan istri.
Mencari Alternatif
Misalnya pada kasus di atas. Jika istri pergi meninggalkan suami dan anaknya, suami harus terbiasa untuk berpikir mencari alternatif. Bukan dengan menyalahkan istri atau diri sendiri. Karena anak harus kita utamakan. Akal dia harus terbiasa untuk meminta bantuan dari keluarga atau orang terdekat untuk membantu mengurus anak. Sementara ia tetap melakukan upaya untuk memulihkan hubungan dengan istri.
Namun, jika istri memutuskan untuk tidak kembali karena sesuatu dan lain hal, suami harus terdidik dan dilatih untuk bisa bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan dan kesejahteraan anak. Termasuk memberikan kasih sayang, perhatian, pendidikan, dan kebutuhan materi yang cukup. Suami yang mubadalah adalah yang bertanggung-jawab pada kesejahteraan anak, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Dan ini adalah akhlak Islam.
Hal yang sama dengan kasus seorang ibu muda di Bandung tersebut. Ia juga harus dibiasakan untuk bisa mencari alternatif pengasuhan, ketika dirinya tidak mampu melakukannya sendirian, terutama ketika ditinggal suami. Perempuan tidak bisa kita biarkan bertanggung-jawab sendirian untuk melakukan kerja-kerja pengasuhan. Sejak merencanakan pernikahan, kerja pengasuhan ini harus dipandang dikelola sebagai tanggung-jawab bersama. Jika diperlukan, termasuk dengan melibatkan keluarga besar dan masyarakat.
Dalam hal ini, dengan prinsip berpasangan (zawaj) dan kebaikan (mu’asyarah bi al-ma’ruf), perspektif mubadalah menekankan pentingnya saling berkomunikasi dan bekerja sama dalam mengambil keputusan yang berdampak pada keluarga dan anak-anak. Mubadalah juga menekankan pentingnya tanggung-jawab bersama dalam mengelola hak dan kewajiban antara suami dan istri, sehingga dalam situasi seperti ini, suami harus siap mengambil peran yang sama dengan istri dalam mengurus anak. Wallahu a’lam. []