Mubadalah.id – Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu, Dr. Faqihudin Abdul Kodir, menyampaikan refleksi penting tentang arah masa depan pendidikan Ma’had Aly Kebon Jambu dan distingsinya di tengah peta keilmuan nasional.
“Ma’had Aly Kebon Jambu tidak hanya mencetak lulusan, tapi mencetak identitas keilmuan yang khas,” ujar Dr. Faqih. Bahkan, ia mengamini apa yang sebelumnya disampaikan oleh Pengasuh Pesantren, Nyai Hj. Awanilah Amva, tentang pentingnya menjaga almamater, memperkuat komitmen belajar, serta mempersiapkan diri menghadapi tantangan zaman.
Namun, di balik itu semua, ada satu informasi penting yang ia sampaikan kepada para wisudawan yaitu gelar akademik baru. “Gelar resmi kalian adalah S.Fu (Sarjana Fikih dan Ushul Fikih). Ini adalah kebijakan baru dari Kementerian Agama atas rekomendasi Dewan Masyayikh,” terang Dr. Faqih.
Gelar ini memang belum begitu dikenal. Bahkan, menurut Dr. Faqih, ada beberapa lulusan yang masih “galau” memperkenalkannya saat mendaftar program pascasarjana atau saat dikenalkan kepada calon mertua.
Namun bagi dirinya, justru di situlah letak tantangan intelektual generasi baru Ma’had Aly.
“Kalian harus bisa menjelaskan apa itu S.Fu. Ini bukan sekadar singkatan, tetapi representasi dari kekhususan keilmuan yang kalian pelajari—yakni fikih dan ushul fikih dalam pendekatan khas lembaga kita: musyarakah dan mubadalah,” tegasnya.
Bagi Dr. Faqih, inilah saatnya para lulusan Ma’had Aly tampil bukan hanya sebagai yang menguasai ilmu pesantren. Tapi juga memahami nilai-nilai keislaman yang progresif, adil, dan membebaskan.
Pegon dan Arab: Bahasa sebagai Distingsi Akademik
Tidak berhenti di situ, Ma’had Aly Kebon Jambu pun terus memperkuat distingsi akademiknya. Salah satunya melalui kebijakan baru yaitu kewajiban penulisan risalah akhir atau skripsi dalam bahasa Arab. Bila belum memungkinkan, maka akan ia tulis dalam huruf Arab Pegon.
“Kita butuh pembeda, ciri khas. Ini yang akan memperkuat keilmuan kita, dan membedakan lulusan Ma’had Aly dari lembaga lain. Kalau nanti masuk jenjang S2 atau S3, bahasa Arab akan menjadi kewajiban mutlak,” ujarnya.
Kebijakan ini lahir dari kesadaran bahwa di tengah era kompetisi global. Karena lulusan pesantren tidak cukup hanya mengandalkan nilai-nilai tradisional semata. Tetapi juga perlu memiliki kapasitas akademik, kredibilitas, serta kepercayaan diri untuk tampil di ruang publik.
Warisan KUPI: Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin
Lebih dalam lagi, Dr. Faqih menekankan bahwa seluruh pendekatan ini tidak bisa dilepaskan dari semangat Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Fikih yang dikembangkan Ma’had Aly Kebon Jambu adalah fikih berbasis keadilan dan kesalingan.
“Maka gelar S.Fu yang kalian sandang hari ini bukan sekadar simbol akademik, tapi juga tanggung jawab intelektual dan sosial. Di pundak kalianlah masa depan Islam yang rahmatan lil ‘alamin disandarkan,” ungkapnya.
Wisuda ini, bagi Dr. Faqih, bukanlah titik akhir. Ia adalah permulaan baru. Sebuah momen transisi di mana para mahasantri berubah menjadi pelayan ilmu dan nilai dalam kehidupan sosial yang nyata.
“Jagalah kehormatan gelar ini, dan jadikan ia alat perjuangan. Jangan tunggu menjadi terkenal untuk berbuat baik. Jadikan ilmu kalian jalan dakwah yang lembut, yang adil, dan yang menyejukkan,” pungkasnya.